MENGAPA M E M B E R O N T A K
didedikasikan bagi yang merasa tertindas
( Tulisan Pertama dari Dua Tulisan )
PENA sejarah mencatat tak terhitung lagi darah yang tumpah ke bumi akibat pergolakan atau pemberontakan, sejak ribuan tahun lampau hingga kini. Makanya tak heran, bila timbul suatu pertanyaan mengenai sebab-musabab berkobarnya suatu pemberontakan. Seiring perkembangan zaman, rangkaian tudingan mungkin ditujukan kepada ekses sistem politik. Bukan apa-apa, soalnya urusan kuasa-menguasai, rebut-merebut, tindas-menindas acapkali ditengarai menjadi pangkal pokok suatu pemberontakan atau perlawanan dicetuskan. Patut pula tak dilupakan mengenai sejumlah keadaan sosial yang mematangkan situasi untuk memunculkan sebuah pergolakan di muka bumi.
Dalam kerangka pemikiran seperti itulah, belum lama berselang, penulis mencoba membuka kembali ingatan ketika mengikuti mata kuliah Sejarah Gerakan Sosial. Dari perpustakaan ke perpustakaan, ternyata memang banyak ilmuwan yang mencoba membedah dengan pisau analisis yang tajam mengenai perkara pemberontakan. Seorang di antara sarjana itu adalah Robert Ted Gurr. Dengan karya yang berjudul "Why Men Rebel", sosiolog ini mencoba menyelami faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu perlawanan.
Dalam buku terbitan Princeton University Press tahun 1970 ini, Gurr menggunakan beberapa konsep dasar untuk mencari jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut. Pertama, orang berontak lantaran adanya suatu perampasan (deprivation). Dengan kata lain, orang dapat memberontak bila merasa sesuatu yang dihargainya dirampas.
Sedangkan rasa dirampas itu disebut "relative deprivation". Perasaan ini muncul akibat muncul ketidaksesuaian antara keinginan dan kemampuan mencapai apa yang diingini. Kemampuan untuk mencapai keinginan memang dirasakan ada, Namun, upaya mencapainya dihambat atau digagalkan. Kondisi inilah yang menimbulkan rasa dirampas. Boleh jadi, anggapan adanya kemampuan itu benar dan sesuai dengan kenyataan. Tapi, itu tidaklah penting. Hal paling penting--kalau boleh disebutkan begitu--rasa mampu itu ada, dan dihambat. Inilah yang menimbulkan rasa dirampas.
Dari masa ke masa, pemberontakan-pemberontakan besar di muka bumi kerap mencirikan satu hal. Yakni, pemberontakan pada umumnya berupa serangan terhadap penguasa. Atau yang diserang adalah pihak yang dianggap menjalankan kekuasaan, termasuk golongan pesaing politik, pemimpin yang berkuasa atau kebijakannya. Mereka itulah yang dianggap telah merampas.
Gurr membedakan tiga bentuk kekerasan dalam pemberontakan: kekacauan, konspirasi, dan perang dalam negeri. Kekacauan terjadi secara spontan. Meski tidak terorganisasi, namun ia melibatkan banyak orang. Lihat misalnya pemogokan yang diiringi kekerasan, kerusuhan, bentrokan-bentrokan dan pemberontakan lokal. Berbeda dari kekacauan, konspirasi selalu terorganisasi rapi, tapi jumlah pesertanya terbatas. Konspirasi bisa berupa pembunuhan politik, teror skala kecil, gerilya kecil-kecilan, kudeta atau makar. Ada pun pemberontakan yang menggunakan kekerasan dengan tujuan politik skala besar, yang terorganisasi baik dan mendapat dukungan luas dari rakyat serta bertujuan menggulingkan kekuasaan, disebut perang dalam negeri. Begitulah.......(ANS)
didedikasikan bagi yang merasa tertindas
( Tulisan Pertama dari Dua Tulisan )
PENA sejarah mencatat tak terhitung lagi darah yang tumpah ke bumi akibat pergolakan atau pemberontakan, sejak ribuan tahun lampau hingga kini. Makanya tak heran, bila timbul suatu pertanyaan mengenai sebab-musabab berkobarnya suatu pemberontakan. Seiring perkembangan zaman, rangkaian tudingan mungkin ditujukan kepada ekses sistem politik. Bukan apa-apa, soalnya urusan kuasa-menguasai, rebut-merebut, tindas-menindas acapkali ditengarai menjadi pangkal pokok suatu pemberontakan atau perlawanan dicetuskan. Patut pula tak dilupakan mengenai sejumlah keadaan sosial yang mematangkan situasi untuk memunculkan sebuah pergolakan di muka bumi.
Dalam kerangka pemikiran seperti itulah, belum lama berselang, penulis mencoba membuka kembali ingatan ketika mengikuti mata kuliah Sejarah Gerakan Sosial. Dari perpustakaan ke perpustakaan, ternyata memang banyak ilmuwan yang mencoba membedah dengan pisau analisis yang tajam mengenai perkara pemberontakan. Seorang di antara sarjana itu adalah Robert Ted Gurr. Dengan karya yang berjudul "Why Men Rebel", sosiolog ini mencoba menyelami faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu perlawanan.
Dalam buku terbitan Princeton University Press tahun 1970 ini, Gurr menggunakan beberapa konsep dasar untuk mencari jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut. Pertama, orang berontak lantaran adanya suatu perampasan (deprivation). Dengan kata lain, orang dapat memberontak bila merasa sesuatu yang dihargainya dirampas.
Sedangkan rasa dirampas itu disebut "relative deprivation". Perasaan ini muncul akibat muncul ketidaksesuaian antara keinginan dan kemampuan mencapai apa yang diingini. Kemampuan untuk mencapai keinginan memang dirasakan ada, Namun, upaya mencapainya dihambat atau digagalkan. Kondisi inilah yang menimbulkan rasa dirampas. Boleh jadi, anggapan adanya kemampuan itu benar dan sesuai dengan kenyataan. Tapi, itu tidaklah penting. Hal paling penting--kalau boleh disebutkan begitu--rasa mampu itu ada, dan dihambat. Inilah yang menimbulkan rasa dirampas.
Dari masa ke masa, pemberontakan-pemberontakan besar di muka bumi kerap mencirikan satu hal. Yakni, pemberontakan pada umumnya berupa serangan terhadap penguasa. Atau yang diserang adalah pihak yang dianggap menjalankan kekuasaan, termasuk golongan pesaing politik, pemimpin yang berkuasa atau kebijakannya. Mereka itulah yang dianggap telah merampas.
Gurr membedakan tiga bentuk kekerasan dalam pemberontakan: kekacauan, konspirasi, dan perang dalam negeri. Kekacauan terjadi secara spontan. Meski tidak terorganisasi, namun ia melibatkan banyak orang. Lihat misalnya pemogokan yang diiringi kekerasan, kerusuhan, bentrokan-bentrokan dan pemberontakan lokal. Berbeda dari kekacauan, konspirasi selalu terorganisasi rapi, tapi jumlah pesertanya terbatas. Konspirasi bisa berupa pembunuhan politik, teror skala kecil, gerilya kecil-kecilan, kudeta atau makar. Ada pun pemberontakan yang menggunakan kekerasan dengan tujuan politik skala besar, yang terorganisasi baik dan mendapat dukungan luas dari rakyat serta bertujuan menggulingkan kekuasaan, disebut perang dalam negeri. Begitulah.......(ANS)
Komentar
Posting Komentar