W.F WERTHEIM: SEORANG PENGKAJI BELANDA TENTANG MASYARAKAT INDONESIA
Harsja W. Bachtiar
Universitas Indonesia
Profesor Doktor Willem Frederik Wertheim merupakan seorang tokoh sosiologi berkebangsaan Belanda yang di Indonesia kini mengundang sikap pandangan yang bertentangan terhadap dirinya sebagai akibat pendirian yang dinyatakan dalam berbagai tulisan dan ceramah serta tindakan-tindakan politiknya sesudah peristiwa G-30-S/PKI terjadi.
Sebagian di antara orang-orang Indonesia yang mengetahui tokoh Wertheim, yang jumlahnya sekarang ini mungkin sudah sangat mengecil, mengingat peranan Wertheim di Indonesia dan kemudian di Nederland yang sangat mendukung perjuangan kebangsaan bangsa Indonesia dalam masa Revolusi Indonesia dan masa dekade pertama sesudah Pemerintah Kerajaain Belanda terpaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Mereka ketahui bahwa masa tersebut merupakan masa sulit pelik bagi para cendekiawan Belanda. Mereka menghargai Wertheim sebagai satu di antara hanya sejumlah kecil tokoh Belanda yang, untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak segan-segan menentang arus pendapat umum masyarakat Belanda; dan yang pada waktu Pemerintah Belanda melancarkan aksi militer terhadap Republik Indonesia, juga menentang Pemerintah negaranya sendiri.
Sedangkan sebagian orang Indonesia lain, yang pada umumnya berusia lebih muda daripada golongan pertama, yang mengetahui tokoh Wertheim, mengingat apa yang dilakukan oleh Wertheim sesudah peristiwa G-30-S/PKI terjadi, tindakan-tindakan yang pada dasarnya dapat dianggap merupakan tindakan permusuhan terhadap Orde Baru. Mereka menanggapi Wertheim sebagai perusuh, pengacau, yang hanya merugikan bangsa dan negara Indonesia dengan tindakan-tindakan politiknya.
Sebagian orang Indonesia lain, kebanyakan orang perguruan tinggi dalam bidang ilmu-ilmu sosial, tentu hanya mengenal Wertheim sebagai penulis buku Indonesian Society in Transition, satu di antara sejumlah kecil buku yang ditulis oleh para ahli asing tentang masyarakat Indonesia dan dianggap harus diketahui oleh siapapun yang mempunyai perhatian serius pada usaha pengkajian masyarakat kita.
Tulisan ini merupakan usaha untuk memperkenalkan karya-karya terbitan hasil pemikiran Wertheim dalam rangka perkembangan riwayat hidup tokoh pemikir Belanda ini. Pengalaman-pengalaman pribadi yang dialami oleh seseorang biasanya banyak berpengaruh pada pemikiran-pemikiran yangdihasilkan oleh tokoh yang bersangkutan, seperti juga kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh seseorang sebagian besar merupakan pencerminan pemikiran-pemikiran pribadi orang yang bersangkutan.
Tulisan ini diharapkan setidak-tidaknya memperkenalkan pembaca dengan baik berbagai aspek tokoh Belanda ini yang menguntungkan bangsa kita maupun berbagai aspek yang merugikan kita. Tulisan ini juga merupakan cara seorang bekas mahasiswa Prof. Wertheim menghormati seorang bekas gurunya.
Masa Persiapan, 1907-1930
Wertheim lahir sebagai anak keluarga pengusahawan Belanda, dan oleh sebab itu berasal dari kalangan borjuis, di St. Petersburg, Rusia, tanggal 16 November 1907 (1). Nama kota kelahirannya, St. Petersburg yang mencerminkan pengaruh kebudayaan Jerman, tahun 1914, ketika Perang Dunia I pecah dengan Jerman sebagai musuh Rusia, diganti menjadi Petrograd, nama yang lebih sesuai dengan kebudayaan Rusia. Kemudian, untuk menghormati pernimpin Revolusi Rusia, V.I. Lenin, pada waktu ia meninggal, tahun 1924, nama Petrograd diganti menjadi Leningrad. Dan kini, pada waktu penduduk di kebanyakan negara yang semula dikuasai oleh Partai Komunis bangkit menentang Komunisme yang gagal menaikkan taraf kehidupan rakyat, dituntut untuk diganti kembali menjadi St. Petersburg, nama dari masa kekuasaan Czar.
Ketika Revolusi Rusia pecah, mula-mula dengan menjatuhkan Czar Nicolas 11 dari tahtanya dalam bulan Februari 1917 dan kemudian disusul dengan revolusi kaum proletar yang dipimpin oleh kaum Bolsyevik di bawah kendali V.1. Lenin dalam bulan Oktober 1917, Wertheim masih di kota tempat keiahirannya, belajar sebagai siswa Sekolah Dasar yang khusus diadakan untuk anak-anak keluarga asing yang tinggal di St. Petersburg. Kebanyakan orang asing di lingkungan Wertheim tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi di sekitar mereka dan beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di Rusia pada waktu itu hanyalah mcrupakan perubahan dari pemerintah Czar, yang bersifat otoriter, menjadi pemerintahan yang didasarkan atas asas demokrasi melalui sistem parlemen. Menurut mereka, gangguan yang sedang terjadi dalam tata tertib kehidupan masyarakat Rusia pada waktu itu hanyalah ulah sejumlah perusuh. Menurut orang-orang asing di lingkungan keluarga Wertheim, keadaan, selain perubahan dalam pemerintahan, pasti akan kembali seperti semula, paling lama dalam waktu 6 bulan. Tidak banyak diantara mereka pada waktu itu menyadari bahwa suatu revolusi dalam arti yang sebenarnya sedang berlangsung (2).
Tahun 1918 Wertheim mengikuti ibu dan saudara-saudaranya menyingkir kecmbali ke Nederland dimana ia memperoleh pendidikan menengah dan pendidikan tingginya. Dari kota besar Leningrad di Rusia keluarganya pindah ke pedesaan keeil Katwijk di Belanda (3).
Sebagai mahasiswa Wertheim belajar pengetahuan hukuni di Universitas Leiden untuk memperoleh gelar Mcester in de Rechten (Mr.) dalam Hukum Belanda, gelar yang diraih tahun 1928, lalu, karena pada akhir tahun-tahun 1920-an sukar memperoleh pekerjaan di Belanda, agar dapat bekerja di tanah jajahan Belanda di Timur, ia meneruskan pengkajiannya belajar pengetahuan Hukum Hindia Belanda dan pengetahuan lain, termasuk pengetahuan bahasa Jawa yang diberikan oleh Prof. Dr. C.C. Berg, yang diperlukan untuk dapat menjadi pegawai Pemerintah jajahan Hindia Belanda. Tahun 1930, pada waktu ia selesai dengan pendidikan keahliannya dalam bidang Hukum Hindia Belanda ia juga berhasil meraih gelar Doktor dalam llmu Hukum atas dasar disertasi berjudul "Aansprakelijkheid voor schade buiten overeenkomst" (Hak menuntut ganti rugi di luar perjanjian) (4).
Segera sesudah Wertheim menyelesaikan pendidikan tingginya ia menikah dengan Mr. Hetty Gijse , Weenink, bekas sesama mahasiswa di Fakultas Hukum, yang kemudian senantiasa mendampingi dan mendukung kegiatan-kegiatannya.
Bekerja di Hindia Belanda, 1931-1942
Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, Wertheim ditempatkan sebagai pegawai yang diperbantukan pada Ketua Landraad (Pengadilan Negeri) di Tanjung Karang, Lampung, dimana Doktor Hukum yang berusia 24 tahun ini bekerja selama setengah tahun (s). Ia menjadi sangat tertarik pada gejala transrnigrasi di daerah Sumatera Selatan ini, minat yang kemudian, pada paruh kedua tahun-tahun 1950an, bangkit kembali. Dari Sumatera Selatan beliau dipindahkan ke Batavia (kini: Jakarta), pusat kekuasaan jajahan Belanda di kepulauan Indonesia, menjadi pejabat di Departemen Kehakiman.
Di lingkungan orang-orang Eropa, yang pada umumnya merasa diri berkedudukan jauh lebih tinggi daripada orang-orang pribumi, pada mulanya ia sangat terkesan akan kelebihan orang Eropa dalam pendidikan, kepekaan budaya yang bagi mereka adalah kebudayaan Eropa, dan kecerdasan mereka yang dianggap lebih daripada kecerdasan orang lain (6). Ia menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat jajahan Belanda, gaya hidup yang dianggap biasa oleh pelaku-pelaku yang bersangkutan.
Perhatian Wertheim pada ilmu pengetahuan mengakibatkan pengangkatan beliau sebagai Gurubesar Pertentangan Hukum, menggantikan Prof. Dr. R.D. Kollewijn, Gurubesar Hukum Perdata Antar Golongan, di Fakulteit der Rechtsgeleerdheid (Fakultas Pengetahuan Hukum), Rechtsbogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), di Batavia, tahun 1936. Dalam pekerjaannya sebagai pengajar dan pembimbing mahasiswa, ia mulai berkenalan dengan pemikiran dan cita-cita tunas-tunas muda orang-orang terpelajar Indonesia yang pada umumnya menentang penjajahan Belanda dan menganut faham kebangsaan Indonesia (7). Ia mulai menyadari bahwa tata kehidupan masyarakat jajahan sesungguhnya tidak adil terhadap orang-orang pribumi, peranakan Belanda dan keturunan Cina.
Dalam bulan September 1940, sesudah perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Dunia II pecah dan sesudah Nederland dikuasai oleh angkatan bersenjata Jerman, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan suatu Commissic tot Bestudering van Staatsrechtelijke Hervormingen (Komisi untuk Mengkaji Pembaharuan Hukum Negara), yang diketuai oleh Dr. F.H. Visman, seorang anggota Dewan Hindia, badan pertimbangan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Wertheim diangkat sebagai salah seorang anggota komisi ini yang segera dikenal umum sebagai Komisi-Visman. Komisi Visman juga beranggotakan beberapa tokoh Indonesia, yaitu Mr. Soejono, Mr. Soepomo, Dr. Moelia dan Mr.Ir. Ong Swan Yoe.
Sebagai anggota Komisi Visman Wertheim memperoleh banyak pengetahuan tentang pemikiran-pemikiran yang pada dasarnya bersifat tuntutan pembaharuan yang terdapat di kalangan masyarakat pribumi.Pembicaraan yang ia ikuti dengan beraneka ragam kelompok sebagai anggota Komisi Visman memberikan kesadaran yang lebih bcsar pada beliau tentang apa yang pada umumnya diinginkan oleh para orang pribumi Indonesia sesudah perang berakhir: mereka menginginkan pembebasan dari kekuasaan kaum penjajah, mereka menginginkan kemerdekaan bangsa Indonesia (8). Organisasi-organisasi politik orang pribumi, seperti Parindra, Gerindo, PSII, Partai Islam Indonesia, Pasoendan dan Persatoean Minahasa yang tergabung dalam Gaboengan Politiek Indonesia, atau Gapi, sesungguhnya sudah menuntut Indonesia bebas dari Belanda sekarang juga. Sentimen anti Belanda dikalangan penduduk Indonesia sangat kuat meskipun kebanyakan orang Belanda sendiri tidak begitu menyadari kekuatan perasaan anti penjajahan ini.
Bahkan dalam laporan akhir yang dihasilkan oleh komisi Visman, tertanggal 9 Desember 1941, kekuatan gerakan kebangsaan Indonesia tidak ditampilkan, ditutup-tutupi. Laporan ini juga ditanda tangani oleh Wertheim dan para anggota Indonesia komisi tersebut. Dalam bulan Oktober 1941 Wertheim diangkat sebagai Ketua (Voorzitier) Fakultas Pengetahuan Hukum menggantikan Prof. Dr. G.H. Van der Kolff. Pada waktu itu nama jabatan "Dekan" tidak digunakan di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum. Jabatan yang amat terhormat ini, antara lain, memberi hak kepada Wertheim untuk menggunakan nomor mobil yang rendah angkanya, B-21,tanda bahwa pengendaranya adalah orang yang amat penting dalam hirarki kekuasaan pemerintah jajahan Hindia Belanda.
Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945
Ketika angkatan bersenjata Jepang menyerbu kepulauan Indonesia dan dalam waktu singkat berhasil menaklukkan angkatan bersenjata Hindia Belanda, sekalian orang Belanda, termasuk Wertheim, ditangkap olch tentara Jepang, Maret 1942. Wertheim sendiri ditahan di berbagai kamp konsentrasi Jepang selama masa pendudukan Jepang, sedangkan isteri dan anak-anaknya berturut-turut ditempatkan di 3 kamp konsentrasi di atau sekitar Jakarta. Kemenangan gemilang angkatan bersenjata Jepang atas angkatan bersenjata Belanda dalam waktu singkat melenyapkan anggapan bahwa golongan kulit putih pada hakekatnya lebih tinggi martabatnya daripada bangsa -bangsa kulit berwarna.
Di dalam kamp konsentrasi Wertheim memperoleh banyak kesempatan untuk bertukar pikiran dalam kelompok-kelompok studi yang diadakan oleh kaum terpelajar Belanda. Salah seorang sesama tahanan yang banyak mempengaruhi pemikirannya ialah Prof. Jaap de Haas (9), mantan Gurubesar di Sekolah Tinggi Kedokteran yang menganut paham Sosialisme yang radikal. Di kamp konsentrasi ia juga belajar bahasa Indonesia dengan Dr. Fokker, ahli bahasa Indonesia, sebagai gurunya.
Dalam masa pendudukan Jepang Wertheim pernah ditangkap oleh Kenpetai, polisi rahasia Jepang yang sangat ditakuti, dan dibawa ke Purwokerto di mana ia dipenjarakan selama 3 bulan. Terakhir ia ditempatkan di kamp konsentrasi di Cimahi dimana ia meringkuk sampai, sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu dan kernerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, ia dibebaskan pada tanggal 31 Agustus 1945 dan dapat bergabung kembali dengan keluarganya di Batavia, kota yang pada waktu itu bagi kebanyakan orang sudah dinamakan Jakarta.
Masa Revolusi Indonesia, 1945-1950
Dalam kekacauan yang biasa terjadi pada masa peralihan kekuasaan pemerintah, seperti pada akhir Perang Dunia 11, Wertheim ikut mendirikan Roode Kruis (Palang Merah) Belanda di Batavia, September 1945, untuk membantu korban-korban perang, terutama para bekas tahanan Jepang.
Dalam pada itu, para guru besar Belanda yang berhasil bertahan selama perang berlangsung dan sesudah Jepang menyerah keluar dari kamp-kamp konsentrasi Jepang berkeinginan untuk selekas mungkin bekerja kembali mclaksanakan tugas sebagai pengajar diperguruan tinggi. Dengan bantuan Pemerintah Hindia Belanda, yang berusaha menegakkan kekuasaannya kembali di bekas tanah jajahannya, pada tanggal 21 Januari 1946 diresmikan pembentukan perguruan tinggi yang dinamakan Nood Universiteit (Universitas Darurat) (10), diJalan Raden Saleh, Jakarta, di Gedung yang sekarang merupakan gedung induk Rumah Sakit "Tjikini". Wertheim menjadi Gurubesar kembali di Fakulteit derrechisgeleerdheid en van Sociale Wetenschappen (Fakultas Pengetahuan Hukum dan Ilmu Sosial) dari universitas ini yang setahun (11) kemudian diganti namanya menjadi Universiteit Van Indonesie dan sekarang dikenal sebebagai Universitas Indonesia. Dalam tahun kuliah pertama yang diselenggarakan oleh "Nood Universiteit" tersebut bekerja 27 gurubesar biasa dengan hanya 221 mahasiswa, kebanyakan keturunan Belanda dan Cina.
Pengalaman dan pengamatan Wertheim berkenaan dengan perkembangan amat cepat yang terjadi di Indonesia segera setelah Perang Dunia II berakhir, terlebih lagi kegiatan-kegiatan bangsa Indonesia yang berusaha mendirikan suatu negara republik yang bebas dari kekuasaan asing, mendorong Wertheim, yang mengalami perubahan pemikiran dalam masa terkurung di kamp konsentrasi tentara Jepang berkenaan dengan perjuangan bangsa Indonesia, menulis suatu nota, tertanggal 21 November 1945, kepada Prof. Mr. Baron F.M. van Asbeck(12), Guru besar Hukum di Universitas Leiden yang sebelum Perang Dunia II bekerja sebagai sejawat di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.
Dalam nota ini Wertheim berusaha menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada akhir tahun 1945 itu sebagai suatu masyarakat di mana rakyat golongan rendahan, meskipun terselubung oleh keramahan dan kesediaan menanggung penderitaan, merasa tidak puas akan perbedaan-perbedaan sosial yang besar sehingga mudah menjadi peserta gerakan-gerakan perlawanan yang dengan sendirinya dapat diarahkan terhadap orang asing dan pemerintah; dimana penduduk yang, sebagai akibat kekalahan Belanda dan pendudukan Jepang, pada umumnya beranggapan bahwa masa kekuasaan pemerintah Belanda dan kekuasaan penjajahan Belanda telah berakhir; dimana ketaatan golongan priyayi pada kekuasaan Belanda, terutama para bupati, wedana dan pejabat tinggi, ternyata hanya merupakan oportunisme saja karena pada waktu pengusaha Jepang memberikan kedudukan tinggi yang paling sedikit sederajat dengan yang mereka tempati dalam masa jajahan Hindia Belanda, mereka bersedia bekerja sama dengan penguasa Jepang, dan oleh sebab itu pasti bersedia juga bekerja untuk pemerintah yang baru; dimana Pemerintah Republik didukung oleh gerakan kebangsaan yang sehat; dimana kaum cendekiawan yang dipimpin oleh Sjahrir dan Sjarifoedin mengusahakan menanggapi revolusi nasional sebagai suatu revolusi sosial, yang akan meruntuhkan kekuasaan feodal, bersifat revolusioner tapi tidak bersikap anti-Barat; dan seterusnya.
Dalam bulan November itu juga Wertheim bersama beberapa cendekiawan Belanda yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Beb Vuyk, Prof. W.P.C. van Hattum, dan J. de Kadt, mengeluarkan suatu pernyataan yang mengemukakan pemikiran mereka berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di Indonesia pada waktu itu.
Guru Besar di Universitas Amsterdam, 1946-1972
Dalam bulan Februari 1946, atas nasihat dokter, Wertheim dan keluarganya kembali ke Belanda dimana Wertheim diangkat menjadi Gurubesar Sosiologi Indonesia di Faculteit der Politieke en Sociale Wetenschappen (Fakultas llmu Politik dan Sosial) yang didirikan sebagai fakultas baru darigemeentelijkc Universiteit van Amsterdam (Universitas Kotapraja Amsterdam). Pidato pengukuhannya sebagai Gurubesar Sosiologi Indonesia memusatkan perhatian pada masalah golongan peranakan Belanda, Belanda-Indo, di Indonesia.
Wertheim berusaha lagi mempengaruhi Pemerintah Belanda secara langsung berkenaan dengan kebijaksanaan terhadap Indonesia dengan menulis suatu Nota, tertanggal 6 Mei 1946, yang diarahkan kepada Prof.Dr. J.H.A. Logemann, Menteri Daerah Seberang Lautan, Kerajaan Belanda (13), yang juga pernah bwkerja sebagai sesama Gurubcsar di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Dalam nota tersebut ia membantah anggapan komisi Parlemen Beiinda yang berkunjung ke Indonesia untuk mciihat keadaan di tempat bahwa rakyat Indonesia bersimpati pada orang-orang Belanda. Wertheim mengemukakan lagi bahwa para orang terpelajar Indonesia dan rakyat Indonesia pada umumnya mendukung Republik Indonesia kecuali sejumlah oknum yang mendekati orang-orang Belanda, seperti para bekas pembantu rumahtangga keluarga Belanda, atas dasar pertimbangan ekonomi.
Di antara mahasiswa Indonesia yang mengikuti kuliah dan kuliah kerja beliau di Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Amsterdam terdapat Sdr. M.P. Sediono Tjondronegoro (kini: Prof.Dr. M.P. Sediono Tjondronegoro, Gurubesar Sosiologi Pedcsaan di Institut Pertanian Bogor), Sdr. S.B. Martokoesoemo (kini: Drs. Soeksmono Besar Martokoesoemo, mantan Direktur Bank Indonesia dan Direktur Asian Development Bank di Manila), Sdr. Basuki Gunawan (kini: Dr. Basuki Gunawan, ahli sosiologi yang menetap sebagai pencliti free-lance di Nederland), dan penulis sendiri. Wertheim bekerja sebagai Gurubesar, terakhir scbagai Gurubesar "Sociologic der Niet-Westerse Volken" (Sosiologi Bangsa-bangsa Bukan-Barat), di Universitas Amsterdam sampai tahun 1972 (14), ketika beliau, pada umur 65 tabun, memasuki masa pensiun.
Buku-Buku Pertama
Buku pertama merupakan hasil karya Wertheim dan mengungkapkan pemikirannya sebagai seorang cendekiawan yang senantiasa terlibat dalam masalah-masalah moral, diterbitkan tahun 1948 dengan judul in 'Gesprek met Mijzelf. Overdenkingen over weten, begrijpen engeloven" (Percakapan dengan Diri Sendiri: pemikiran tentang pengetahuan, pemahaman dan kepercayaan) (15), suatu pereakapan yang bersifat filosofis.
Hubungan antar golongan ras yang ia alami dan amati pada waktu berdiam di masyarakat jajahan Hindia Belanda dan yang juga senantisa merupakan masalth di Eropa dan Amerika Serikat, mendorong Wertheim, selain menjadikannya sasaran perhatian dalam pidato pengukuhannya scbagai Gurubesar di Universitas Amsterdam, untuk juga menulis suatu buku tentang masalah ini. Pada tahun 1949 terbit karya beliau berjudul Het Rassenprobleem: 'De ondergang van een mythe" (Masalah Ras: kehancuran suatu mitos) (16), yang membandingkan cara masalah hubungan antar ras dan upaya mengatasi masalahnya dilakukan di Amerika Serikat dengan penanganan masalah hubungan antar ras, terutama berkenaan dengan golongan minoritas Peranakan Belanda dan keturunan Cina, di Indonesia.
Ia terkesan pada gambaran yang diajukan oleh para ahli sosiologi Amerika yang memperlihatkan bahwa masalah perbedaan ras banyak persamaannya dengan masalah perbedaaan kelas, atau "stand", dalam masyarakat. Banyak keputusan dalam kehidupan para anggota masyarakat tergantung pada kedudukan yang ditempati dalam struktur masyarakat yang bersangkutan: siapa yang akan dinikahi, jenis pekerjaan apa yang akan dipilih, pendidikan apa yang akan diberikan pada anak-anak sendiri, bahkan juga keputusan berkenaan dengan hal ikhwal sehari-hari, seperti pakaian apa yang akan dikenakan, siapa yang dijadikan teman dan siapa yang dijauhi, dan banyak lagi yang lain. Mengkaitkan masalah perbedaan ras, yang diselubungi mites ras yang ulung, dengan gejala perbedaan kelas dalam masyarakat, gejala yang lebih diketahui umum, memungkinkan pemberian penjelasan yang lebih mudah dapat dipahami oleh orang banyak.
Dalam upaya mengkaji, menganalisis dan menjelaskan gejala-gejala kehidupan bermasyarakat di kawasan Asian, terutama hubungan antar golongan dalain masyarakat jajahan Hindia Belanda yang bectambah menarik perhatiannya, Wertheim menulis berbagai karangan yang dimuat dalam berbagai terbitan berkala, seperti De Nieuwe Stem, majalah Jerman Universitas, Sociologisch Jaarboek dan majalah Amerika Pacific Affairs. Sejumlah karangan yang diterbitkan antara tahun 1947 dan 1950 dikumpulkan sebagai buku yang diterbitkan tahun 1950 denganjudul "Herrijzend Azie: Opstellen over de Oosterse Samenleving" (Asia Yang Bangun Kembali: Karangan tentang kehidupan masyarakat Timur) (17).
Dalam buku inj terdapat uraian tentang hasil pengkajian J.C. van Leur, ahli sejarah yang inenyajikan gambaran yang barn sekali tentang sifat perdagangan di Asia Kuno, suatu gambaran yang sangat terpengaruh oleh pemikiran teori sosiologi Max Weber. Van Leur menganalisis struktur masyarakat Indonesia kuno untuk mengungkapkan bagaimana sesungguhnya sifat kolonisasi Hindu. Dalam kenyataan pada masa lampau itu para pedagang India terdiri atas pedagang keeil dari lapisan masyarakat rendah yang mengelompok di kampung-kampung Keling di kota-kota pelabuhan kepulauan Indonesia. Tak mungkin pedagang-pedagang kecil berbahasa Tamil ini berkemampuan untuk meniperkenalkan kebudayaan Hindu adiluhung seperti upacara keagamaan, ritual, kesusasteraan, cara menjalankan pemerintahan, seni bangunan dan sebagainya. la beranggapan bahwa mungkin sekali kebudayaan Hindu diperkenalkan oleh beberapa pendeta Hindu yang diundang untuk membantu para raja pribumi dalam mensahkan kedudukan mereka sebagai penguasa setempat, seperti raja-raja di Eropa Utara dan Timur dalam masa Abad Pertengahan menggunakan pendeta Katolik untuk memperolch pengesahan sebagai raja. Oleh sebab itu anggapan bahwa raja-raja yang berkuasa di kepulauan Indonesia dalam. masa kuno ada]ah orang-orang dari India tidak dapat dibenarkan. Mereka adalah orang pribumi.
Kebudayaan Islam yang agung juga dijadikan milik golongan-golongan bangsawan pribumi tertentu atas dasar pertimbangan politik dan militer, yaitu untuk menentang kekuasaan terpusat dari penguasa Hindu dan kemudian menentang pengaruh Katolik pendatang-pendatang Portugis yang hendak memperluas kekuasaan mereka di kepulauan Indonesia.
Dalam buku Heffijzend Azie ini Wertheim juga membahas perubahan yang terjadi dalam struktur pelapisan sosial di Indonesia, masala golongan peranakan yang berada di dua dunia yang berbeda, kepribadian bangsa Indonesia, renaissance (kehidupan kembali) dari kebudayaan Indonesia, kebangkrutan perkebunan buatan Belanda ("Indische cultures") monopoli dalam sistem kapital yang hanya menguntungkan bangsa-bangsa yang lebih dahulu berhasil memperoleh monopoli ataskehidupan ekonomi, dan bantuan yang diperlukan oleh negara-negara yang masih tertinggal dalam perkembangan.
Bersama isterinya, A. Hetty Wertheim Gijse Weenink, yang mempunyai perhatian besar pada pengkajian sejarah, Wertheim melanjutkan pengungkapan pemikiran dan perasaannya berkenaan dengan kehidupanmanusia yang tiga tahun kemudian terbit sebagai buku berjudul "De Mensheid up Avontuur" (Kemanusiaan dalam Petualangan) (11). Di dunia Eropa dan Amerika Serikat,manusia pada umumnya bergerak scoring diri, mengadakan petualangan sendiri. Penemuan-penemuan tekniknya tidak terpadu dengan penemuan bcsar yang dihasilkan olch dunia perburuhan, yaitu kerjasama. Menurut Wertheim kerjasama ini diperlukan untuk menciptakan dunia yang baru.
Keterlibatan Wertheim dalam upaya pengembangan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia dan kesadaran akan peluasan perhatian internasional pada Indonesia mefidorong Wertheim untuk memprakarsai upaya penerjemahan karya-karya ilmiah yang penting tentang Indonesia yang tertulis dalam bahasa Belanda, suatu bahasa yang tidak banyak diketahui di luar kalangan orang Belanda dan orang-orang terpelajar di bekas tanah jajahannya ke dalam bahasa Inggris agar dapat diketahui oleh lebih banyak peminat. Sebagai pemrakarsa beliau bertindak sebagai Ketua suatu Komite Redaksi yang menerbitkan seri buku bernama Selected Studies on Indonesia (11). Dengan demikian dapatlah diperkenalkan karya sosiologi sejarah B. Sehrieke, karya sejarah J.C. van Leur, karya ilmu ekonomi J.H. Boeke, dan ahli-ahli pengkajian Indonesia terkemuka lain yang berkebangsaan Belanda dalam terjemahan bahasa Inggris, suatu bahasa yang lebih mudah dapat difahami olch dunia internasional.
Tentang Perkembangan Masyarakat Indonesia
Tahun 1956 terbit hasil pengkajian masyarakat Indonesia yang bagi kita di Indonesia bolch dikatakan merupakan karya utama Wertheim, buku berjudul Indonesian Society in Transition (Masyarakat Indonesia dalam peralihan) 121) yang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan ulang sebagai edisi perbaikan dalam tahun 1959.
Sesungguhnya buku ini mcrupakan peluasan suatu karya ilmiah berjudul The Effects of Westein Civillation on Indonesian Society (Dampak kebudayaan Barat pada Masyarakat Indonesia) yang ditulis atas permintaan Institute of Pacific Relations dalam tahun 1950. Dalam karya tulisan yang disampaikan dalam bentuk awal pada kesebelas dari lembaga tersebut, yang diselenggarakan di Lucknow, India, dalam bulan Oktober 1950, Wertheim berusaha menarik perhatian para ahli yang mengkaji masyarakat-masyarakat yang sedang bergolak di Asia tidak hanya pada masalah ekonomi yang telah banyak memperoleh perhatian, tapi juga pada perubahan struktur kelas, urbanisasi, dan modernisasi Islam (21)
Karya tulisan yang ditulis tahun 1950 ini kemudian ditulis ulang dan ditambah dengan dua bab baru, yaitu tentang perubahan pola hubungan kerja dan dinamika budaya di Indonesia, sehingga buku baru yang dihasilkan dan diterbitkan dengan judul Indonesian Society in Transition menjadi suatu karya ilmiah yang menyajikan suatu sejarah sosial Indonesia yang diharapkan dapat mengungkapkan latar belakang sosial gerakan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia sehingga lebih dapat dipahami. Untuk mempermudah pembaca memahami uraian tentang sejarah sosial ini, Wertheim mendahului uraian yang bersangkutan dengan 4 bab yang ditulis sebagai suatu perkenalan umum tentang persamaan dan keanekaragaman ("Bhinneka Tunggal Ika") di Indonesia, geografi dan penduduknya, gambaran umum tentang perkembangan sosial di Asia Selatan dan Tenggara, serta garis besar sejarah politik Indonesia.
Menurut pemikiran Wertheim, perkembangan masyarakat Indonesia merupakan perkembangan dari masyarakat bentuk feodal, yang terwujud sebagai negara-negara pribumi yang terdahulu, melalui kapitalisme borjuis menjadi masyarakat yang mewujudkan kolektivisme masa kini. Oleh sebab itu pada umumnya masing-masing bab yang membahas perubahan dalam sektor tertentu dari kehidupan bermasyarakat dibagi dalam 4 bagian.
Bagian pertama merupakan usaha menjelaskan keadaan masyarakat sebelum kedatangan orang-orang Eropa, yang digambarkan sebagai masa feodal pre-modern atau masa yang dikuasai oleh tradisi budaya pribumi dan berakhir pada permulaan abad ke XIX, bab yang menampilkan struktur kesukuan, pedesaan dengan persawahan hirarki politik-keagamaan dari negara-negara awal priburni. Penggambaran masyarakat Indonesia kuno ini banyak didasarkan atas hasil pengkajian yang dilakukan oleh J.C. van Leur (22) '
Bagian kedua menjelaskan keadaan masa jajahan dengan menampilkan kolonialisme Belanda yang mengakibatkan kapitalisme merasuk masuk merongrong dasar-dasar masyarakat tradisional pada sekalian lapisan. Kapitalisme daiam perdagangan dan industri yang semula diwujudkan oteh usahawan-usahawan perorangan dalam waktu singkat berubah menjadi kapitalisme yang dikembangkan oleh perusahaan- perusahaan besar. Kebijakan pemerintah jajahan digambarkan sebagai upaya untuk meperkuat struktur tradisional agar tidak terjadi perubahan sosial. Kalau ahli ekonomi J.H. Boeke mengemukakan bahwa politik dualistic Belanda membedakan sektor ekonomi kapitalis dari sektor pra-kapitalis sehingga dalam masa depresi internasional memungkinkan para petani pribumi kembali ke ekonomi tradisional yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar dalam kehidupan mereka, Wertheim mengemukakan bahwa dalam kenyataan para tani pribumi menjadi orang miskin yang melarat. Pelapisan sosial dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda didasarkan atas warna kulit: orang-orang berkulit putih menempati lapisan atas, orang-orang pribumi yang berkulit berwama menempati lapisan bawah, sedangkan orang-orang lain, seperti peranakan Belanda dan keturunan Cina, menempati lapisan tengah, yang juga ditempati oleh orang-orang Belanda tertentu yang jatuh ke bawah dan orang-orang pribumi tertentu yang naik ke atas. Bagian ketiga menjelaskan perubahan yang terjadi pada penduduk pribumi Indonesia.
Menurut Wertheim, masa jajahan dalam abad ke XIX dan permulaan abad XX merupakan juga masa munculnya suatu golongan borjuis Asia, yang terdiri atas pegawai pemerintah, pengusahawan, dan tenaga professional, seperti para dokter, ahli hukum dan insinyur, yang berpendidikan Barat. Di Indonesia mereka cenderung menggugat kekuasaan para penguasa tradisional dan kemudian juga para penguasa jajahan Belanda. Semula gerakan kebangsaan timbul sebagai kelompok-kelompok manusia yang penuh cita-cita dan sangat bersifat perorangan (individualistik), tapi gejala demikian segera berubah menjadi pengutamaan tindakan bersama yang terwujud sebagai organisasi-organisasi sosial berskala besar, seperti sarekat buruh, partai politik, dan sebagainya.
Dan bagian keempat merupakan usaha menjelaskan perubahan masyarakat Indonesia sejak menjadi negara yang merdeka. Bekenaan dengan politik, Wertheim mengemukakan bahwa politik yang mementingkan kedaerahan, korupsi dan paternalisme merupakan hambatan bagi perkembangan bentuk pemerintah yang sepenuhnya berdasarkan demokrasi. Berkenaan dengan ekonomi ia mengemukakan bahwa ketergantungan pada ekspor danproduktivitas pekerja yang rendah menghambat lepas landas untuk pertumbuhan yang cepat. Berkenaan dengan pelapisan sosial ia melihat adanya kecenderungan banyak anggota barn golongan elit, yang terdiri atas orang-orang terpelajar, berusaha mengambil alih peranan dan hak-hak istimewa golongan elit feodal yang mereka gusur, suatu gejala yang menurut pendapat Wertheim menghambat perkembangan menuju persamaan kedudukan antar anggota masyarakat (egalitarianisme). Arus gerak penduduk dari pedesaan ke kota-kota, urbanisasi, mengakibatkan kepadatan penduduk di kota-kota dan pola-pola kehidupan perkotaan yang barn. Pembaharuan agama digambarkan sebagai munculnya gerakan-gerakan fundamentalis agama yang menentang pemerintah pusat. Sedangkan gambaran tentang dinamika kebudayaan mengemukakan rasa terasing dan. tak berdaya yang tercermin pada karya tulisan berbagai penulis muda.
Kesimpulan Wertheim, pendekar kemanusiaan yang menganut paham bahwa pada dasarnya hak-hak sekalian manusia adalah sama, adalah dinamika revolusioner yang telah mengakibatkan terbentuknya Republik Indonesia telah menjadi lemah. Gerak (momentum) menuju perubahan yang cepat dan menyeluruh dari masyarakat Indonesia yang begitu menonjol diantara Perang Dunia mulai melambat.
Kesimpulan demikian dibuat pada paruh pertama tabun 1950-an dan diperbaiki pada akhir dekade yang bersangkutan, pada waktu perkembangan maju yang didambakan oleh kebanyakan orang yang ingin agar masyarakat Indonesia selekas mungkin dapat berkembang sesuai dengan penggerak dan cita-cita perjuangan yang melibatkan pembentukan negara Republik Indonesia yang merdeka memang mengalami kemerosotan.
Momentum menuju perubahan yang cepat dan menyeluruh yang melemah pada akhir tahun-tahun 1950-an kemudian, terutama dalam masa Orde Barn, menjadi kuat kembali.sehingga masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang cepat, dalam berbagai hal terkadang terlalu cepat, keadaan yang rnenimbulkan berbagai persoalan yang mungkin dapat dihindarkan bilamana tersedia waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan perubahan-perubahan yang bersangkutan terlebih dahulu.
Pada pertengahan tahun-tahun 1950an bersama dengan ahli sejarah terkemuka Prof. Dr. J.M. Romein dan H.M. van Randwijk, Wertheim juga berusaha memperlihatkan perubahan yang sedang terjadi di dunia yang lebih luas daripada Indonesia dengan penerbitan suatu buku berjudul Een Wereld Beweeqt (Suatu Dunia Bergerak) (1956). Dalam buku ini sejarawan Romein mengemukakan pengertian "dialektika kemajuan" yang juga dianut oleh Wertheim. Menurut mereka, keterbelakangan masyarakat-masyarakat tertentu justru dapat memacu perkembangan masyarakat, sedangkan suatu tingkat kemijuan yang tinggi, seperti terwujud di Eropa, dapat merupakan hambatan bagi upaya memajukan kemanusiaan.
Penciptaan Dua Doktor Sosiologi Indonesia
Antara bulan Oktober 1956 dan Oktober 1957, dalam masa pertentangan politik antara Indonesia dan Belanda berkenaan dengan daerah Irian Barat (kini: Irian Jaya), Wertheim masih bersedia membantu perkembangan tenaga ahli Indonesia dalam bidang sosiologi dengan bertindak sebagai Gurubesar Tamu di Fakultas Pertanian di Bogor yang pada waktu itu masih merupakan bagian dari Universitas Indonesia. Beliau memberi kuliah tentang masalah kepadatan penduduk di Jawa dan transmigrasi. Kuliah diberikan dalam bahasa Indonesia meskipun pada permulaan sekalian kuliah terpaksa masih ditulis terlebih dahulu, dari kalimat pertama sampai akhir. Beliau rnembimbing beberapa tenaga ahli muda dalam upaya penelitian dan penulisan disertasi doktor inasing-masing, suatu kegiatan yang juga memberi kesempatan pada beliau untuk mengadakan penelitian lapangan sendiri di daerah Lampung.
Dua diantara calon-calon doktor ini berhasil menyelesaikan tugas akademik mereka masing-masing sehingga memperoleh bak menggunakan geltr Doktor. Kedua tenaga ahli ini ialah Ir. Kampto Octomo (sekarang: Prof. Ir. Sayogyo, Gurubesir Sosiologi, Institut Pertanian Bogor) yang menutis disertasi berjudul "Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah W. Sekampung" dan menjalankan promosi di Universitas Indonesia tahun 1957. Disertasi ini kemudian diterbitkan dengan judul: De Samenleving van spontane transmigranten in het gebied Way Sekampung (Lampung), denian kata pengantar olch W. F. Wertheim (23). Bekas promovendus Wertheim ini kemudian menjadi tokoh utama dalam pengembangan pendidikan tinggi dan penelitian dalam bidang sosiologi pedesaan di Indonesia.
Tenaga ahli kedua yang berhasil memperoleh gelar Doktor di bawah bimbingan Wertheim ialah Ir. Tubagus Bachtiar Rivai (sekarang: Prof. Dr.lr. H. lb. Bachtiar Rivai, mantan Direktur Jenderal Pendidikan, mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan mantan Dutabesar R.I untuk Perancis), yang menulis disertasi berjudul "Bentuk Milik Tanah dan Tingkat Kemikmuran: Penjelidikan Pedesaan di daerah Pati, Djawa Tengah". Beliau menjaiankan promosi di Universitas Indonesia juga pada tahun 1958.
Scan Lagi
Sejarah di Asia Modern berlangsung sejajar dengan apa yang terjadi di Eropa Barat beherapa abad yang lalu? Menurut Wertheim memang ada kesejajaran perkembangan antara apa yang dikenal sebagai Timur dan Barat, tapi perwujudannya dalam sejarah jauh lebih rumit daripada yang biasanya dianggap oleh banyak orang.
Penciptaan Seorang Doktor Sejarah Indonesia
Ketika Drs. Sartono Kartodirjo, M.A, yang baru saja, tahun 1964, memperoleh gelar M.A dalam bidang Sejarah di Yale University, Amerika Serikat, berusaha memperoleh gelar Doktor dalam bidang Sejarab, Wertheim bersedia bertindak sebagai Promoter dan membimbing calon Doktor dari Yogyakarta ini dalam penulisan disertasi yang ditampilkan dengan judul The Peasants Revolt of Banten in 1888.. Its conditions, course and sequel.. a case study of social movements in Indonesia". Proniosi Doktor sejarawan Indonesia Sartono Kartodirjo (sekarang: Prof Dr A. Sartono Kartodirjo, Gurubesar Sejarah di Universitas Gadjah Mada) diselenggarakan di Universitas Amsterdam tahun 1966. Beliau kemudian menjadi tokoh utama dalam pengembangan pendidikan tinggi dan penelitian sejarah di Indonesia.
Percobaan Perebutan Kekuasaan oleh PKI di Indonesia
Peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia mengakibatkan sikap pandangan Wertheim terhadap Indonesia mengalami perubaban yang radikal, meskipun atas dasar pemikiran filsafat yang sama. Bilamana dalam masa Revolusi Indonesia dan kelimabelas tahun pertama sesudah Pemerintah Belanda terpaksa mengakui kedaulatan Indonesia, Wertheim menanggapi penduduk Indonesia sebagai satu kesatuan besar, yaitu bangsa Indonesia, maka sejak peristiwa tersebut ia membedakan adanya penguasa militer dari rakyat Indonesia. Suatu pembedaan yang menjadikan analisis mengenai apa yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun-tahun 1960-an itu menjadi tidak sesuai lagi dengan kenyataan.
Tanggal 30 September 1965 terjadi upaya perebutan kekuasaan Pemerintah oleb gerakan 0-30-S/PKI, gerakan yang dapat ditumpas di bawah pimpinan Jenderal Soeharto dan mengakibatkan seluruh PKI hancur lebur sebagai organisasi politik yang sebelumnya sangat besar.
Meskipun Wertheim bukan penganut Komunisme tapi cenderung anti kekuasaan militer sebagai akibat pengalaman pribadinya dalam masa Perang Dunia II, peristiwa yang bersangkutan ditanggapi oleh Wertheim dan kawan-kawannya sebagai peristiwa pertentangan antar perwira militer yang kemudian dimanfaatkan oleh apa yang dinamakannya 'golongan kanzin' untuk menumpas PKI, suatu partai yang dalam pandangan Wertheirn memperjuangkan pembebasan tani dan buruh dari kekangan- kekangan sosial yang membatasi kebebasan mereka untuk maju (15).
Kebetulan di sejumlah universitas di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, termasuk Belanda, serta diantara sebagian kalangan terpelajar, pada waktu itu akhir tahun-tahun 1960-an dan tahun-tahun 1970-an -Perang Vietnam, perjuangan golongan berkulit bitam di Amerika Serikat untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraan yang sama dengan hak-hak golongan berkulit putih, frustasi karena kebanyakan mahasiswa dan pengajar muda yang merasa terkekang oleh sistem pendidikan tinggi tradisional yang tidak sesuai lagi dengaa tuntutan keadaan modern termasuk pcluasan paham demokrasi mengakibatkan timbulnya gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan New Left, kiri Baru. Para pendukung gerakan ini merasa kecewa terhadap keberhasilan golongan kiri konvensional sehingga membedakan diri dari golongan 1 kiri biasa. Pada dasarnya gerakan Kiri Baru ini menganut idealisme secara sangat kuat, mengutamakan pengertian keasingan (alienasi) dari K. Marx, dan menentang kekuasaan Pemerintah dan kekuasaan apa saja yang mengurangi kebebasan individu. Berbagai unsur anarkisme, sindikatisme, Trotskiisme, Maoisme dan Castroisme menjadi bagian dari paham Kiri Baru (26).
Gerakan Anti Pemerintah Jenderal Soeharto di Nederland, yang dipimpin oleh cendekiawan aktivis seperti Wertheim, Utrecht, dan Pluvier, yang menentang kekuasaan Pemerintah Soeharto di Indonesia, segera berpadu secara alamiah dengan gerakan Kiri Baru yang juga menentang kekuasaan. Wertheim tampil sebagai salah satu tokoh gerakan Kiri Baru di Nederland.
Dalam rangka ini Wertheim dan kawan-kawan sependiriannya mengadakan banyak kegiatan politik untuk memboikot pemberian bantuan pada Indonesia yang berada di bawah apa yang mereka namakan Pemerintahan diktatur militer Soeharto yang didukung oleh para kapitalis Amerika, dan sekarang juga oleh para kapitalis Jepang, yang semata-mata memberikan dukungan pada apa yang Wertheim dan kawan- kawan namakan 'golongan kanan' Indonesia untuk dapat memperoleh (mengeksploitasi) kekayaan alam Indonesia (27).
Pandangan demikian justru merupakan pandangan sosiologis yang sukar dibenarkan atas dasar kenyataan-kenyataan sosial yang bersangkutan, suatu pengetahuan sosiologi yang tidak terlalu terpengaruh olch pemikiran ideologi sebagaimana dianut oleh Wertheim dan kawan-kawannya.
Dalam bidang pengetahuan, pada akhir tahun-tahun 1960-an terbit lagi sejumlah karangan Wertheim bersama karangan isterinya, A.H. Wertheim-Gijse Weenink, sebagai buku berjudul "Ketters en Kweiels, Regenten en Rebellen" (Pemurni dan pengobrol agama, bupati dan pemberontak)(28).
Emansipasi
Perhatian Wertheim pada masalah perkembangan kemanusiaan dengan sendirinya mendorong ia untuk mengkaji gejala evolusi, yang ditanggapi sebagai perubaban yang terjadi secara bertahap, dan gejala revolusi, suatu perubahan besar yang mengubah keadaan stabilitas dan keseimbangan sebelum gejala yang bersangkutan terjadi, suatu perubahan mendasar dari keseluruhan struktur masyarakat. Karena menurut Wertheim, para ahli sosiologi tidak banyak memperhatikan gejala evolusi sebagai- suatu gejala normal' karena menurut pendapatnya, terpukau pada analisis structural yang tidak memungkinkan memperhatikan perubahan sosial suatu pengamatan yang mencerminkan keterbatasan pengetahuan sosiologinya Wertheim merasa perlu mengembangkan suatu jenis sosiologi yang lebih mampu menganalisis masyarakat manusia berkenaan dengan evolusi dan perubahan bersifat dinamik yang menyeluruh. Hasil kajian diterbitkan tahun 1968 dengan judul "Evolutic en Revolutie: De golfslag der emancipatie" (Evolusi dan Revolusi: Pukulan gelombang emansipasi)(29).
Rasa ketidakpuasan dan kegelisahan, menurut Wertheim, semakin meluas dan mengetuk pintu kekuatan-kekuatan yang telah bercokol lama ("old established forces"), paling sedikit di benua Asia dan Afrika, sedangkan menurut pengalamannya para orang terpelajar dan orang yang cukup cerdas pada umumnya tidak bersedia mengakui kenyataan bahwa mereka sedang menyaksikan perubaban penting dan berlangsung sejak lama dalam masyarakat dimana mereka berdiam. Pada waktu Republik Indonesia didirikan, misainya, kebanyakan orang Belanda beranggapan bahwa "nonsens" ini tidak akan dapat bertahan lama. Dalam pereakapan Wertheim dengan Letnan Gubernur Jenderal Hindia belanda J. van Mook padzi ak[ ir tahun 1945, orang terpelajar inipun mengatakan bahwa "Sepuluh kapal bermuatan bahan makanan dan pakaian dari Australia akan mengakibatkan seluruh penduduk Jawa mengalir ke pelabuhan untuk membongkar muatan. Itulah akan merupakan akhir pemberontakan" '"). Perkiraan yang, sebagaimana diketabui, tidak dibenarkan oleh kenyataan. Buku tentang evolusi dan revolusi yang pertama-tama ditulis dalam bahasa Belanda, diterbitkan dalam terjemahan bahasa Inggris sesudah dipersingkat dan berbagai bagian ditulis kembali, dengin judul Evolution and Revoltition: Tiie rising waves of emancipaiion (Evolusi dan revolusi: Gelombang yang menaik dari emansipasi)(31).
Tahun 1977 diterbitkan suatu edisi baru dari Evolutie en Retolutie yang merupakan hasil perombakan menyeluruh, dengan judul De Lange Mars der Emancipatie (Perjalanan panjang dari emansipasi)(32),yang menekankan pendapat Wertheim bahwa apapun yang diusahakan, misalnya mclilui bantuan internasional, proses evolusi yang terwujud sebagai emansipasi akan berlangsung terus, terkadang menentang upaya pemerintah, suatu proses yang tidak bisa dibendung.
Sesudah mengkaji teori yang dikembangkan oleh Wertheim, sebagai bekas mahasiswa Talcott Parsons, saya tidak dapat mengelakkan kesempatan untuk mengemukakan keunggulan ahii teori sosiologi Amerika ini berkenaan dengan masalah evolusi masyarakat (33).
Upaya Wertheim sebagai guru, peneliti, cendckiawan dan aktivis politik dihargai oleh sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial melalui penerbitan suatu Festschrift, terbitan penghormatan, yang diberi judul "Buiten de Grenzen: Sociologische opstellen aangeboden aan Prof. Dr. W.F.Wertheim" (Di luar batas: karangan-karangan sosiologi yang dipersembahkan kepada Prof.W.F. Wertheim) (1971).
Golongan Elite dan Orang Banyak
Pengkajian tentang perubahan masyarakat dengan sendirinya tidak dapat menghindari perhatian pada hubungan antara golongan elit dan masa, penguasa dan rakyat. Hasil kajian Wertheim tentang hubungan kedua golongan ini diterbitkan dalam buku berjudul: Elite en Massa: Een bijdrage tot ontmaskering van de elitewaan (Elite dan Masa. Suatu sumbangan pada pembukaan topeng anggapan diri sebagai elit)(34).
Wertheim beranggapan bahwa para ahli cenderung menanggapi golongan elite sebagai golongan yang pasti ada, yang kehadirannya tidak mungkin dapat dielakkan, suatu sikap-pandangan yang bagi Wertheim dianggap pesimis. Menurut anggapannya, dalam masyarakat terdtpat kelompok-ketompok tertentu yang dapat mclakukan peranan sendiri dalam gerakan emansipasi yang pada akhirnya akan membebaskan keseluruhan massa. Kenyataan mengandung banyak dinamika dan bersifat progresif, meskipun dalam petuasan emansipasi bisa terjadi hainbatan atau kemunduran yang bersifat sementara. Cuma, menurut anggapannya, harus ada kesediaan untuk menerima kenyataan ini sebagaimana adanya.
Masih tentang Indonesia
Tahun 1978 terbit lagi suatu buku kumpulan karangan wertheim tentang berbagai hal ikhwal sejarah Indonesia, buku berjudul Indonesie van Vorstentijk tot Neo-Kolonie (Indonesia: dari negara kerajaan sampai jajahan baru)(35).
Pada akhir masa kekaryaannya, hasil pengkajiannya berkenaan dengan Cina, negara terbesar di Asia, disajikan oleh Wertheim dalam suatu buku yang merupakan usaha membuat kesimpulan tentang kajian ilmiah yang dibuatnya selama ini. Buku yang menyajikan pemikirannya sebagai ahli sosiologi yang memperdalam pengetahuan tentang perubahan-perubahan masyarakat yang terjadi di Asia diberi judul Emancipation in Asia: positive and negative lessons from Cina (Emansipasi di Asia: peiajaran-pelajaran positif maupun negatif dari Cina)(1983).
Selain mengkaji Cina dari jauh, Wertheim berkesempatan mengunjungi Cina dalam tahun-tahun 1960-an dan tahun 1970. Menurut Wertheim Cina benar-benar sedang berkembang menjadi negara yang berhasil membebaskan diri dari kungkungan sebagai negara Dunia Ketiga. Penduduk kelihatan penuh kebanggaan diri dan berbeda sekali dengan penduduk di India dimana anak-aiiak dan orang dewasa banyak yang meminta-minta. Maka ia berkesimpulan, meskipun ia sendiri bukan penganut paham komunis, bahwa mungkin bigi Dunia Ketiga, dan terutama bagi negara-negara yang padat penduduk di Asia, komunisme dapat merupakan kunci untuk mengatasi permasalahan, suatu pandangan yang pada permulaan dekade 1990-an ini dengan cepat sekali kehilangan pendukung.
Dan tahun 1991 ini Wertheim masih menghasilkan suatu buku kenangan yang cukup tebal (367 halaman), yang ditulis bersama istri pedampingnya yang setia, berjudul Pier Wendingen in Ons Bestain: Indie verioren, Indonesie geboren (Empat Perubahan Arah Dalam Kehidupan Kami: Hindia menghilang,Indonesia lahir). Kedua penulis menggambarkan keempat perubahan yang terjadi pada diri mereka sebagai akibat perubahan lingkungan yang mereka alami: pertama, ketika Wertheim pindah dari kota besar St. Petersburg ke pedesaan Katwijk dan Hetty Gijse Weenink pindah dari pedesaan vecnhuizen ke kota Leiden; kedua, ketika mereka pindah berdiam ke Tanjong Karang dan pertama kali berkenalan dengan masyarakat kolonial; ketiga, ketika kepulauan Indonesia terancam oleh akan adanya perang besar yang kemudian terwujud sebagai runtuhnya kekuasaan Belanda di kepulauan Indonesia dan pendudukan kepulauan ini oleh tentara Jepang dan keempat, ketika sesudah Perang Dunia berakhir, dan mereka ikut mengalami permulaan revolusi Indonesia, mcreka pindah kembali ke Belanda, masa antara 1907 dan permulain 1946.
Kini Prof. Dr. W.F. Wertheim, yang sejak tahun lalu telah kehilangan istri beliau yang sepemikiran dan seperjuangan, berdiam di Wageningen, Belanda (36), pasti masih senantiasa berusaha memahami perkembangan-perkembangan serba kompleks yang sedang berlangsung di dunia kita, terutama di kawasan Asia.
Kata akhir
Apakah kesimpulan yang dapat dibuat dari uraian singkat yang disajikan ini? Bahwa Prof Dr W.F. Wertheim, sesuai dengan tradisi kaum cendekiawan Eropa, mengembangkan pemikiran sendiri tentang peristiwa-peristiwa dan perkembangan yang telah, sedang maupun akan terjadi di dunia kita ini, terutama di Asia dan termasuk secara khusus: Indonesia, pemikiran yang disampaikan pada masyarakat luas melalui karya-karya terbitan maupun kuiiah dan ceramah umum. Pada tahap perkembangan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia dalam tahun-tahun 1950an dan paruh pertama tahun-tahun 1960an, sumbangan pengetahuan beliau sangat berarti dan ikut merangsang upaya pengembangan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia lebih lanjut.
Akan tetapi, sejak pertengahan tahun-tahun 1960-an pemikiran Wertheim tentang masyarakat Indonesia masa kini terlalu terpengaruh oleh pemikiran yang bersifat ideologi sehingga karya-karya tulisan beliau tentang masyarakat Indonesia kehilangan obyektivitas dan keseimbangan yang dituntut dari setiap analisis ilmiah. Tulisan-tulisan beliau mengenai aneka ragam masalah sejarah Indonesia sebelum tahun-tahun 1960-an masih selalu merupakan kumpulan tulisan yang senantiasa menarik untuk dibaca.
Sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan tentang kebudayaan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dari negara kita, kita dapat menerima baik bahan-bahan hasil karya Prof Dr W.F. Wertheim "yang dapat memperkembangkan atau memperkaya" pengetahuan sosiologi kita serta "mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia", tapi kita juga perlu menolak bahan-bahan yang mengakibatkan kebalikannya, kemunduran dalam pengetahuan sosiologi dan perendahan "derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".
Kepustakaan:
Wertheim, W.F. (1947). Het Sociologisch Karakter van de Indomaatschappi Inauguralerede. Amsterdam: Gemeentelijk Universiteit van Amsterdam.
____________(1948). In Gesprek met mijzelf: Overdenkingen over weten, begrijpen en geloven.
____________(1949). Het Rassenprobleem: de ondergang van een my the.
____________(1950). Henijzend Azie: Opstellen over de Osterse Samenleving. Arnhem: van Loghum Slaterus.
____________(1956). Indonesian Society in Transition. The Hague: W. Van Hoeve.
____________(1959). Indonesian Society in Transition (2nd ed.) The Hague: W. Van Hoeve.
____________(1964). East - West Parallels: Sociological Approaches to modern Asia. The Hague: W. Van Hoeve.
____________(1970). Evolittie en Revohitic: De Golfslag der emancipatic. Amsterdam: Van Gennep.
____________(1975). Evolution and RevolLition: The rising waves of emancipation. Harmondsworth: Penguin Books.
____________(1977.DeLangeMarsder-Emancipatie, Amsterdam. Kritiese Biblioteek Van Gennep.
____________(197{}). Indonesie van Vorstentijk tot Neo-Kolonie. Amsterdam: Boom Meppel.
Wertheim, W.F., Romein, J.M., and Randwijk, H.M. (1956). Eed Wereld Beweegt,
Wertheim, W.F., Utrecht E., Pluvier, J.M-, et al. (1976). Tien Jaar Onrecht in Indonesie: Militaire dictatuur en internationals steun. Amsterdam: Kritiese Bibliotheek van Gennep.
Wertheim, W.F. & Weenink, A.H.W. (1953). De Mensheid op Aiontutir. Amsterdam: Wereld Bibliotheek.
____________(1968). Ketters en Kwezels, Regenten en Rebellen. Drachten: Laverman.
____________(1991). Vier Wendingen in Ons Bestaan: Indic verloren, Indonesie geboren. Breda: Uitgeverij De Geus.
Sumber: Jurnal Studi Indonesia Nomor 01/Tahun 1991 (www.ut.ac.id)
Harsja W. Bachtiar
Universitas Indonesia
Profesor Doktor Willem Frederik Wertheim merupakan seorang tokoh sosiologi berkebangsaan Belanda yang di Indonesia kini mengundang sikap pandangan yang bertentangan terhadap dirinya sebagai akibat pendirian yang dinyatakan dalam berbagai tulisan dan ceramah serta tindakan-tindakan politiknya sesudah peristiwa G-30-S/PKI terjadi.
Sebagian di antara orang-orang Indonesia yang mengetahui tokoh Wertheim, yang jumlahnya sekarang ini mungkin sudah sangat mengecil, mengingat peranan Wertheim di Indonesia dan kemudian di Nederland yang sangat mendukung perjuangan kebangsaan bangsa Indonesia dalam masa Revolusi Indonesia dan masa dekade pertama sesudah Pemerintah Kerajaain Belanda terpaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Mereka ketahui bahwa masa tersebut merupakan masa sulit pelik bagi para cendekiawan Belanda. Mereka menghargai Wertheim sebagai satu di antara hanya sejumlah kecil tokoh Belanda yang, untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak segan-segan menentang arus pendapat umum masyarakat Belanda; dan yang pada waktu Pemerintah Belanda melancarkan aksi militer terhadap Republik Indonesia, juga menentang Pemerintah negaranya sendiri.
Sedangkan sebagian orang Indonesia lain, yang pada umumnya berusia lebih muda daripada golongan pertama, yang mengetahui tokoh Wertheim, mengingat apa yang dilakukan oleh Wertheim sesudah peristiwa G-30-S/PKI terjadi, tindakan-tindakan yang pada dasarnya dapat dianggap merupakan tindakan permusuhan terhadap Orde Baru. Mereka menanggapi Wertheim sebagai perusuh, pengacau, yang hanya merugikan bangsa dan negara Indonesia dengan tindakan-tindakan politiknya.
Sebagian orang Indonesia lain, kebanyakan orang perguruan tinggi dalam bidang ilmu-ilmu sosial, tentu hanya mengenal Wertheim sebagai penulis buku Indonesian Society in Transition, satu di antara sejumlah kecil buku yang ditulis oleh para ahli asing tentang masyarakat Indonesia dan dianggap harus diketahui oleh siapapun yang mempunyai perhatian serius pada usaha pengkajian masyarakat kita.
Tulisan ini merupakan usaha untuk memperkenalkan karya-karya terbitan hasil pemikiran Wertheim dalam rangka perkembangan riwayat hidup tokoh pemikir Belanda ini. Pengalaman-pengalaman pribadi yang dialami oleh seseorang biasanya banyak berpengaruh pada pemikiran-pemikiran yangdihasilkan oleh tokoh yang bersangkutan, seperti juga kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh seseorang sebagian besar merupakan pencerminan pemikiran-pemikiran pribadi orang yang bersangkutan.
Tulisan ini diharapkan setidak-tidaknya memperkenalkan pembaca dengan baik berbagai aspek tokoh Belanda ini yang menguntungkan bangsa kita maupun berbagai aspek yang merugikan kita. Tulisan ini juga merupakan cara seorang bekas mahasiswa Prof. Wertheim menghormati seorang bekas gurunya.
Masa Persiapan, 1907-1930
Wertheim lahir sebagai anak keluarga pengusahawan Belanda, dan oleh sebab itu berasal dari kalangan borjuis, di St. Petersburg, Rusia, tanggal 16 November 1907 (1). Nama kota kelahirannya, St. Petersburg yang mencerminkan pengaruh kebudayaan Jerman, tahun 1914, ketika Perang Dunia I pecah dengan Jerman sebagai musuh Rusia, diganti menjadi Petrograd, nama yang lebih sesuai dengan kebudayaan Rusia. Kemudian, untuk menghormati pernimpin Revolusi Rusia, V.I. Lenin, pada waktu ia meninggal, tahun 1924, nama Petrograd diganti menjadi Leningrad. Dan kini, pada waktu penduduk di kebanyakan negara yang semula dikuasai oleh Partai Komunis bangkit menentang Komunisme yang gagal menaikkan taraf kehidupan rakyat, dituntut untuk diganti kembali menjadi St. Petersburg, nama dari masa kekuasaan Czar.
Ketika Revolusi Rusia pecah, mula-mula dengan menjatuhkan Czar Nicolas 11 dari tahtanya dalam bulan Februari 1917 dan kemudian disusul dengan revolusi kaum proletar yang dipimpin oleh kaum Bolsyevik di bawah kendali V.1. Lenin dalam bulan Oktober 1917, Wertheim masih di kota tempat keiahirannya, belajar sebagai siswa Sekolah Dasar yang khusus diadakan untuk anak-anak keluarga asing yang tinggal di St. Petersburg. Kebanyakan orang asing di lingkungan Wertheim tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi di sekitar mereka dan beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di Rusia pada waktu itu hanyalah mcrupakan perubahan dari pemerintah Czar, yang bersifat otoriter, menjadi pemerintahan yang didasarkan atas asas demokrasi melalui sistem parlemen. Menurut mereka, gangguan yang sedang terjadi dalam tata tertib kehidupan masyarakat Rusia pada waktu itu hanyalah ulah sejumlah perusuh. Menurut orang-orang asing di lingkungan keluarga Wertheim, keadaan, selain perubahan dalam pemerintahan, pasti akan kembali seperti semula, paling lama dalam waktu 6 bulan. Tidak banyak diantara mereka pada waktu itu menyadari bahwa suatu revolusi dalam arti yang sebenarnya sedang berlangsung (2).
Tahun 1918 Wertheim mengikuti ibu dan saudara-saudaranya menyingkir kecmbali ke Nederland dimana ia memperoleh pendidikan menengah dan pendidikan tingginya. Dari kota besar Leningrad di Rusia keluarganya pindah ke pedesaan keeil Katwijk di Belanda (3).
Sebagai mahasiswa Wertheim belajar pengetahuan hukuni di Universitas Leiden untuk memperoleh gelar Mcester in de Rechten (Mr.) dalam Hukum Belanda, gelar yang diraih tahun 1928, lalu, karena pada akhir tahun-tahun 1920-an sukar memperoleh pekerjaan di Belanda, agar dapat bekerja di tanah jajahan Belanda di Timur, ia meneruskan pengkajiannya belajar pengetahuan Hukum Hindia Belanda dan pengetahuan lain, termasuk pengetahuan bahasa Jawa yang diberikan oleh Prof. Dr. C.C. Berg, yang diperlukan untuk dapat menjadi pegawai Pemerintah jajahan Hindia Belanda. Tahun 1930, pada waktu ia selesai dengan pendidikan keahliannya dalam bidang Hukum Hindia Belanda ia juga berhasil meraih gelar Doktor dalam llmu Hukum atas dasar disertasi berjudul "Aansprakelijkheid voor schade buiten overeenkomst" (Hak menuntut ganti rugi di luar perjanjian) (4).
Segera sesudah Wertheim menyelesaikan pendidikan tingginya ia menikah dengan Mr. Hetty Gijse , Weenink, bekas sesama mahasiswa di Fakultas Hukum, yang kemudian senantiasa mendampingi dan mendukung kegiatan-kegiatannya.
Bekerja di Hindia Belanda, 1931-1942
Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, Wertheim ditempatkan sebagai pegawai yang diperbantukan pada Ketua Landraad (Pengadilan Negeri) di Tanjung Karang, Lampung, dimana Doktor Hukum yang berusia 24 tahun ini bekerja selama setengah tahun (s). Ia menjadi sangat tertarik pada gejala transrnigrasi di daerah Sumatera Selatan ini, minat yang kemudian, pada paruh kedua tahun-tahun 1950an, bangkit kembali. Dari Sumatera Selatan beliau dipindahkan ke Batavia (kini: Jakarta), pusat kekuasaan jajahan Belanda di kepulauan Indonesia, menjadi pejabat di Departemen Kehakiman.
Di lingkungan orang-orang Eropa, yang pada umumnya merasa diri berkedudukan jauh lebih tinggi daripada orang-orang pribumi, pada mulanya ia sangat terkesan akan kelebihan orang Eropa dalam pendidikan, kepekaan budaya yang bagi mereka adalah kebudayaan Eropa, dan kecerdasan mereka yang dianggap lebih daripada kecerdasan orang lain (6). Ia menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat jajahan Belanda, gaya hidup yang dianggap biasa oleh pelaku-pelaku yang bersangkutan.
Perhatian Wertheim pada ilmu pengetahuan mengakibatkan pengangkatan beliau sebagai Gurubesar Pertentangan Hukum, menggantikan Prof. Dr. R.D. Kollewijn, Gurubesar Hukum Perdata Antar Golongan, di Fakulteit der Rechtsgeleerdheid (Fakultas Pengetahuan Hukum), Rechtsbogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), di Batavia, tahun 1936. Dalam pekerjaannya sebagai pengajar dan pembimbing mahasiswa, ia mulai berkenalan dengan pemikiran dan cita-cita tunas-tunas muda orang-orang terpelajar Indonesia yang pada umumnya menentang penjajahan Belanda dan menganut faham kebangsaan Indonesia (7). Ia mulai menyadari bahwa tata kehidupan masyarakat jajahan sesungguhnya tidak adil terhadap orang-orang pribumi, peranakan Belanda dan keturunan Cina.
Dalam bulan September 1940, sesudah perang yang kemudian dikenal sebagai Perang Dunia II pecah dan sesudah Nederland dikuasai oleh angkatan bersenjata Jerman, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan suatu Commissic tot Bestudering van Staatsrechtelijke Hervormingen (Komisi untuk Mengkaji Pembaharuan Hukum Negara), yang diketuai oleh Dr. F.H. Visman, seorang anggota Dewan Hindia, badan pertimbangan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Wertheim diangkat sebagai salah seorang anggota komisi ini yang segera dikenal umum sebagai Komisi-Visman. Komisi Visman juga beranggotakan beberapa tokoh Indonesia, yaitu Mr. Soejono, Mr. Soepomo, Dr. Moelia dan Mr.Ir. Ong Swan Yoe.
Sebagai anggota Komisi Visman Wertheim memperoleh banyak pengetahuan tentang pemikiran-pemikiran yang pada dasarnya bersifat tuntutan pembaharuan yang terdapat di kalangan masyarakat pribumi.Pembicaraan yang ia ikuti dengan beraneka ragam kelompok sebagai anggota Komisi Visman memberikan kesadaran yang lebih bcsar pada beliau tentang apa yang pada umumnya diinginkan oleh para orang pribumi Indonesia sesudah perang berakhir: mereka menginginkan pembebasan dari kekuasaan kaum penjajah, mereka menginginkan kemerdekaan bangsa Indonesia (8). Organisasi-organisasi politik orang pribumi, seperti Parindra, Gerindo, PSII, Partai Islam Indonesia, Pasoendan dan Persatoean Minahasa yang tergabung dalam Gaboengan Politiek Indonesia, atau Gapi, sesungguhnya sudah menuntut Indonesia bebas dari Belanda sekarang juga. Sentimen anti Belanda dikalangan penduduk Indonesia sangat kuat meskipun kebanyakan orang Belanda sendiri tidak begitu menyadari kekuatan perasaan anti penjajahan ini.
Bahkan dalam laporan akhir yang dihasilkan oleh komisi Visman, tertanggal 9 Desember 1941, kekuatan gerakan kebangsaan Indonesia tidak ditampilkan, ditutup-tutupi. Laporan ini juga ditanda tangani oleh Wertheim dan para anggota Indonesia komisi tersebut. Dalam bulan Oktober 1941 Wertheim diangkat sebagai Ketua (Voorzitier) Fakultas Pengetahuan Hukum menggantikan Prof. Dr. G.H. Van der Kolff. Pada waktu itu nama jabatan "Dekan" tidak digunakan di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum. Jabatan yang amat terhormat ini, antara lain, memberi hak kepada Wertheim untuk menggunakan nomor mobil yang rendah angkanya, B-21,tanda bahwa pengendaranya adalah orang yang amat penting dalam hirarki kekuasaan pemerintah jajahan Hindia Belanda.
Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945
Ketika angkatan bersenjata Jepang menyerbu kepulauan Indonesia dan dalam waktu singkat berhasil menaklukkan angkatan bersenjata Hindia Belanda, sekalian orang Belanda, termasuk Wertheim, ditangkap olch tentara Jepang, Maret 1942. Wertheim sendiri ditahan di berbagai kamp konsentrasi Jepang selama masa pendudukan Jepang, sedangkan isteri dan anak-anaknya berturut-turut ditempatkan di 3 kamp konsentrasi di atau sekitar Jakarta. Kemenangan gemilang angkatan bersenjata Jepang atas angkatan bersenjata Belanda dalam waktu singkat melenyapkan anggapan bahwa golongan kulit putih pada hakekatnya lebih tinggi martabatnya daripada bangsa -bangsa kulit berwarna.
Di dalam kamp konsentrasi Wertheim memperoleh banyak kesempatan untuk bertukar pikiran dalam kelompok-kelompok studi yang diadakan oleh kaum terpelajar Belanda. Salah seorang sesama tahanan yang banyak mempengaruhi pemikirannya ialah Prof. Jaap de Haas (9), mantan Gurubesar di Sekolah Tinggi Kedokteran yang menganut paham Sosialisme yang radikal. Di kamp konsentrasi ia juga belajar bahasa Indonesia dengan Dr. Fokker, ahli bahasa Indonesia, sebagai gurunya.
Dalam masa pendudukan Jepang Wertheim pernah ditangkap oleh Kenpetai, polisi rahasia Jepang yang sangat ditakuti, dan dibawa ke Purwokerto di mana ia dipenjarakan selama 3 bulan. Terakhir ia ditempatkan di kamp konsentrasi di Cimahi dimana ia meringkuk sampai, sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu dan kernerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, ia dibebaskan pada tanggal 31 Agustus 1945 dan dapat bergabung kembali dengan keluarganya di Batavia, kota yang pada waktu itu bagi kebanyakan orang sudah dinamakan Jakarta.
Masa Revolusi Indonesia, 1945-1950
Dalam kekacauan yang biasa terjadi pada masa peralihan kekuasaan pemerintah, seperti pada akhir Perang Dunia 11, Wertheim ikut mendirikan Roode Kruis (Palang Merah) Belanda di Batavia, September 1945, untuk membantu korban-korban perang, terutama para bekas tahanan Jepang.
Dalam pada itu, para guru besar Belanda yang berhasil bertahan selama perang berlangsung dan sesudah Jepang menyerah keluar dari kamp-kamp konsentrasi Jepang berkeinginan untuk selekas mungkin bekerja kembali mclaksanakan tugas sebagai pengajar diperguruan tinggi. Dengan bantuan Pemerintah Hindia Belanda, yang berusaha menegakkan kekuasaannya kembali di bekas tanah jajahannya, pada tanggal 21 Januari 1946 diresmikan pembentukan perguruan tinggi yang dinamakan Nood Universiteit (Universitas Darurat) (10), diJalan Raden Saleh, Jakarta, di Gedung yang sekarang merupakan gedung induk Rumah Sakit "Tjikini". Wertheim menjadi Gurubesar kembali di Fakulteit derrechisgeleerdheid en van Sociale Wetenschappen (Fakultas Pengetahuan Hukum dan Ilmu Sosial) dari universitas ini yang setahun (11) kemudian diganti namanya menjadi Universiteit Van Indonesie dan sekarang dikenal sebebagai Universitas Indonesia. Dalam tahun kuliah pertama yang diselenggarakan oleh "Nood Universiteit" tersebut bekerja 27 gurubesar biasa dengan hanya 221 mahasiswa, kebanyakan keturunan Belanda dan Cina.
Pengalaman dan pengamatan Wertheim berkenaan dengan perkembangan amat cepat yang terjadi di Indonesia segera setelah Perang Dunia II berakhir, terlebih lagi kegiatan-kegiatan bangsa Indonesia yang berusaha mendirikan suatu negara republik yang bebas dari kekuasaan asing, mendorong Wertheim, yang mengalami perubahan pemikiran dalam masa terkurung di kamp konsentrasi tentara Jepang berkenaan dengan perjuangan bangsa Indonesia, menulis suatu nota, tertanggal 21 November 1945, kepada Prof. Mr. Baron F.M. van Asbeck(12), Guru besar Hukum di Universitas Leiden yang sebelum Perang Dunia II bekerja sebagai sejawat di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.
Dalam nota ini Wertheim berusaha menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada akhir tahun 1945 itu sebagai suatu masyarakat di mana rakyat golongan rendahan, meskipun terselubung oleh keramahan dan kesediaan menanggung penderitaan, merasa tidak puas akan perbedaan-perbedaan sosial yang besar sehingga mudah menjadi peserta gerakan-gerakan perlawanan yang dengan sendirinya dapat diarahkan terhadap orang asing dan pemerintah; dimana penduduk yang, sebagai akibat kekalahan Belanda dan pendudukan Jepang, pada umumnya beranggapan bahwa masa kekuasaan pemerintah Belanda dan kekuasaan penjajahan Belanda telah berakhir; dimana ketaatan golongan priyayi pada kekuasaan Belanda, terutama para bupati, wedana dan pejabat tinggi, ternyata hanya merupakan oportunisme saja karena pada waktu pengusaha Jepang memberikan kedudukan tinggi yang paling sedikit sederajat dengan yang mereka tempati dalam masa jajahan Hindia Belanda, mereka bersedia bekerja sama dengan penguasa Jepang, dan oleh sebab itu pasti bersedia juga bekerja untuk pemerintah yang baru; dimana Pemerintah Republik didukung oleh gerakan kebangsaan yang sehat; dimana kaum cendekiawan yang dipimpin oleh Sjahrir dan Sjarifoedin mengusahakan menanggapi revolusi nasional sebagai suatu revolusi sosial, yang akan meruntuhkan kekuasaan feodal, bersifat revolusioner tapi tidak bersikap anti-Barat; dan seterusnya.
Dalam bulan November itu juga Wertheim bersama beberapa cendekiawan Belanda yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Beb Vuyk, Prof. W.P.C. van Hattum, dan J. de Kadt, mengeluarkan suatu pernyataan yang mengemukakan pemikiran mereka berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di Indonesia pada waktu itu.
Guru Besar di Universitas Amsterdam, 1946-1972
Dalam bulan Februari 1946, atas nasihat dokter, Wertheim dan keluarganya kembali ke Belanda dimana Wertheim diangkat menjadi Gurubesar Sosiologi Indonesia di Faculteit der Politieke en Sociale Wetenschappen (Fakultas llmu Politik dan Sosial) yang didirikan sebagai fakultas baru darigemeentelijkc Universiteit van Amsterdam (Universitas Kotapraja Amsterdam). Pidato pengukuhannya sebagai Gurubesar Sosiologi Indonesia memusatkan perhatian pada masalah golongan peranakan Belanda, Belanda-Indo, di Indonesia.
Wertheim berusaha lagi mempengaruhi Pemerintah Belanda secara langsung berkenaan dengan kebijaksanaan terhadap Indonesia dengan menulis suatu Nota, tertanggal 6 Mei 1946, yang diarahkan kepada Prof.Dr. J.H.A. Logemann, Menteri Daerah Seberang Lautan, Kerajaan Belanda (13), yang juga pernah bwkerja sebagai sesama Gurubcsar di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Dalam nota tersebut ia membantah anggapan komisi Parlemen Beiinda yang berkunjung ke Indonesia untuk mciihat keadaan di tempat bahwa rakyat Indonesia bersimpati pada orang-orang Belanda. Wertheim mengemukakan lagi bahwa para orang terpelajar Indonesia dan rakyat Indonesia pada umumnya mendukung Republik Indonesia kecuali sejumlah oknum yang mendekati orang-orang Belanda, seperti para bekas pembantu rumahtangga keluarga Belanda, atas dasar pertimbangan ekonomi.
Di antara mahasiswa Indonesia yang mengikuti kuliah dan kuliah kerja beliau di Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Amsterdam terdapat Sdr. M.P. Sediono Tjondronegoro (kini: Prof.Dr. M.P. Sediono Tjondronegoro, Gurubesar Sosiologi Pedcsaan di Institut Pertanian Bogor), Sdr. S.B. Martokoesoemo (kini: Drs. Soeksmono Besar Martokoesoemo, mantan Direktur Bank Indonesia dan Direktur Asian Development Bank di Manila), Sdr. Basuki Gunawan (kini: Dr. Basuki Gunawan, ahli sosiologi yang menetap sebagai pencliti free-lance di Nederland), dan penulis sendiri. Wertheim bekerja sebagai Gurubesar, terakhir scbagai Gurubesar "Sociologic der Niet-Westerse Volken" (Sosiologi Bangsa-bangsa Bukan-Barat), di Universitas Amsterdam sampai tahun 1972 (14), ketika beliau, pada umur 65 tabun, memasuki masa pensiun.
Buku-Buku Pertama
Buku pertama merupakan hasil karya Wertheim dan mengungkapkan pemikirannya sebagai seorang cendekiawan yang senantiasa terlibat dalam masalah-masalah moral, diterbitkan tahun 1948 dengan judul in 'Gesprek met Mijzelf. Overdenkingen over weten, begrijpen engeloven" (Percakapan dengan Diri Sendiri: pemikiran tentang pengetahuan, pemahaman dan kepercayaan) (15), suatu pereakapan yang bersifat filosofis.
Hubungan antar golongan ras yang ia alami dan amati pada waktu berdiam di masyarakat jajahan Hindia Belanda dan yang juga senantisa merupakan masalth di Eropa dan Amerika Serikat, mendorong Wertheim, selain menjadikannya sasaran perhatian dalam pidato pengukuhannya scbagai Gurubesar di Universitas Amsterdam, untuk juga menulis suatu buku tentang masalah ini. Pada tahun 1949 terbit karya beliau berjudul Het Rassenprobleem: 'De ondergang van een mythe" (Masalah Ras: kehancuran suatu mitos) (16), yang membandingkan cara masalah hubungan antar ras dan upaya mengatasi masalahnya dilakukan di Amerika Serikat dengan penanganan masalah hubungan antar ras, terutama berkenaan dengan golongan minoritas Peranakan Belanda dan keturunan Cina, di Indonesia.
Ia terkesan pada gambaran yang diajukan oleh para ahli sosiologi Amerika yang memperlihatkan bahwa masalah perbedaan ras banyak persamaannya dengan masalah perbedaaan kelas, atau "stand", dalam masyarakat. Banyak keputusan dalam kehidupan para anggota masyarakat tergantung pada kedudukan yang ditempati dalam struktur masyarakat yang bersangkutan: siapa yang akan dinikahi, jenis pekerjaan apa yang akan dipilih, pendidikan apa yang akan diberikan pada anak-anak sendiri, bahkan juga keputusan berkenaan dengan hal ikhwal sehari-hari, seperti pakaian apa yang akan dikenakan, siapa yang dijadikan teman dan siapa yang dijauhi, dan banyak lagi yang lain. Mengkaitkan masalah perbedaan ras, yang diselubungi mites ras yang ulung, dengan gejala perbedaan kelas dalam masyarakat, gejala yang lebih diketahui umum, memungkinkan pemberian penjelasan yang lebih mudah dapat dipahami oleh orang banyak.
Dalam upaya mengkaji, menganalisis dan menjelaskan gejala-gejala kehidupan bermasyarakat di kawasan Asian, terutama hubungan antar golongan dalain masyarakat jajahan Hindia Belanda yang bectambah menarik perhatiannya, Wertheim menulis berbagai karangan yang dimuat dalam berbagai terbitan berkala, seperti De Nieuwe Stem, majalah Jerman Universitas, Sociologisch Jaarboek dan majalah Amerika Pacific Affairs. Sejumlah karangan yang diterbitkan antara tahun 1947 dan 1950 dikumpulkan sebagai buku yang diterbitkan tahun 1950 denganjudul "Herrijzend Azie: Opstellen over de Oosterse Samenleving" (Asia Yang Bangun Kembali: Karangan tentang kehidupan masyarakat Timur) (17).
Dalam buku inj terdapat uraian tentang hasil pengkajian J.C. van Leur, ahli sejarah yang inenyajikan gambaran yang barn sekali tentang sifat perdagangan di Asia Kuno, suatu gambaran yang sangat terpengaruh oleh pemikiran teori sosiologi Max Weber. Van Leur menganalisis struktur masyarakat Indonesia kuno untuk mengungkapkan bagaimana sesungguhnya sifat kolonisasi Hindu. Dalam kenyataan pada masa lampau itu para pedagang India terdiri atas pedagang keeil dari lapisan masyarakat rendah yang mengelompok di kampung-kampung Keling di kota-kota pelabuhan kepulauan Indonesia. Tak mungkin pedagang-pedagang kecil berbahasa Tamil ini berkemampuan untuk meniperkenalkan kebudayaan Hindu adiluhung seperti upacara keagamaan, ritual, kesusasteraan, cara menjalankan pemerintahan, seni bangunan dan sebagainya. la beranggapan bahwa mungkin sekali kebudayaan Hindu diperkenalkan oleh beberapa pendeta Hindu yang diundang untuk membantu para raja pribumi dalam mensahkan kedudukan mereka sebagai penguasa setempat, seperti raja-raja di Eropa Utara dan Timur dalam masa Abad Pertengahan menggunakan pendeta Katolik untuk memperolch pengesahan sebagai raja. Oleh sebab itu anggapan bahwa raja-raja yang berkuasa di kepulauan Indonesia dalam. masa kuno ada]ah orang-orang dari India tidak dapat dibenarkan. Mereka adalah orang pribumi.
Kebudayaan Islam yang agung juga dijadikan milik golongan-golongan bangsawan pribumi tertentu atas dasar pertimbangan politik dan militer, yaitu untuk menentang kekuasaan terpusat dari penguasa Hindu dan kemudian menentang pengaruh Katolik pendatang-pendatang Portugis yang hendak memperluas kekuasaan mereka di kepulauan Indonesia.
Dalam buku Heffijzend Azie ini Wertheim juga membahas perubahan yang terjadi dalam struktur pelapisan sosial di Indonesia, masala golongan peranakan yang berada di dua dunia yang berbeda, kepribadian bangsa Indonesia, renaissance (kehidupan kembali) dari kebudayaan Indonesia, kebangkrutan perkebunan buatan Belanda ("Indische cultures") monopoli dalam sistem kapital yang hanya menguntungkan bangsa-bangsa yang lebih dahulu berhasil memperoleh monopoli ataskehidupan ekonomi, dan bantuan yang diperlukan oleh negara-negara yang masih tertinggal dalam perkembangan.
Bersama isterinya, A. Hetty Wertheim Gijse Weenink, yang mempunyai perhatian besar pada pengkajian sejarah, Wertheim melanjutkan pengungkapan pemikiran dan perasaannya berkenaan dengan kehidupanmanusia yang tiga tahun kemudian terbit sebagai buku berjudul "De Mensheid up Avontuur" (Kemanusiaan dalam Petualangan) (11). Di dunia Eropa dan Amerika Serikat,manusia pada umumnya bergerak scoring diri, mengadakan petualangan sendiri. Penemuan-penemuan tekniknya tidak terpadu dengan penemuan bcsar yang dihasilkan olch dunia perburuhan, yaitu kerjasama. Menurut Wertheim kerjasama ini diperlukan untuk menciptakan dunia yang baru.
Keterlibatan Wertheim dalam upaya pengembangan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia dan kesadaran akan peluasan perhatian internasional pada Indonesia mefidorong Wertheim untuk memprakarsai upaya penerjemahan karya-karya ilmiah yang penting tentang Indonesia yang tertulis dalam bahasa Belanda, suatu bahasa yang tidak banyak diketahui di luar kalangan orang Belanda dan orang-orang terpelajar di bekas tanah jajahannya ke dalam bahasa Inggris agar dapat diketahui oleh lebih banyak peminat. Sebagai pemrakarsa beliau bertindak sebagai Ketua suatu Komite Redaksi yang menerbitkan seri buku bernama Selected Studies on Indonesia (11). Dengan demikian dapatlah diperkenalkan karya sosiologi sejarah B. Sehrieke, karya sejarah J.C. van Leur, karya ilmu ekonomi J.H. Boeke, dan ahli-ahli pengkajian Indonesia terkemuka lain yang berkebangsaan Belanda dalam terjemahan bahasa Inggris, suatu bahasa yang lebih mudah dapat difahami olch dunia internasional.
Tentang Perkembangan Masyarakat Indonesia
Tahun 1956 terbit hasil pengkajian masyarakat Indonesia yang bagi kita di Indonesia bolch dikatakan merupakan karya utama Wertheim, buku berjudul Indonesian Society in Transition (Masyarakat Indonesia dalam peralihan) 121) yang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan ulang sebagai edisi perbaikan dalam tahun 1959.
Sesungguhnya buku ini mcrupakan peluasan suatu karya ilmiah berjudul The Effects of Westein Civillation on Indonesian Society (Dampak kebudayaan Barat pada Masyarakat Indonesia) yang ditulis atas permintaan Institute of Pacific Relations dalam tahun 1950. Dalam karya tulisan yang disampaikan dalam bentuk awal pada kesebelas dari lembaga tersebut, yang diselenggarakan di Lucknow, India, dalam bulan Oktober 1950, Wertheim berusaha menarik perhatian para ahli yang mengkaji masyarakat-masyarakat yang sedang bergolak di Asia tidak hanya pada masalah ekonomi yang telah banyak memperoleh perhatian, tapi juga pada perubahan struktur kelas, urbanisasi, dan modernisasi Islam (21)
Karya tulisan yang ditulis tahun 1950 ini kemudian ditulis ulang dan ditambah dengan dua bab baru, yaitu tentang perubahan pola hubungan kerja dan dinamika budaya di Indonesia, sehingga buku baru yang dihasilkan dan diterbitkan dengan judul Indonesian Society in Transition menjadi suatu karya ilmiah yang menyajikan suatu sejarah sosial Indonesia yang diharapkan dapat mengungkapkan latar belakang sosial gerakan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia sehingga lebih dapat dipahami. Untuk mempermudah pembaca memahami uraian tentang sejarah sosial ini, Wertheim mendahului uraian yang bersangkutan dengan 4 bab yang ditulis sebagai suatu perkenalan umum tentang persamaan dan keanekaragaman ("Bhinneka Tunggal Ika") di Indonesia, geografi dan penduduknya, gambaran umum tentang perkembangan sosial di Asia Selatan dan Tenggara, serta garis besar sejarah politik Indonesia.
Menurut pemikiran Wertheim, perkembangan masyarakat Indonesia merupakan perkembangan dari masyarakat bentuk feodal, yang terwujud sebagai negara-negara pribumi yang terdahulu, melalui kapitalisme borjuis menjadi masyarakat yang mewujudkan kolektivisme masa kini. Oleh sebab itu pada umumnya masing-masing bab yang membahas perubahan dalam sektor tertentu dari kehidupan bermasyarakat dibagi dalam 4 bagian.
Bagian pertama merupakan usaha menjelaskan keadaan masyarakat sebelum kedatangan orang-orang Eropa, yang digambarkan sebagai masa feodal pre-modern atau masa yang dikuasai oleh tradisi budaya pribumi dan berakhir pada permulaan abad ke XIX, bab yang menampilkan struktur kesukuan, pedesaan dengan persawahan hirarki politik-keagamaan dari negara-negara awal priburni. Penggambaran masyarakat Indonesia kuno ini banyak didasarkan atas hasil pengkajian yang dilakukan oleh J.C. van Leur (22) '
Bagian kedua menjelaskan keadaan masa jajahan dengan menampilkan kolonialisme Belanda yang mengakibatkan kapitalisme merasuk masuk merongrong dasar-dasar masyarakat tradisional pada sekalian lapisan. Kapitalisme daiam perdagangan dan industri yang semula diwujudkan oteh usahawan-usahawan perorangan dalam waktu singkat berubah menjadi kapitalisme yang dikembangkan oleh perusahaan- perusahaan besar. Kebijakan pemerintah jajahan digambarkan sebagai upaya untuk meperkuat struktur tradisional agar tidak terjadi perubahan sosial. Kalau ahli ekonomi J.H. Boeke mengemukakan bahwa politik dualistic Belanda membedakan sektor ekonomi kapitalis dari sektor pra-kapitalis sehingga dalam masa depresi internasional memungkinkan para petani pribumi kembali ke ekonomi tradisional yang memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar dalam kehidupan mereka, Wertheim mengemukakan bahwa dalam kenyataan para tani pribumi menjadi orang miskin yang melarat. Pelapisan sosial dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda didasarkan atas warna kulit: orang-orang berkulit putih menempati lapisan atas, orang-orang pribumi yang berkulit berwama menempati lapisan bawah, sedangkan orang-orang lain, seperti peranakan Belanda dan keturunan Cina, menempati lapisan tengah, yang juga ditempati oleh orang-orang Belanda tertentu yang jatuh ke bawah dan orang-orang pribumi tertentu yang naik ke atas. Bagian ketiga menjelaskan perubahan yang terjadi pada penduduk pribumi Indonesia.
Menurut Wertheim, masa jajahan dalam abad ke XIX dan permulaan abad XX merupakan juga masa munculnya suatu golongan borjuis Asia, yang terdiri atas pegawai pemerintah, pengusahawan, dan tenaga professional, seperti para dokter, ahli hukum dan insinyur, yang berpendidikan Barat. Di Indonesia mereka cenderung menggugat kekuasaan para penguasa tradisional dan kemudian juga para penguasa jajahan Belanda. Semula gerakan kebangsaan timbul sebagai kelompok-kelompok manusia yang penuh cita-cita dan sangat bersifat perorangan (individualistik), tapi gejala demikian segera berubah menjadi pengutamaan tindakan bersama yang terwujud sebagai organisasi-organisasi sosial berskala besar, seperti sarekat buruh, partai politik, dan sebagainya.
Dan bagian keempat merupakan usaha menjelaskan perubahan masyarakat Indonesia sejak menjadi negara yang merdeka. Bekenaan dengan politik, Wertheim mengemukakan bahwa politik yang mementingkan kedaerahan, korupsi dan paternalisme merupakan hambatan bagi perkembangan bentuk pemerintah yang sepenuhnya berdasarkan demokrasi. Berkenaan dengan ekonomi ia mengemukakan bahwa ketergantungan pada ekspor danproduktivitas pekerja yang rendah menghambat lepas landas untuk pertumbuhan yang cepat. Berkenaan dengan pelapisan sosial ia melihat adanya kecenderungan banyak anggota barn golongan elit, yang terdiri atas orang-orang terpelajar, berusaha mengambil alih peranan dan hak-hak istimewa golongan elit feodal yang mereka gusur, suatu gejala yang menurut pendapat Wertheim menghambat perkembangan menuju persamaan kedudukan antar anggota masyarakat (egalitarianisme). Arus gerak penduduk dari pedesaan ke kota-kota, urbanisasi, mengakibatkan kepadatan penduduk di kota-kota dan pola-pola kehidupan perkotaan yang barn. Pembaharuan agama digambarkan sebagai munculnya gerakan-gerakan fundamentalis agama yang menentang pemerintah pusat. Sedangkan gambaran tentang dinamika kebudayaan mengemukakan rasa terasing dan. tak berdaya yang tercermin pada karya tulisan berbagai penulis muda.
Kesimpulan Wertheim, pendekar kemanusiaan yang menganut paham bahwa pada dasarnya hak-hak sekalian manusia adalah sama, adalah dinamika revolusioner yang telah mengakibatkan terbentuknya Republik Indonesia telah menjadi lemah. Gerak (momentum) menuju perubahan yang cepat dan menyeluruh dari masyarakat Indonesia yang begitu menonjol diantara Perang Dunia mulai melambat.
Kesimpulan demikian dibuat pada paruh pertama tabun 1950-an dan diperbaiki pada akhir dekade yang bersangkutan, pada waktu perkembangan maju yang didambakan oleh kebanyakan orang yang ingin agar masyarakat Indonesia selekas mungkin dapat berkembang sesuai dengan penggerak dan cita-cita perjuangan yang melibatkan pembentukan negara Republik Indonesia yang merdeka memang mengalami kemerosotan.
Momentum menuju perubahan yang cepat dan menyeluruh yang melemah pada akhir tahun-tahun 1950-an kemudian, terutama dalam masa Orde Barn, menjadi kuat kembali.sehingga masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang cepat, dalam berbagai hal terkadang terlalu cepat, keadaan yang rnenimbulkan berbagai persoalan yang mungkin dapat dihindarkan bilamana tersedia waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan perubahan-perubahan yang bersangkutan terlebih dahulu.
Pada pertengahan tahun-tahun 1950an bersama dengan ahli sejarah terkemuka Prof. Dr. J.M. Romein dan H.M. van Randwijk, Wertheim juga berusaha memperlihatkan perubahan yang sedang terjadi di dunia yang lebih luas daripada Indonesia dengan penerbitan suatu buku berjudul Een Wereld Beweeqt (Suatu Dunia Bergerak) (1956). Dalam buku ini sejarawan Romein mengemukakan pengertian "dialektika kemajuan" yang juga dianut oleh Wertheim. Menurut mereka, keterbelakangan masyarakat-masyarakat tertentu justru dapat memacu perkembangan masyarakat, sedangkan suatu tingkat kemijuan yang tinggi, seperti terwujud di Eropa, dapat merupakan hambatan bagi upaya memajukan kemanusiaan.
Penciptaan Dua Doktor Sosiologi Indonesia
Antara bulan Oktober 1956 dan Oktober 1957, dalam masa pertentangan politik antara Indonesia dan Belanda berkenaan dengan daerah Irian Barat (kini: Irian Jaya), Wertheim masih bersedia membantu perkembangan tenaga ahli Indonesia dalam bidang sosiologi dengan bertindak sebagai Gurubesar Tamu di Fakultas Pertanian di Bogor yang pada waktu itu masih merupakan bagian dari Universitas Indonesia. Beliau memberi kuliah tentang masalah kepadatan penduduk di Jawa dan transmigrasi. Kuliah diberikan dalam bahasa Indonesia meskipun pada permulaan sekalian kuliah terpaksa masih ditulis terlebih dahulu, dari kalimat pertama sampai akhir. Beliau rnembimbing beberapa tenaga ahli muda dalam upaya penelitian dan penulisan disertasi doktor inasing-masing, suatu kegiatan yang juga memberi kesempatan pada beliau untuk mengadakan penelitian lapangan sendiri di daerah Lampung.
Dua diantara calon-calon doktor ini berhasil menyelesaikan tugas akademik mereka masing-masing sehingga memperoleh bak menggunakan geltr Doktor. Kedua tenaga ahli ini ialah Ir. Kampto Octomo (sekarang: Prof. Ir. Sayogyo, Gurubesir Sosiologi, Institut Pertanian Bogor) yang menutis disertasi berjudul "Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah W. Sekampung" dan menjalankan promosi di Universitas Indonesia tahun 1957. Disertasi ini kemudian diterbitkan dengan judul: De Samenleving van spontane transmigranten in het gebied Way Sekampung (Lampung), denian kata pengantar olch W. F. Wertheim (23). Bekas promovendus Wertheim ini kemudian menjadi tokoh utama dalam pengembangan pendidikan tinggi dan penelitian dalam bidang sosiologi pedesaan di Indonesia.
Tenaga ahli kedua yang berhasil memperoleh gelar Doktor di bawah bimbingan Wertheim ialah Ir. Tubagus Bachtiar Rivai (sekarang: Prof. Dr.lr. H. lb. Bachtiar Rivai, mantan Direktur Jenderal Pendidikan, mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan mantan Dutabesar R.I untuk Perancis), yang menulis disertasi berjudul "Bentuk Milik Tanah dan Tingkat Kemikmuran: Penjelidikan Pedesaan di daerah Pati, Djawa Tengah". Beliau menjaiankan promosi di Universitas Indonesia juga pada tahun 1958.
Scan Lagi
Sejarah di Asia Modern berlangsung sejajar dengan apa yang terjadi di Eropa Barat beherapa abad yang lalu? Menurut Wertheim memang ada kesejajaran perkembangan antara apa yang dikenal sebagai Timur dan Barat, tapi perwujudannya dalam sejarah jauh lebih rumit daripada yang biasanya dianggap oleh banyak orang.
Penciptaan Seorang Doktor Sejarah Indonesia
Ketika Drs. Sartono Kartodirjo, M.A, yang baru saja, tahun 1964, memperoleh gelar M.A dalam bidang Sejarah di Yale University, Amerika Serikat, berusaha memperoleh gelar Doktor dalam bidang Sejarab, Wertheim bersedia bertindak sebagai Promoter dan membimbing calon Doktor dari Yogyakarta ini dalam penulisan disertasi yang ditampilkan dengan judul The Peasants Revolt of Banten in 1888.. Its conditions, course and sequel.. a case study of social movements in Indonesia". Proniosi Doktor sejarawan Indonesia Sartono Kartodirjo (sekarang: Prof Dr A. Sartono Kartodirjo, Gurubesar Sejarah di Universitas Gadjah Mada) diselenggarakan di Universitas Amsterdam tahun 1966. Beliau kemudian menjadi tokoh utama dalam pengembangan pendidikan tinggi dan penelitian sejarah di Indonesia.
Percobaan Perebutan Kekuasaan oleh PKI di Indonesia
Peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia mengakibatkan sikap pandangan Wertheim terhadap Indonesia mengalami perubaban yang radikal, meskipun atas dasar pemikiran filsafat yang sama. Bilamana dalam masa Revolusi Indonesia dan kelimabelas tahun pertama sesudah Pemerintah Belanda terpaksa mengakui kedaulatan Indonesia, Wertheim menanggapi penduduk Indonesia sebagai satu kesatuan besar, yaitu bangsa Indonesia, maka sejak peristiwa tersebut ia membedakan adanya penguasa militer dari rakyat Indonesia. Suatu pembedaan yang menjadikan analisis mengenai apa yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun-tahun 1960-an itu menjadi tidak sesuai lagi dengan kenyataan.
Tanggal 30 September 1965 terjadi upaya perebutan kekuasaan Pemerintah oleb gerakan 0-30-S/PKI, gerakan yang dapat ditumpas di bawah pimpinan Jenderal Soeharto dan mengakibatkan seluruh PKI hancur lebur sebagai organisasi politik yang sebelumnya sangat besar.
Meskipun Wertheim bukan penganut Komunisme tapi cenderung anti kekuasaan militer sebagai akibat pengalaman pribadinya dalam masa Perang Dunia II, peristiwa yang bersangkutan ditanggapi oleh Wertheim dan kawan-kawannya sebagai peristiwa pertentangan antar perwira militer yang kemudian dimanfaatkan oleh apa yang dinamakannya 'golongan kanzin' untuk menumpas PKI, suatu partai yang dalam pandangan Wertheirn memperjuangkan pembebasan tani dan buruh dari kekangan- kekangan sosial yang membatasi kebebasan mereka untuk maju (15).
Kebetulan di sejumlah universitas di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, termasuk Belanda, serta diantara sebagian kalangan terpelajar, pada waktu itu akhir tahun-tahun 1960-an dan tahun-tahun 1970-an -Perang Vietnam, perjuangan golongan berkulit bitam di Amerika Serikat untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraan yang sama dengan hak-hak golongan berkulit putih, frustasi karena kebanyakan mahasiswa dan pengajar muda yang merasa terkekang oleh sistem pendidikan tinggi tradisional yang tidak sesuai lagi dengaa tuntutan keadaan modern termasuk pcluasan paham demokrasi mengakibatkan timbulnya gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan New Left, kiri Baru. Para pendukung gerakan ini merasa kecewa terhadap keberhasilan golongan kiri konvensional sehingga membedakan diri dari golongan 1 kiri biasa. Pada dasarnya gerakan Kiri Baru ini menganut idealisme secara sangat kuat, mengutamakan pengertian keasingan (alienasi) dari K. Marx, dan menentang kekuasaan Pemerintah dan kekuasaan apa saja yang mengurangi kebebasan individu. Berbagai unsur anarkisme, sindikatisme, Trotskiisme, Maoisme dan Castroisme menjadi bagian dari paham Kiri Baru (26).
Gerakan Anti Pemerintah Jenderal Soeharto di Nederland, yang dipimpin oleh cendekiawan aktivis seperti Wertheim, Utrecht, dan Pluvier, yang menentang kekuasaan Pemerintah Soeharto di Indonesia, segera berpadu secara alamiah dengan gerakan Kiri Baru yang juga menentang kekuasaan. Wertheim tampil sebagai salah satu tokoh gerakan Kiri Baru di Nederland.
Dalam rangka ini Wertheim dan kawan-kawan sependiriannya mengadakan banyak kegiatan politik untuk memboikot pemberian bantuan pada Indonesia yang berada di bawah apa yang mereka namakan Pemerintahan diktatur militer Soeharto yang didukung oleh para kapitalis Amerika, dan sekarang juga oleh para kapitalis Jepang, yang semata-mata memberikan dukungan pada apa yang Wertheim dan kawan- kawan namakan 'golongan kanan' Indonesia untuk dapat memperoleh (mengeksploitasi) kekayaan alam Indonesia (27).
Pandangan demikian justru merupakan pandangan sosiologis yang sukar dibenarkan atas dasar kenyataan-kenyataan sosial yang bersangkutan, suatu pengetahuan sosiologi yang tidak terlalu terpengaruh olch pemikiran ideologi sebagaimana dianut oleh Wertheim dan kawan-kawannya.
Dalam bidang pengetahuan, pada akhir tahun-tahun 1960-an terbit lagi sejumlah karangan Wertheim bersama karangan isterinya, A.H. Wertheim-Gijse Weenink, sebagai buku berjudul "Ketters en Kweiels, Regenten en Rebellen" (Pemurni dan pengobrol agama, bupati dan pemberontak)(28).
Emansipasi
Perhatian Wertheim pada masalah perkembangan kemanusiaan dengan sendirinya mendorong ia untuk mengkaji gejala evolusi, yang ditanggapi sebagai perubaban yang terjadi secara bertahap, dan gejala revolusi, suatu perubahan besar yang mengubah keadaan stabilitas dan keseimbangan sebelum gejala yang bersangkutan terjadi, suatu perubahan mendasar dari keseluruhan struktur masyarakat. Karena menurut Wertheim, para ahli sosiologi tidak banyak memperhatikan gejala evolusi sebagai- suatu gejala normal' karena menurut pendapatnya, terpukau pada analisis structural yang tidak memungkinkan memperhatikan perubahan sosial suatu pengamatan yang mencerminkan keterbatasan pengetahuan sosiologinya Wertheim merasa perlu mengembangkan suatu jenis sosiologi yang lebih mampu menganalisis masyarakat manusia berkenaan dengan evolusi dan perubahan bersifat dinamik yang menyeluruh. Hasil kajian diterbitkan tahun 1968 dengan judul "Evolutic en Revolutie: De golfslag der emancipatie" (Evolusi dan Revolusi: Pukulan gelombang emansipasi)(29).
Rasa ketidakpuasan dan kegelisahan, menurut Wertheim, semakin meluas dan mengetuk pintu kekuatan-kekuatan yang telah bercokol lama ("old established forces"), paling sedikit di benua Asia dan Afrika, sedangkan menurut pengalamannya para orang terpelajar dan orang yang cukup cerdas pada umumnya tidak bersedia mengakui kenyataan bahwa mereka sedang menyaksikan perubaban penting dan berlangsung sejak lama dalam masyarakat dimana mereka berdiam. Pada waktu Republik Indonesia didirikan, misainya, kebanyakan orang Belanda beranggapan bahwa "nonsens" ini tidak akan dapat bertahan lama. Dalam pereakapan Wertheim dengan Letnan Gubernur Jenderal Hindia belanda J. van Mook padzi ak[ ir tahun 1945, orang terpelajar inipun mengatakan bahwa "Sepuluh kapal bermuatan bahan makanan dan pakaian dari Australia akan mengakibatkan seluruh penduduk Jawa mengalir ke pelabuhan untuk membongkar muatan. Itulah akan merupakan akhir pemberontakan" '"). Perkiraan yang, sebagaimana diketabui, tidak dibenarkan oleh kenyataan. Buku tentang evolusi dan revolusi yang pertama-tama ditulis dalam bahasa Belanda, diterbitkan dalam terjemahan bahasa Inggris sesudah dipersingkat dan berbagai bagian ditulis kembali, dengin judul Evolution and Revoltition: Tiie rising waves of emancipaiion (Evolusi dan revolusi: Gelombang yang menaik dari emansipasi)(31).
Tahun 1977 diterbitkan suatu edisi baru dari Evolutie en Retolutie yang merupakan hasil perombakan menyeluruh, dengan judul De Lange Mars der Emancipatie (Perjalanan panjang dari emansipasi)(32),yang menekankan pendapat Wertheim bahwa apapun yang diusahakan, misalnya mclilui bantuan internasional, proses evolusi yang terwujud sebagai emansipasi akan berlangsung terus, terkadang menentang upaya pemerintah, suatu proses yang tidak bisa dibendung.
Sesudah mengkaji teori yang dikembangkan oleh Wertheim, sebagai bekas mahasiswa Talcott Parsons, saya tidak dapat mengelakkan kesempatan untuk mengemukakan keunggulan ahii teori sosiologi Amerika ini berkenaan dengan masalah evolusi masyarakat (33).
Upaya Wertheim sebagai guru, peneliti, cendckiawan dan aktivis politik dihargai oleh sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial melalui penerbitan suatu Festschrift, terbitan penghormatan, yang diberi judul "Buiten de Grenzen: Sociologische opstellen aangeboden aan Prof. Dr. W.F.Wertheim" (Di luar batas: karangan-karangan sosiologi yang dipersembahkan kepada Prof.W.F. Wertheim) (1971).
Golongan Elite dan Orang Banyak
Pengkajian tentang perubahan masyarakat dengan sendirinya tidak dapat menghindari perhatian pada hubungan antara golongan elit dan masa, penguasa dan rakyat. Hasil kajian Wertheim tentang hubungan kedua golongan ini diterbitkan dalam buku berjudul: Elite en Massa: Een bijdrage tot ontmaskering van de elitewaan (Elite dan Masa. Suatu sumbangan pada pembukaan topeng anggapan diri sebagai elit)(34).
Wertheim beranggapan bahwa para ahli cenderung menanggapi golongan elite sebagai golongan yang pasti ada, yang kehadirannya tidak mungkin dapat dielakkan, suatu sikap-pandangan yang bagi Wertheim dianggap pesimis. Menurut anggapannya, dalam masyarakat terdtpat kelompok-ketompok tertentu yang dapat mclakukan peranan sendiri dalam gerakan emansipasi yang pada akhirnya akan membebaskan keseluruhan massa. Kenyataan mengandung banyak dinamika dan bersifat progresif, meskipun dalam petuasan emansipasi bisa terjadi hainbatan atau kemunduran yang bersifat sementara. Cuma, menurut anggapannya, harus ada kesediaan untuk menerima kenyataan ini sebagaimana adanya.
Masih tentang Indonesia
Tahun 1978 terbit lagi suatu buku kumpulan karangan wertheim tentang berbagai hal ikhwal sejarah Indonesia, buku berjudul Indonesie van Vorstentijk tot Neo-Kolonie (Indonesia: dari negara kerajaan sampai jajahan baru)(35).
Pada akhir masa kekaryaannya, hasil pengkajiannya berkenaan dengan Cina, negara terbesar di Asia, disajikan oleh Wertheim dalam suatu buku yang merupakan usaha membuat kesimpulan tentang kajian ilmiah yang dibuatnya selama ini. Buku yang menyajikan pemikirannya sebagai ahli sosiologi yang memperdalam pengetahuan tentang perubahan-perubahan masyarakat yang terjadi di Asia diberi judul Emancipation in Asia: positive and negative lessons from Cina (Emansipasi di Asia: peiajaran-pelajaran positif maupun negatif dari Cina)(1983).
Selain mengkaji Cina dari jauh, Wertheim berkesempatan mengunjungi Cina dalam tahun-tahun 1960-an dan tahun 1970. Menurut Wertheim Cina benar-benar sedang berkembang menjadi negara yang berhasil membebaskan diri dari kungkungan sebagai negara Dunia Ketiga. Penduduk kelihatan penuh kebanggaan diri dan berbeda sekali dengan penduduk di India dimana anak-aiiak dan orang dewasa banyak yang meminta-minta. Maka ia berkesimpulan, meskipun ia sendiri bukan penganut paham komunis, bahwa mungkin bigi Dunia Ketiga, dan terutama bagi negara-negara yang padat penduduk di Asia, komunisme dapat merupakan kunci untuk mengatasi permasalahan, suatu pandangan yang pada permulaan dekade 1990-an ini dengan cepat sekali kehilangan pendukung.
Dan tahun 1991 ini Wertheim masih menghasilkan suatu buku kenangan yang cukup tebal (367 halaman), yang ditulis bersama istri pedampingnya yang setia, berjudul Pier Wendingen in Ons Bestain: Indie verioren, Indonesie geboren (Empat Perubahan Arah Dalam Kehidupan Kami: Hindia menghilang,Indonesia lahir). Kedua penulis menggambarkan keempat perubahan yang terjadi pada diri mereka sebagai akibat perubahan lingkungan yang mereka alami: pertama, ketika Wertheim pindah dari kota besar St. Petersburg ke pedesaan Katwijk dan Hetty Gijse Weenink pindah dari pedesaan vecnhuizen ke kota Leiden; kedua, ketika mereka pindah berdiam ke Tanjong Karang dan pertama kali berkenalan dengan masyarakat kolonial; ketiga, ketika kepulauan Indonesia terancam oleh akan adanya perang besar yang kemudian terwujud sebagai runtuhnya kekuasaan Belanda di kepulauan Indonesia dan pendudukan kepulauan ini oleh tentara Jepang dan keempat, ketika sesudah Perang Dunia berakhir, dan mereka ikut mengalami permulaan revolusi Indonesia, mcreka pindah kembali ke Belanda, masa antara 1907 dan permulain 1946.
Kini Prof. Dr. W.F. Wertheim, yang sejak tahun lalu telah kehilangan istri beliau yang sepemikiran dan seperjuangan, berdiam di Wageningen, Belanda (36), pasti masih senantiasa berusaha memahami perkembangan-perkembangan serba kompleks yang sedang berlangsung di dunia kita, terutama di kawasan Asia.
Kata akhir
Apakah kesimpulan yang dapat dibuat dari uraian singkat yang disajikan ini? Bahwa Prof Dr W.F. Wertheim, sesuai dengan tradisi kaum cendekiawan Eropa, mengembangkan pemikiran sendiri tentang peristiwa-peristiwa dan perkembangan yang telah, sedang maupun akan terjadi di dunia kita ini, terutama di Asia dan termasuk secara khusus: Indonesia, pemikiran yang disampaikan pada masyarakat luas melalui karya-karya terbitan maupun kuiiah dan ceramah umum. Pada tahap perkembangan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia dalam tahun-tahun 1950an dan paruh pertama tahun-tahun 1960an, sumbangan pengetahuan beliau sangat berarti dan ikut merangsang upaya pengembangan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia lebih lanjut.
Akan tetapi, sejak pertengahan tahun-tahun 1960-an pemikiran Wertheim tentang masyarakat Indonesia masa kini terlalu terpengaruh oleh pemikiran yang bersifat ideologi sehingga karya-karya tulisan beliau tentang masyarakat Indonesia kehilangan obyektivitas dan keseimbangan yang dituntut dari setiap analisis ilmiah. Tulisan-tulisan beliau mengenai aneka ragam masalah sejarah Indonesia sebelum tahun-tahun 1960-an masih selalu merupakan kumpulan tulisan yang senantiasa menarik untuk dibaca.
Sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan tentang kebudayaan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dari negara kita, kita dapat menerima baik bahan-bahan hasil karya Prof Dr W.F. Wertheim "yang dapat memperkembangkan atau memperkaya" pengetahuan sosiologi kita serta "mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia", tapi kita juga perlu menolak bahan-bahan yang mengakibatkan kebalikannya, kemunduran dalam pengetahuan sosiologi dan perendahan "derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".
Kepustakaan:
Wertheim, W.F. (1947). Het Sociologisch Karakter van de Indomaatschappi Inauguralerede. Amsterdam: Gemeentelijk Universiteit van Amsterdam.
____________(1948). In Gesprek met mijzelf: Overdenkingen over weten, begrijpen en geloven.
____________(1949). Het Rassenprobleem: de ondergang van een my the.
____________(1950). Henijzend Azie: Opstellen over de Osterse Samenleving. Arnhem: van Loghum Slaterus.
____________(1956). Indonesian Society in Transition. The Hague: W. Van Hoeve.
____________(1959). Indonesian Society in Transition (2nd ed.) The Hague: W. Van Hoeve.
____________(1964). East - West Parallels: Sociological Approaches to modern Asia. The Hague: W. Van Hoeve.
____________(1970). Evolittie en Revohitic: De Golfslag der emancipatic. Amsterdam: Van Gennep.
____________(1975). Evolution and RevolLition: The rising waves of emancipation. Harmondsworth: Penguin Books.
____________(1977.DeLangeMarsder-Emancipatie, Amsterdam. Kritiese Biblioteek Van Gennep.
____________(197{}). Indonesie van Vorstentijk tot Neo-Kolonie. Amsterdam: Boom Meppel.
Wertheim, W.F., Romein, J.M., and Randwijk, H.M. (1956). Eed Wereld Beweegt,
Wertheim, W.F., Utrecht E., Pluvier, J.M-, et al. (1976). Tien Jaar Onrecht in Indonesie: Militaire dictatuur en internationals steun. Amsterdam: Kritiese Bibliotheek van Gennep.
Wertheim, W.F. & Weenink, A.H.W. (1953). De Mensheid op Aiontutir. Amsterdam: Wereld Bibliotheek.
____________(1968). Ketters en Kwezels, Regenten en Rebellen. Drachten: Laverman.
____________(1991). Vier Wendingen in Ons Bestaan: Indic verloren, Indonesie geboren. Breda: Uitgeverij De Geus.
Sumber: Jurnal Studi Indonesia Nomor 01/Tahun 1991 (www.ut.ac.id)
Komentar
Posting Komentar