JINGGA DI KIARAPAYUNG
(Bagian Kedua)
"OIA, kenalin tuh teman gue". Tangan si Mejeng yang penuh urat karena sering digunakan memegang bola basket ini segera melambai ke arah seorang mahasiswi. "Dini", lirih ucap pemilik bibir yang merekah tersebut sembari mengulurkan tangannya. "Andi," balas pemuda yang dipanggil Bangkong itu. Ada sekian detik Bangkong memegang tangan Dini. Meski akhirnya tangan berjari lentik mungil itu dilepaskan, tatapan sepasang matanya yang bagaikan elang ini masih tertumpu ke wajah Dini. Ups! Persis seperti bayanganku selama ini," batin sang petualang itu.
Sebuah lagu dari grup Power Metal tiba-tiba menyemarakkan senja di perbukitan tersebut. Alunan rock itu rupanya dari perangkat audio di mobil milik seorang mahasiswa. ...Waktu datang dan berubah. Kala suara hati menyapa. Hilang kesunyian ditelan malam. Kugoreskan nada lama. Meredam nurani berbuat. Menyibak kalbu api rintangan... Wow, getaran hati. Menyentuh jiwaku. Membakar asmara, kenangan indah. Dalam hidup ini. Tak mungkin kulupa. Kenangan bersama. Kenangan bersama. Tak mungkin kulupa. Bayangan dirimu akankah berarti bagai awan yang hilang.
Alunan lagu Memori Jingga itu kini menggema lagi memenuhi ruang kamar Andi. Kenangan itu jelas membakar jiwa meski melewati rentang dua belas tahun. Betapa tidak, Andi yang saat itu ogah-ogahan mengikuti pelatihan tim lapangan sontak bersemangat. Dan hampir setiap ada kesempatan dalam empat hari acara di perbukitan tersebut, Andi kerap mencuri pandang ke arah Dini. Andi pun cukup puas bila melihat kedua bola mata Dini membelalak ke arahnya. Terutama saat Andi berhasil menggoda Dini yang kerap disertai deraian gelak tawa rekan-rekan lainnya. "Din, apa enggak kangen sama cowokmu di Jakarta?" serang Andi. Belum juga semburat merah di pipi Dini sirna, Andi kembali melancarkan serangannya. "Apa enggak takut kulitmu yang mulus itu bakalan kering terbakar terik matahari?"
Namun beberapa detik kemudian, justru Andi yang dibuat tercengang-cengang dan salah tingkah sendiri. Mahasiswi berambut bondol itu malah melempar senyum lembut kepada Andi. "Busyet, cewek ini tahan banting rupanya," Andi membatin. Keadaan berbalik sekarang, Andi yang malah blingsatan. Tapi jangan sebut Andi sebagai biang kerok sekampus bila tak cepat beradaptasi dengan situasi yang menjebak seperti itu. Sejumput kemudian, sembari mengikat rambutnya yang panjang seperti Indian itu, Andi segera beranjak. "Wah, untung ingat nih. Gue sekarang mesti ke puncak bukit dulu, ngukur kontur medan sekaligus merencanakan jalur pendakian nanti malam. Oke, dag semuanya. Dag Dini!" Andi pun segera berlari menuruni lembah dan langsung mendaki bukit di seberang sana.(Bersambung lagi)
(Bagian Kedua)
"OIA, kenalin tuh teman gue". Tangan si Mejeng yang penuh urat karena sering digunakan memegang bola basket ini segera melambai ke arah seorang mahasiswi. "Dini", lirih ucap pemilik bibir yang merekah tersebut sembari mengulurkan tangannya. "Andi," balas pemuda yang dipanggil Bangkong itu. Ada sekian detik Bangkong memegang tangan Dini. Meski akhirnya tangan berjari lentik mungil itu dilepaskan, tatapan sepasang matanya yang bagaikan elang ini masih tertumpu ke wajah Dini. Ups! Persis seperti bayanganku selama ini," batin sang petualang itu.
Sebuah lagu dari grup Power Metal tiba-tiba menyemarakkan senja di perbukitan tersebut. Alunan rock itu rupanya dari perangkat audio di mobil milik seorang mahasiswa. ...Waktu datang dan berubah. Kala suara hati menyapa. Hilang kesunyian ditelan malam. Kugoreskan nada lama. Meredam nurani berbuat. Menyibak kalbu api rintangan... Wow, getaran hati. Menyentuh jiwaku. Membakar asmara, kenangan indah. Dalam hidup ini. Tak mungkin kulupa. Kenangan bersama. Kenangan bersama. Tak mungkin kulupa. Bayangan dirimu akankah berarti bagai awan yang hilang.
Alunan lagu Memori Jingga itu kini menggema lagi memenuhi ruang kamar Andi. Kenangan itu jelas membakar jiwa meski melewati rentang dua belas tahun. Betapa tidak, Andi yang saat itu ogah-ogahan mengikuti pelatihan tim lapangan sontak bersemangat. Dan hampir setiap ada kesempatan dalam empat hari acara di perbukitan tersebut, Andi kerap mencuri pandang ke arah Dini. Andi pun cukup puas bila melihat kedua bola mata Dini membelalak ke arahnya. Terutama saat Andi berhasil menggoda Dini yang kerap disertai deraian gelak tawa rekan-rekan lainnya. "Din, apa enggak kangen sama cowokmu di Jakarta?" serang Andi. Belum juga semburat merah di pipi Dini sirna, Andi kembali melancarkan serangannya. "Apa enggak takut kulitmu yang mulus itu bakalan kering terbakar terik matahari?"
Namun beberapa detik kemudian, justru Andi yang dibuat tercengang-cengang dan salah tingkah sendiri. Mahasiswi berambut bondol itu malah melempar senyum lembut kepada Andi. "Busyet, cewek ini tahan banting rupanya," Andi membatin. Keadaan berbalik sekarang, Andi yang malah blingsatan. Tapi jangan sebut Andi sebagai biang kerok sekampus bila tak cepat beradaptasi dengan situasi yang menjebak seperti itu. Sejumput kemudian, sembari mengikat rambutnya yang panjang seperti Indian itu, Andi segera beranjak. "Wah, untung ingat nih. Gue sekarang mesti ke puncak bukit dulu, ngukur kontur medan sekaligus merencanakan jalur pendakian nanti malam. Oke, dag semuanya. Dag Dini!" Andi pun segera berlari menuruni lembah dan langsung mendaki bukit di seberang sana.(Bersambung lagi)
Komentar
Posting Komentar