SECAWAN MADU DAN SECANGKIR RACUN

Racun di tangan kirimu... Madu di tangan kananmu... Ku tak tahu apakah yang akan kau berikan padaku... Penggalan lagu grup Pengantar Minum Racun yang ngetop era 1980-an itu terngiang-ngiang di gendang telingaku, beberapa hari terakhir. Begitulah mungkin suasana hatiku saat ini. Menerima tanggung jawab pekerjaan yang berat dan tak dapat ditolak. Nasib ataukah peruntungan, itu penuh tanda tanya.

Secangkir Kopi Pahit

Tanpa maksud apapun selain berbagi, kusodorkan dua cangkir kopi pahit ke meja dua sejawatku. Gawatnya, perkara kopi pahit itu memakna liar meraksasa. Jawabku: "Oh, itu kopi buat meranjau si 'X'." Dijawab: "Bukannya meranjau si 'X', malah semua kena ranjau." Benakku berputar cepat: "Cilaka dua belas, teman sendiri enggak percaya lagi." Kuhela napas, berat memang menghadapi kawan-kawan senasib dan seperjuangan. Terutama bila kita berada di posisi atas. Di sinilah, mungkin, titik tolak mental seorang pemimpin diuji.

Pemimpin

Perkara meracik, mencampur, dan meramu sesuatu memang memerlukan kepiawaian tersendiri. Kepiawaian pun terkadang terasa hambar tanpa mengutamakan mutu dan nilai rasa. Suatu tulisan, misalnya. Tulisan yang baik dan ideal itu banyak ragamnya, tergantung kemahiran dan pemahaman, serta wawasan dari sang penulis. Penulis pun banyak macamnya, dari cepernis, kolomnis hingga jurnalis. Nah, segudang persyaratan mesti dilalui oleh si penulis dan tak perlu disebut di sini. Yang jelas, mereka memerlukan panutan dan pedoman sejati.

Bila sang panutan itu pergi, celakalah bagi si pengikut yang tak memahami apa-apa yang sudah diwariskan. Bagai anak ayam kehilangan induk. Mudah-mudahan tak begitu kawan. Optimistis dan kekompakan tetap perlu dijaga buat menghalau segala badai cobaan yang menerjang.

Sedangkan pemimpin diangkat atas dasar dua ciri, yakni kesempatan dan kemampuan. Dan, waktu jualah yang bakal memastikan hal itu. Amien

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)