PENDETA ITU PUN TURUN GUNUNG

TAK banyak negeri yang dapat menahan gempuran atau memukul balik balatentara Raja Iskandar Zulkarnaen Yang Agung alias Alexander The Great. Satu di antara negeri itu adalah India. Pada kurun tahun 327 sebelum Masehi, negeri di Lembah Indus itu memang gonjang-ganjing akibat serbuan armada perang Kerajaan Macedonia tersebut. Bangsa campuran Indo Arya dan Dravida ini pun takluk. Namun, cengkeraman bangsa Grek atas India hanya berlangsung sekitar enam tahun. Rakyat India yang mayoritas memeluk agama Hindu dan Buddha ini berontak. Pemberontakan ini dipimpin Chandragupta, pendiri Dinasti Maurya. Chandragupta yang juga kakek Asoka--Raja India yang terkemuka dan berperikemanusiaan--itu akhirnya berhasil mengusir kaki tangan Alexander dari Bumi India. Raja Maurya itu mungkin sulit meraih kemenangan bila seorang pendeta Buddha, Chanakya alias Kautilya, tak turun tangan. Mahaguru Chanakya memilih turun gunung dan menjadi penasihat terpenting Chandragupta sekaligus Perdana Menteri Imperium Maurya.

Jasa Chanakya sangatlah besar. Pendeta Buddha ini meletakkan dasar-dasar etika dan moral bagi seorang raja yang dituangkan dalam Kitab Artha Shastra. Chanakya pun tahu persis soal strategi perang tanpa banyak mengorbankan rakyat. Setelah peperangan dimenangkan Chandragupta, pendeta Buddha ini juga menentukan pedoman dasar bagi kelangsungan jalannya roda pemerintahan maupun perekonomian. Tak heran, empat abad setelah Guru Bangsa India itu mangkat, Imperium Maurya dengan raja terkenalnya, Asoka, berhasil mempertahankan persatuan India dan melimpahkan negeri tersebut dengan kemakmuran. Sayang, Dinasti Sungga (184 SM hingga 78 M) yang menggantikan kekuasaan Imperium Maurya tak dapat mempertahankan masa keemasan India. Negeri Lembah Indus ini kembali terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai bangsa pun silih berganti menguasai negeri yang memiliki peradaban yang termasuk tertua di dunia.

Pengalaman masa silam India itu nampaknya masih layak diketengahkan. Terutama bagi bangsa Indonesia yang tengah dikoyak krisis multidimensional. Ini mengingat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme marak bertebaran di sana-sini. Sedangkan rasa nasionalisme mulai menyurut di tengah pusaran Globalisasi. Sebagian besar kalangan justru hanya memikirkan "urusan perut" atau kekuasaan semata tanpa peduli harga diri bangsa mulai diinjak-injak sejumlah negara asing. Di tengah sikap pesimistis akan nasib bangsa, tepat tiga pekan yang silam, muncul seorang Nurcolish Madjid. Cak Nur--begitu ia kerap disapa--menawarkan diri sebagai calon presiden mendatang. Cendekiawan beraliran neomodernis Islam ini menawarkan sepuluh platform atau panggung program untuk membenahi kehidupan berbangsa sekaligus memulihkan perekonomian negara.

Namun, hal yang patut disayangkan adalah respon sejumlah partai politik terhadap niat baik Cak Nur yang juga dijuluki Guru Bangsa. Biarpun Rektor Universitas Paramadina ini sibuk melawat ke berbagai markas parpol maupun daerah, sejumlah elite politik dan beberapa kalangan tampak masih malu-malu "merangkulnya". Satu pertanyaan besar mungkin masih menghinggapi sejumlah kalangan maupun parpol. Apa mungkin Cak Nur dapat merajut kondisi mental bangsa yang sudah carut-marut seperti sekarang ini? Sejarahlah yang mungkin akan menjawabnya.(Celetukan Usil akan Nasib Bangsa)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)