CATATAN BISU SANG BROMOCORAH

BADAN kekar itu akhirnya terjerembab ke tanah menyusul suatu tikaman mematikan dari belatiku. Darah segar pun mengucur deras dari lubang tikaman di lebar lehernya. Lelaki penuh tato ini sebentar mengerang sebelum tubuhnya bergetar hebat. El Maut akhirnya benar-benar menjemput ajalnya. Cuh. Ludahku menghujam dada berceceran darah tersebut.

Baru saja hendak meninggalkan bekas arena pertarungan, sepasang mataku melihat sesuatu menyembul dari kantong celana jin kumalnya. Terlihat lipatan kertas. Sepotong kertas ini dilipat-lipat berbentuk bujur sangkar. Perlahanku membuka lipatan demi lipatan hingga terbeber suatu tulisan panjang berhuruf sambung yang cukup rapi.

Sepintas, goresan tinta hitam yang mungkin dari pulpen murahan itu memang tanpa makna. Tanganku hendak meremas kertas tersebut, tapi tulisan yang pertama jelas memancing tanyaku. Si Bajingan Tua--begitulah aku menyebut Roy, lawanku tadi--ternyata penulis lumayan cakap.

Begini tulisan lembaran pertama:

Jakarta, pertengahan medio 1990
Terik matahari dan debu jalanan menyapu kasar mukaku. Peluh keringat pun mengucur deras di hampir seluruh badanku. Hari ini, harusnya aku mensyukuri hari kebebasanku setelah meringkuk di bui selama sepuluh tahun plus potong masa tahanan. Kutatap bangunan bertembok berjeruji nan angkuh tersebut.

Selamat tinggal Cipinang!

Ibu Kota di penghujung tahun 1990
Kota besar ini masih teramat ganas bagi orang seperti diriku yang tak mempunyai tempat berteduh. Para penjahat baik kelas kakap maupun teri berebut rezeki haram bagaikan anjing-anjing memperebutkan bangkai belaka.

Demi perut dan sesuap nasi, akhirnya aku menyusuri lagi dunia hitam kriminal tersebut. Di sinilah, keahlianku menggunakan kepalan tangan dan senjata tajam dihargai. Dengan disertai segudang kelicikan dan kebusukan, tentunya.

Bangsat!
Ucapan itu memang pantas diberikan kepada Bram, pemimpin gerombolan "kecoak" di pasar induk tersebut. Bayangkan, dengan begitu saja lelaki tinggi kerempeng merebut hasil palakan belasan anak buahku terhadap para sopir truk.

Sedangkan di lembaran kedua, Roy menulis:

Ternyata, Ibu Kota tak sekejam ibu tiri
Duel memperebutkan pimpinan preman di pasar induk pinggiran Jakarta itu, ternyata melambungkan namaku. Beberapa preman tua yang kini berperut buncit dan berkepala botak pun mulai melirikku. Mereka sepakat merekrut diriku untuk mengawasi permainan mickey mouse di kawasan dekat pusat kota. Tawaran yang mungkin hanya sekali dalam seumur hidupku. Menggiurkan. Aku pun menerima kepercayaan itu dengan hati senang.

Bangsat itu bernama Robby
Uhm... Lagi-lagi Robby. Si Bangsat itu masih saja berusaha mengganjalku mesti diakui bahwa dia pernah menjadi sohib kentalku selama puluhan tahun berselang. Dia kawan sebangkuku sewaktu di sebuah sekolah menengah atas swasta ternama di Kota Bandung, Jawa Barat. Semenjak dulu, Robby memang tak mau kalah bersaing denganku dalam hal apa pun. Dari balapan sepeda motor, rebutan cewek, hingga menenggak paling banyak Black Label. Begitulah, Robby seakan senantiasa menguntit segala denyut hidupku.

Tantangan duel ini mesti kuhadapi
Kali ini, kata-kataku tak mempan lagi mendinginkan api membara di kelompok yang telah sepuluh tahun mengangkat diriku sebagai pemimpin mereka. Popularitasku tampaknya memudar setelah Robby menghirup udara bebas setelah 20 tahun berdiam di Nusakambangan karena kasus pembunuhan. Terlebih, si Robby pandai menjilat kalangan preman tua berdasi di pusat kota. Robby pun pandai memikat hati sejumlah gembong kalangan hitam di pinggiran Ibu Kota. Dan, tantangan duel sampai mati inilah yang mesti kuhadapi. Aku siap, Robby!

Rob... Bila kau membaca lembaran kumal ini, berarti diriku sudah berkalang tanah, mati di tanganmu. Pesanku hanya ada dua, Rob. Kuburkan aku di kota kita sama-sama besar dahulu. Terakhir, ini mungkin menjadi rahasiaku selama ini, David itu sebenarnya adalah anakmu. Buah dagingmu sendiri, Rob. Kamu pasti masih ingat malam itu, tiga bulan sebelum dirimu dijebloskan ke Nusakambangan. Malam itu, kita mabuk berat sehingga peristiwa laknat tersebut benar-benar terjadi. Kau, malam itu memperkosa istriku, Dewi.

Pasti, kau mempertanyakan pengakuan dariku ini. Itu bisa dimengerti, sebab kau tak ingat apa-apa lagi setelah meniduri Dewi. Tapi kenyataannya, ini bisa kau tanyakan kepada Dewi, David adalah anakmu! Jadi, pesan terakhirku, akuilah dia sebagai anak kandungmu. David sekarang sudah besar, Rob, hampir kuliah. Dan, sampaikan pesan terakhirku padanya, mungkin dia mau memahami hal ini meski tak bulat-bulat menerima dirimu sebagai seorang ayah. Namun, waktu jualah yang bakal menjawab persoalan itu.

Tabik
Ttd Roy

Lembaran kertas kumal itu sekali lagi kuremas. Oh, Tuhan... Aku telah membunuh sahabat sekaligus orang yang telah membesarkan anakku.(Novh)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)