MELURUSKAN SEJARAH ATAU SEKADAR MENAMBAL?

YANG namanya buku "babon" jelas mencakup patokan atau acuan utama. Namun bagi penyusunan sejarah nasional suatu bangsa, keberadaan buku babon itu mungkin penting. Dari murid sekolah dasar hingga peneliti ilmu noneksata boleh jadi memerlukan suatu "kepastian". Asumsi seperti inilah yang mengilhami sejumlah sejarawan untuk menulis ulang sejarah nasional. Kini, mereka sibuk menyusun delapan jilid buku Sejarah Nasional sebagai revisi enam bundel pustaka Sejarah Nasional bikinan Orde Baru.

Tapi, tunggu dulu! Historiografi atau penulisan sejarah seperti itu mungkin konvensional atau sekadar menggunakan metode lama. Dewasa ini, dalam dunia yang serba cepat dan instan, banyak kalangan seolah menafikan sejarah. Fenomena inilah yang mengaburkan makna akan kemanusiaan. Banyak manusia mengeksploitasi manusia atau bangsa menindas bangsa lain. Prinsip kepentingan atau milik bersama banyak dilanggar dengan mengatasnamakan demokrasi.

Tak jarang pula, suatu zeitgeist atau jiwa zaman pada masa silam dimunculkan kembali. Terutama untuk meng-counter hegemoni peradaban Barat yang menggurita dengan era globalisasi. Sejumlah wacana pemikiran dan gerakan antitesis pun mencuat lagi yang akhirnya bermuara pada dua kutub yang bertentangan: Timur dan Barat.

Persoalan itulah yang mestinya mendapat perhatian kalangan sejarawan. Memang, sah-sah saja bila sejarawan berupaya keras merevisi historiografi Indonesia. Terlebih, selama berabad-abad, penulisan sejarah Indonesia bercorak pada kekuasaan semata. Dengan kata lain, Indonesia baru akan meninggalkan adigium "Siapa yang berkuasa dialah yang menentukan penulisan sejarah". Namun, permasalahan tak hanya berhenti sampai di situ. Soalnya, sejarah jugalah yang menunjukkan bahwa dominasi mayoritas tetap mengecilkan peran minoritas.

Berbekal asumsi itulah, golongan yang mengklaim berperan besar dalam perjalanan suatu bangsa bakal merasa berhak menentukan isi lembaran sejarah. Mereka mungkin menyatakan telah menemukan fakta baru. Padahal, fakta adalah peristiwa itu sendiri, sedangkan penulisan sejarah (historiografi) adalah rekonstruksi dari sejumlah pernyataan akan fakta atau interpretasi. Penekanannya adalah peristiwa itu mempunyai kisah tersendiri yang tentunya berlainan satu sama lainnya. Meski dibilang sejarah berulang, hal yang berulang hanyalah maknanya dan bukan peristiwanya.

Perlu ditekankan pula, sejarah bukanlah suatu panggung yang mengagung-agungkan masa lampau atau ajang pembenaran sesuatu keadaan sekarang dan mendatang. Akan tetapi, mempelajari fenomena yang ada pada masa silam dan sekarang untuk menapak ke masa mendatang. Itulah yang utama, sehingga minimal manusia tak terjerumus pada lubang serupa. Jadi, sejarawan janganlah terjebak semangat untuk meluruskan sejarah, namun melupakan penulisan yang komprehensif atau berimbang. Alih-alih meluruskan sejarah, malah terjerumus sekadar menambal yang sudah ada.(ANS, alumnus Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)