TANAH RENCONG YANG MASIH BERGOLAK

MENGUCAPKAN kata Aceh selintas pikiranku menerawang. Ku teringat ketika pertama kali membuka lembaran demi lembaran sejarah gemilang dari daerah yang dijuluki Serambi Mekah ini. Seluruhnya mengisahkan perjuangan para tokoh asal Tanah Rencong. Dari zaman Samudra Pasai hingga kepahlawanan para hulubalang Kasultanan Aceh pada abad XVIII hingga XIX. Sebut saja Panglima Polim hingga pasangan suami istri nan gagah berani, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien.

Bahkan, Kerajaan Samudra Pasai sempat menjadi pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara, pascakejatuhan Kerajaan Malaka ke tangan Portugis sekitar abad XVI. Satu abad kemudian, Samudra Pasai pun berani menentang kekuatan Armada VII Amerika Serikat yang hendak menguasai pelayaran di Selat Malaka.

Kemashyuran Aceh tak berhenti di situ. Orang-orang Aceh juga berani menentang Kerajaan Belanda yang hendak melebarkan wilayah penjajahan di Nusantara. Perlawanan rakyat Aceh menentang ambisi kolonial Belanda dimulai sejak 1873 hingga 1912. Tak terhitung lagi, darah para pejuang dan rakyat Aceh yang tumpah di Bumi Rencong. Selama satu abad, Belanda dibuat tunggang-langgang oleh taktik gerilya para pejuang Aceh. Ternyata, segala taktik tempur Belanda tak memupuskan semangat orang Aceh.

Orang Aceh memang sulit ditaklukkan. Ini pun diakui Belanda. Para pembesar Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mengubah taktik. Mereka mulai mempelajari adat istiadat orang Aceh. Tak tanggung-tanggung, Belanda mengirimkan seorang Christiaan Snouck Hurgronje ke Serambi Mekah. Utusan istimewa Belanda ini memang ahli agama Islam yang sempat mengeyam pendidikan di Mekah, Arab Saudi.

Lantaran pengetahuan agama Islam yang dipandang luas, sejumlah pemuka agama Islam Aceh sempat menggelari Snouck Hurgronje yang mengaku bernama Abbdul Ghafar sebagai ulama besar. Ternyata, Snouck mulai menunjukkan belangnya sebagai seorang orientalis tulen. Setelah cukup mempelajari wilayah Serambi Mekah, ia menganjurkan penjajah Belanda untuk tak mengganggu tiga hal di Aceh. Yakni, ulama, masjid, dan wanita. Peringatan itu disampaikan sesudah tiga jenderal tewas dalam usaha menjajah Aceh.

Akhirnya, tahun 1931, Aceh jatuh ke tangan penjajah Belanda. Namun, sejumlah pejuang Aceh masih terus menggempur pertahanan Belanda hingga di penghujung kekuasaannya di Nusantara. Dalam rentang tahun 1931-1942, banyak laporan mengenai terbunuhnya pasukan Belanda di ujung rencong rakyat Aceh.

Penjajah Belanda pergi, balatentara Jepang pun datang. Namun, seperti pendahulunya, tentara pendudukan Negeri Matahari Terbit ini tak mendapat dukungan dari rakyat maupun ulama Aceh. Perlawanan ada di mana-mana.

Ketika proklamasi RI bergaung dari Jakarta, sebagian besar rakyat Aceh menyambut gembira. Dan, saat Belanda membonceng pasukan Sekutu untuk menjajah kembali di Indonesia, rakyat Aceh pun mengangkat senjata. Mereka bahkan menyumbang sebuah pesawat untuk pemerintah RI dalam upaya mengusir Belanda. Rakyat Aceh juga berharap dapat menegakkan syariat Islam di wilayah mereka, seiring dengan kemerdekaan RI.

Namun, hidup di alam kemerdekaan ternyata tak memuaskan para pemuka rakyat Aceh. Mereka masih melihat ketidakadilan di sana-sini. Padahal, pada 15 Oktober 1945, Presiden Soekarno sempat menjanjikan Aceh bakal dijadikan wilayah khusus yang bersandarkan syariat Islam. Janji tinggalah janji, hingga tahun 1953, Bung Karno tak kunjung menepati.

Lantaran gemas dengan janji palsu Bung Karno, pada 21 September 1953, Gubernur Militer Aceh Teungku Muhammad Daud Beureuh pun menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Bersama ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Daud Beureuh memproklamasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Aceh di Keumala--sekitar 150 kilometer sebelah timur Banda Aceh.

Daud Beureueh akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada tahun 1962. Saat itu, pemimpin Aceh ini mau berdamai dengan pemerintah RI dengan iming-iming akan diberlakukan hukum syarikat Islam di Serambi Mekkah.

Ternyata pemerintah RI hanya menerapkan Aceh sebagai daerah istimewa. Belum lagi rakyat Aceh menuntut haknya, rezim Orde Lama berganti dengan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Di masa Soeharto inilah, rakyat Aceh kembali menderita. Dan, mereka hanya dapat menyaksikan sumber kekayaan alam milik Aceh dikeruk oleh sejumlah perusahaan asing atas persetujuan pemerintah Orba. Sedangkan sebagian rakyat Aceh masih banyak yang hidup di garis kemiskinan.

Berbagai protes dilayangkan ke pemerintah pusat, namun tak mendapat jawaban berarti. Seiring dengan itu, seorang bekas pendukung Daud Beureuh, Hassan Tiro, memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka. Setelah itu, kekerasan kerap mewarnai di Tanah Rencong. Buntutnya, pemerintah Orba memberlakukan status Daerah Operasi Militer di Aceh, sejak 1989 hingga 1998. Banyak rakyat Aceh yang tak berdosa menjadi korban.

Kesengsaraan demi kesengsaraan dialami rakyat Aceh. Derap sepatu lars dan bau mesiu dari personel Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar penduduk Tanah Rencong. Penerapan DOM tersebut juga bertujuan mengawal ketat sejumlah pabrik maupun usaha pertambangan yang dikelola swasta nasional maupun asing. Hampir setiap bulan, laporan mengenai jatuhnya korban sipil kerap menghiasi halaman suratkabar nasional. Termasuk personel ABRI yang tewas akibat kontak senjata dengan AGAM--pasukan GAM.

Namun, tak semua rakyat Aceh mendukung GAM maupun bersimpati kepada ABRI. Keduanya dipandang sama, yakni menebarkan teror dan memuja kekerasan di Serambi Mekah. Penduduk Aceh jelas mendambakan kedamaian. Sedangkan pihak GAM terbagi dua, yaitu berjuang melalui diplomasi dengan markas di Swedia dan bertempur di medan laga Aceh.

Akan tetapi, kedua belah pihak seolah melupakan sejarah yang mencatat bahwa rakyat Aceh tak dapat ditaklukkan dengan kekuatan senjata. Mereka hanya dapat berdamai bila dilandasi agama Islam. Cara ini pernah dipergunakan Divisi Siliwangi ketika ditugaskan untuk membujuk Daud Beureuh dan pendukungnya pada awal 1960-an. Menjelang akhir penerapan DOM--1998--tercetus keinginan sebagian rakyat Aceh yang dimotori GAM untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI.

Alam Orba berganti dengan Reformasi. Tapi, tiga presiden terakhir RI juga tak mampu meredamkan keinginan referendum rakyat Aceh. Dari Jeddah Kemanusian hingga Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam seolah simbol belaka bagi masyarakat Serambi Mekah. Ironisnya, kucuran dana bantuan kemanusian dari pemerintah pusat dan sejumlah lembaga dunia seakan tak tentu rimbanya. Dengan kata lain, ada penyelewengan terhadap kucuran yang seharusnya diterima rakyat Aceh, terutama bagi korban DOM.

Kini, pemerintah RI dan GAM siap-siap mengangkat senjata lagi, menyusul batalnya pertemuan Joint Council atau Dewan Bersama di Jenewa, Swiss. Menurut fasilitator Henry Dunant Center, GAM mengundurkan pertemuan dari jadwal semula pada tanggal 25-26 April menjadi 27 April 2003. Sikap GAM yang mengulur-ngulur perundingan itu jelas membuat berang pemerintah RI dan sekaligus membatalkan pertemuan. TNI pun memberlakukan status Siaga Satu di wilayah Aceh. Ini jelas langkah mundur dari kesepakatan penghentian permusuhan di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002. Sebelumnya, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono memang sempat mengultimatum GAM untuk meletakkan senjata atau segera menerapkan demiliterisasi.(ANS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)