(Tulisan Kedua dari MENGAPA MEMBERONTAK)
PERANG Teluk jilid kedua sudah memasuki hari kesepuluh (29/3). Tak seperti dibayangkan sebelumnya, pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat mendapat perlawanan sengit di berbagai front pertempuran. Serdadu-serdadu negara pimpinan Saddam Hussein ini bertempur secara gigih dan patriotik mempertahankan negeri mereka yang memang memiliki kekayaan minyak bumi berlimpah. Ribuan rudal maut beserta bom pintar telah ditebarkan di sejumlah kota di Negeri Seribu Malam. Namun, apa daya, tentara AS beserta sekutunya yang dibekali persenjataan serba muktakhir ini belum juga menduduki Kota Baghdad.
Kecamuk perang di mana pun memang tetap sama: menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi rakyat sipil yang tak berdosa. Tengok saja, ratusan warga Irak justru menjadi korban. Mayat-mayat bergeletakkan di beberapa kota besar. Tak terhingga lagi, rakyat Irak yang tewas dan cedera. Belum lagi, jerit dan tangis beberapa perempuan sembari menggendong anaknya yang melihat reruntuhan maupun puing-puing kediaman. Porak-poranda, memang!
Salah siapa? Begitulah mungkin jutaan telunjuk mencari pihak yang bersalah. Presiden Saddam Hussein, Sekjen PBB Kofi Annan, atau Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Namun yang jelas, gelombang protes antiperang membahana di seluruh dunia. Tak hanya kalangan punker`s yang antiperang. Kalangan lembaga swadaya masyarakat hingga pelajar maupun mahasiswa di berbagai kota besar di lima benua juga menyuarakan tuntutan serupa: No War, Peace Now!
Presiden Bush dan PM Blair boleh saja berdalih bahwa negara yang dianggap bagian "poros setan" itu memiliki senjata pemusnah massal--berbeda dengan hasil kerja Tim Inspeksi Senjata PBB yang tak menemukan senjata biologi atau kimia di Bumi Sabit. Tapi, mata jutaan manusia di planet ini tak bisa ditutupi. Negeri Superpower itu justru menggunakan rudal-rudal dan bom-bom pemusnah massal. Tanpa pandang bulu, ratusan ribu personel pasukan koalisi membombardir semua kota di negeri yang puluhan ribu lampau sudah memiliki peradaban.
AS dan Inggris memang kesetanan. Serangan mereka seakan membabi-buta. Sejumlah pemerhati militer menduga, pasukan koalisi gagal menganilisis faktor mental rakyat Irak. Mereka mungkin dibutakan kondisi persenjataan Irak yang dianggap sudah tak berdaya atau dilucuti pascaPerang Teluk I tahun 1991. Apalagi, negara di dekat Teluk Persia itu telah diembargo militer dan ekonominya. Kedua negara penganut paham imprealis sekaligus kapitalis itu juga menilai, rakyat Irak yang 95 persen memeluk agama Islam itu sudah bosan hidup di bawah Rezim Saddam yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu.
Akan tetapi, Pemerintah Gedung Putih melupakan bahwa pundi-pundi Saddam terus bertambah seiring mengalirnya minyak mentah ke sejumlah negara. Memang, di atas kertas, Saddam sudah mengakui kehebatan Pasukan Multinasional yang menggempur Irak atas perintah Bush Senior. Kendati begitu, Saddam masih disegani di negaranya sendiri. Rentang waktu hampir 12 tahun, cukuplah bagi Saddam menggalang dukungan dan menambah persenjataan miliknya.
Menyoal persenjataan militer, Saddam mungkin terhambat embargo militer yang diterapkan Dewan Keamanan PBB dengan resolusi nomor 1441 itu. Namun, Saddam tak kehilangan akal. Di samping membangun bunker--yang diduga tahan serangan bom atom--di bawah istana kepresidenannya di Baghdad, Sang Penentang--Saddam dalam Bahasa Persia berarti Penentang--membangun infrastruktur pertahanan militer. Terutama untuk menghadapi gempuran rudal-rudal AS, bebuyutannya. Tak tanggung-tanggung, Saddam dikabarkan juga membeli sejumlah alat perusak sistem rudal dan satelit dari Rusia--di kalangan pedagang senjata gelap, persenjataan bekas Uni Sovyet memang menjadi primadona.
Tak cuma itu, Saddam juga menyiapkan strategi khusus menghadang kegiatan spionase AS. Ia pun tak segan-segan memerintahkan pembunuhan atas seorang menantunya yang sempat membelot ke negara lain. Sadis memang. Tapi, itulah Saddam. Semasa hidupnya, pria berusia 66 tahun ini memang tak jauh dari maut. Sebelum mengambil-alih kekuasaan di Irak, ia terlibat berbagai upaya kudeta di negaranya. Saddam juga tak segan berenang mengarungi dinginnya Sungai Tigris ketika upaya tersebut gagal. Setelah sekian tahun bersembunyi, Saddam akhirnya menduduki kursi presiden pada tahun 1979.
Kejadian itu memang sudah hampir seperempat abad yang silam. Namun, menjelang Perang Teluk II meletus, televisi nasional Irak kembali menayangkan sejumlah kepahlawanan Saddam. Baik itu, sebelum berkuasa, Perang Iran-Irak era 80-an, maupun semasa dikeroyok 28 negara pimpinan AS pada 1991. Perjuangan dan kepahlawanan Saddam yang ditayangkan berulang kali itulah yang meningkatkan patriotisme di kalangan rakyat Negeri Seribu Satu Malam. Apalagi, Saddam kerap mengunjungi rakyatnya yang tengah menderita. Ribuan tahanan politik dan pelaku kriminal juga dibebaskan dari penjara. Dukungan serta merta ditangguk Saddam dari berbagai wilayah Irak.
Dukungan dan patriotisme ini jelas berbeda pada era 90-an. Hampir satu dekade, sejumlah pemberontakan berkobar di wilayah selatan dan utara Irak. Di utara, Suku Kurdi mengangkat senjata menentang pemerintahan Saddam. Begitu pula, wilayah selatan yang mayoritas menganut ajaran Syiah. Meski begitu, Saddam tak tergerak menumpas habis gerakan separatis itu. Melalui kampanye tiada henti oleh para pendukungnya di Partai Baath, Saddam mulai mendapat simpati dari dua komunitas tersebut. Padahal, pendukung Saddam beraliran Sunni yang cuma 20 persen dari jumlah penduduk Irak. Saddam juga berhasil menggiring rakyat Irak untuk menunjuk musuh bersama, yaitu AS. Rakyat Negeri 1001 Malam ini mungkin menganggap Saddam sebagai simbol menentang imperialisme barat.
Makanya tak heran, bila kegiatan dan skenario spionase AS menggalang dukungan oposisi Irak hancur berantakan. Sejumlah intelijen Negeri Adikuasa itu akhirnya hanya berhasil membangun sebuah kamp pelatihan militer di sebelah selatan Irak. Memang, ribuan prajurit Irak berhasil dibujuk untuk membelot. Namun, jumlah itu tak sebanding dengan jutaan dolar yang dikucurkan Gedung Putih untuk mendongkel Saddam dari tampuk kekuasaannya. Bahkan, Saddam menyiapkan dua pasukan elite yang dipimpin dua putra kandungnya. Pasukan itu adalah Fedayeen dan Garda Republik. Dua pasukan ini terbukti gigih bertempur dan setia terhadap Saddam. Terutama menghadang penyusup atau mata-mata yang mengancam kedudukan Saddam.
Lantaran gagal menyusupi militer dan pemerintahan Saddam, AS akhirnya tak punya pilihan lagi. Negeri Paman Sam ini menggunakan teknologi canggih dengan satelit dan pesawat siluman untuk memata-matai Irak. Tapi, informasi dan data yang diperoleh AS ternyata tidak akurat. Buktinya, banyak rudal sekutu yang salah sasaran. Sedangkan sistem dan jaringan komunikasi dan informasi tak tertembus. Saddam bahkan berkali-kali tampil di televisi nasional Irak. Bom-bom pintar milik pasukan koalisi pun tak mampu menghentikan siaran televisi Irak.
Sedangkan gerak maju pasukan koalisi masih terhambat. Konvoi militer dan jalur logistik pasukan sekutu bahkan kerap kali dikacaukan serdadu maupun milisi Irak yang memang diserukan Saddam untuk bergerilya. Perlawanan Saddam yang didukung sebagian besar rakyat Irak jelas membuat pusing tujuh keliling Bush dan Blair. Beberapa hari yang silam, Bush bahkan mengemis dana tambahan perang kepada Kongres AS meski cuma diluluskan sebesar US$ 350 miliar dari US$ 700 miliar--atau sekitar Rp 700 triliun--yang diminta. Biaya perang yang mahal memang, apalagi sebelumnya dalam tempo sepekan AS sudah mengeluarkan dana sebesar US$ 800 miliar.
Perang memang harus dihentikan, lebih-lebih memasuki wilayah negara yang berdaulat penuh. Juga perlu diingat, pena sejarah kerap mencatat bahwa suatu pendudukan atau penjajahan bakal menjadi bumerang hebat bagi negara penyerbu. Dan perlawanan rakyat tertindas bakal berkobar sepanjang masa. Bukankah begitu Mister Bush?
Komentar
Posting Komentar