NYAWA PELIPUT "NAKAL" ITU MELAYANG

PERTEMPURAN sengit pecah di seantero Baghdad. Sejak Senin hingga Selasa silam, rentetan tembakan dan suara ledakan silih berganti menggetarkan Ibu Kota. Abu mesiu, kilatan rudal, dan asap sisa ledakan menyelimuti angkasa Ibu Kota Negeri 1001 Malam itu. Nyawa tak ada artinya. Baik pasukan Amerika Serikat maupun serdadu Irak berlomba-lomba mencerabut tarikan napas terakhir musuh masing-masing. Mereka saling tembak, saling gempur, saling serbu tanpa mempedulikan ribuan korban warga sipil yang tewas. Kedua pasukan yang sama-sama berlindung di balik topi bajanya itu memang sudah tak peduli. Terpenting adalah merebut kemenangan dengan strategi atau pun taktik jitu.

Kecamuk perang tersebut boleh dibilang paling menarik di Milineum ini. Betapa tidak, peralatan tempur didukung teknologi nan canggih menghadapi semangat tempur yang tinggi. Pertarungan yang di atas kertas bakal dimenangkan pasukan koalisi itu juga menarik perhatian para peliput perang kawakan. Sekitar selaksa wartawan perang meliput Perang Teluk Jilid Dua, termasuk 600 kuli tinta yang "membonceng" pasukan sekutu pimpinan Negeri Adikuasa, AS.

Para peliput seakan tak mempedulikan maut yang kerap mengintai sewaktu-waktu. Mereka tetap harus bekerja sebaik mungkin dan melaporkan secara cepat atau langsung jalannya peperangan tersebut. Layaknya pasukan modern, mereka pun dibekali alat pelindung seperti helm baja hingga rompi antipeluru. Tak tertinggal, mereka juga menyandang sejumlah "senjata andalan": kamera televisi, kamera foto, ballpoint beserta notes, mikropon hingga sejumlah peralatan pendukung lainnya yang paling canggih seperti komputer jinjing dan telepon selular satelit.

Dan pekerja-pekerja pers bernyali besar itu biasanya "menonton" pertempuran dari ketinggian. Baik dari hotel tempat mereka menginap maupun gedung yang menjadi kantor perwakilan pers. Dari hari ke hari, jam ke jam hingga menit ke menit, mereka menonton secara seksama "pesta kembang api" di atas Kota Baghdad. Namun, kedatangan Malaikat El-Maut memang tak dapat ditebak. Pagi pada Selasa silam, Tareq Ayoub dan Zuheir Al-Iraqi berdiri di atap kantor mereka. Koresponden dan juru kamera Al-Jazeera Biro Bagdad itu seperti biasa bersiap mengudara. Apalagi, sebuah pesawat milik AS tampak mengudara begitu dekat dengan kantor mereka.

Tiba-tiba, pesawat itu malah melesakkan dua peluru kendali ke arah kedua wartawan perang tersebut. Duar.... duar.... Begitulah bunyi ledakan misil "Made In USA" di atap kantor Al-Jazeera. Ayoub yang tak dapat menghindar lagi kontan cedera parah meski mengenakan rompi dan topi baja. Iraqi lebih beruntung, kamerawan itu hanya terluka lehernya. Dia kemudian turun dari atap dengan penuh cucuran darah di tubuhnya. Kepanikan sontak mendominasi Kantor Al-Jazeera. Dengan sejumlah wartawan, Iraqi kemudian kembali ke atap. Mereka menemukan Ayoub terluka parah. Tanpa pikir panjang lagi, mereka menyelimuti koresponden berkewarganegaraan Yordania itu dan membawanya ke rumah sakit.

Pria berkumis tebal ini akhirnya tewas setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Al-Kindi, Baghdad. Tarek gugur sudah. Dan, para pemirsa Al-Jazeera tak akan lagi melihat pria pemberani yang melaporkan jalannya pertempuran di Baghdad. Yang patut disayangkan, dia justru terbunuh di kantornya sendiri dan bukan di garis depan pertempuran. Kasihan memang!

Hampir bersamaan, sebuah tank milik AS mengarahkan moncong kanonnya ke Hotel Palestine Meridian Baghdad. Gawat, begitulah mungkin pikiran di benak sekitar 200 jurnalis yang menginap di sana. Belum sampai mereka mengerjapkan mata, tank laksana monster haus darah itu menembakkan roket ke arah penginapan para peliput perang. Beberapa wartawan langsung berlarian ke dalam hotel menyelamatkan diri. Ada pula yang berhamburan ke luar. Sekejab, ledakan keras terdengar. Sedetik kemudian, para wartawan melihat juru kamera Kantor Berita Reuters Taras Protsyuk tergeletak dan sekarat terkena hantaman serpihan roket "jahat". Selain Protsyuk, tiga wartawan Reuters lainnya juga tergeletak dengan luka-luka. Kamerawan televisi Spanyol Telecinco Jose Couse juga cedera parah.

Sejumlah wartawan segera berinisiatif, kelima peliput itu dilarikan ke rumah sakit terdekat. Untung tak dapat diraih malang tidak bisa ditolak, beberapa jam kemudian, Protsyuk dan Jose akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Sesaat setelah kematian Ayoub, Al-Jazeera langsung menggelar konferensi pers di Doha, Qatar. Mereka membantah tuduhan AS yang menuduh markas Al-Jazeera di Baghdad menjadi tempat persembunyian pasukan Irak. Alasan itu dianggap sebagai dalih AS untuk menyerang Al-Jazeera yang diduga sudah menjadi target operasi karena telah menyampaikan informasi "alternatif" kepada dunia.

Kepala Jaringan Al-Jazeera Hamad bin Thamer menyatakan, sebelumnya Al-Jazeera telah menulis surat kepada Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld untuk memberitahu posisi persis kantor mereka agar terhindar dari target serangan. Namun, AS tetap menyerang Al-Jazeera. "Dengan menyesal kami memberi tahu bahwa wartawan dan juru kamera kami Tarek Ayoub terbunuh pagi ini akibat serangan rudal AS terhadap kantor kami," kata Al-Jazeera dalam pernyataan tertulisnya. Al-Jazeera menyebut Ayoub sebagai seorang martir.

Istri Ayoub, Dima, yang tengah berada di Jordania juga sempat berbicara kepada para jurnalis melalui teleconference. Ia sangat sedih dengan kepergian suaminya. Menurut Dima, tindakan yang diambil berdasarkan kebencian hanya akan membawa kepada tindakan kebencian lainnya. Dia juga mengecam AS karena tindakan mereka hanya menyebabkan banyak warga sipil menjadi korban.

Komando Pusat AS yang berkedudukan di Doha mengaku menyesal atas kematian Ayoub. Kini mereka tengah menyelidiki soal tewasnya juru kamera Al-Jazeera itu. Dalam pernyataan tertulis, mereka sudah berulang kali mengingatkan media massa bahwa Baghdad adalah tempat yang berbahaya jika terjadi pertempuran antara pasukan AS dengan Pasukan Irak.

Reporter Al-Jazeera Majed Abdel Hadi langsung mengutuk pasukan AS. Ia menyebutkan, serangan rudal yang membunuh Ayoub adalah kriminal. "Kami tak akan obyektif karena kami diseret ke dalam konflik," kata Hadi, kecewa. Di mata dia, Al-Jazeera telah dijadikan target karena AS tak ingin dunia melihat kejahatan mereka terhadap rakyat Irak.

Selama ini, Al-Jazeera menjadi "musuh" media massa barat yang properang. Siaran mereka dari medan pertempuran seringkali mementahkan klaim para agresor. Di awal peperangan, misalnya, mereka menayangkan peperangan di Umm-Qasr. Padahal, militer AS sebelumnya mengklaim telah merebut kota itu.

Bersama televisi Irak, Al-Jazeera juga menayangkan tawanan perang, yaitu para prajurit-prajurit AS yang tertangkap. Tayangan ini memuncakkan kemarahan publik AS, terutama mereka yang mendukung agresi. Akibatnya, Bursa Saham New York mengusir dua koresponden Al-Jazeera.

Kematian Ayoub dan dua wartawan tersebut semakin menambah deret panjang wartawan perang yang tewas di Irak. Berdasarkan data yang dihimpun, hingga hari ke-20 invasi AS ke Irak, setidaknya 13 peliput perang tewas dalam tugas dan sejumlah lainnya hilang.

Pertama, 22 Maret silam, juru kamera jaringan televisi Australian Broadcasting Corporation Paul Moran tewas setelah kendaraan yang ditumpanginya terkena bom mobil ketika melintas di dekat Kota Halabja, bagian utara Irak. Hari yang sama, tiga wartawan stasiun Independent Television Network milik Inggris terbunuh akibat tembakan nyasar dari tank milik pasukan koalisi di sekitar Kota Basra, wilayah selatan Irak. Mereka adalah Terry Lloyd dan juru kameranya Fred Nerac--warga Inggris--serta penerjemah berkebangsaaan Lebanon Hussein Othman.

Korban berikutnya, Kaveh Golestan. Warga Iran yang menjadi juru kamera lepas Bristish Broadcasting Corporation ini tewas di ladang ranjau saat mengambil gambar di Kifri, 2 April silam. Selanjutnya, 3 April silam, wartawan Washington Post Michael Kelly tewas bersama seorang tentara setelah Divisi Infanteri III Angkatan Darat AS dalam kecelakaan yang menimpa jip militer Humvee yang mereka tumpangi. Pada 7 April silam, jurnalis asal Jerman, Christian Lieblig dari majalah mingguan Focus dan warga Spanyol, Julio Anguita Parrado, dari koran El Mundo, tewas dalam serangan peluru kendali Irak.

Sementara dua jurnalis lainnya tewas di Irak, saat meliput perang. Pertama, 30 Maret silam, wartawan televisi Channel 4 milik Inggris Gaby Rado ditemukan meninggal di sebuah hotel di Irak sebelah utara. Kemudian, 6 April silam, David Bloom dari jaringan televisi AS National British Corporation meninggal karena mengalami pembekuan darah di bagian paru-parunya.

Nasib sial juga dialami sejumlah wartawan Al-Jazeera. Senin silam, pasukan AS secara brutal menembaki mobil yang ditumpangi peliput televisi Qatar itu ketika hendak meliput jalannya pertempuran di Bandar Udara Internasional Saddam. Sebelumnya, seorang juru kamera Al-Jazeera juga dinyatakan hilang setelah pasukan sekutu menghancurkan Kota Basra.(ANS/Berbagai Sumber)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)