"BAU BUSUK" MENEBAR SEANTERO NEGERI
BAU busuk di mana saja tetaplah menyengat hidung. Dari bau kentut hingga bangkai sama saja, semuanya polusi hidung. Ngomong-ngomong soal bau busuk tersebut jadi teringat peristiwa bersejarah di negeri ini yang baru lewat lima hari. Tepatnya, pemilihan umum presiden secara langsung yang pertama dalam perpolitikan di Bumi Pertiwi.
Ada adigium yang mengatakan "Suara Rakyat" adalah "Suara Tuhan". Uhm... Jadi bolehlah disebut, suara lebih dari 100 juta pemilih--jumlah ini bagian dari sekitar 155 juta rakyat Indonesia yang mempunyai hal pilih--mewakili kehendak Sang Maha Kuasa. Akan tetapi, benarkah begitu?
Padahal, aroma kecurangan rekap surat suara maupun manipulasi data penghitungan menyeruak bersamaan atau sesudah pemilu eksekutif, 5 Juli silam.
Ada kabar yang mengatakan, sejumlah tim sukses mengarahkan pemilih mencoblos pasangan calon presiden-calon wakil presiden tertentu dengan berupa "serangan fajar" dan "serangan duha". Kabar lain menyebutkan, ada pengerahan massa ke tempat pemungutan suara tertentu. Ada pula yang mengungkapkan mengenai intimidasi yang dilakukan oknum aparat terhadap pemilih untuk mencoblos capres tertentu. Belum lagi, penggiringan dari sejumlah tim sukses capres yang mengarahkan orang-orang bayarannya untuk mencoblos berkali-kali. Ini didukung dengan kualitas tinta yang mudah luntur.
Berbagai contoh di atas, boleh dikatakan, bentuk kecurangan yang kuno. Yang muktakhir adalah, manipulasi data melalui teknologi informasi. Sebut saja, penghitungan cepat yang dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat domestik maupun asing. Untuk yang ini, pihak Komisi Pemilihan Umum sendiri telah menyatakan hal itu adalah suatu pelanggaran hukum. Pihak asing pun disudutkan menyusul kecurigaan mereka telah mengintervensi demokratisasi di Indonesia.
Apa pendapat para cendekiawan di negeri ini mengenai keruwetan-keruwetan terencana dan sistematis tersebut? Boleh dikatakan mereka terpecah belah. Ada kelompok yang mendukung tim-tim sukses capres. Dan, ada yang mendukung kepentingan asing. Bahkan, ada yang blunder atau malas bersikap karena sudah apatis terlebih dahulu. Macam-macam analisis mereka dan semua itu berserakan di berbagai media massa cetak maupun elektronik.
Semua persoalan di atas mungkin bisa diatasi bila semua pihak berlaku jujur. Dengan demikian, rakyat Indonesia yang baru belajar berdemokrasi secara benar ini tak dibodohi lagi. Legalitas pilpres pun tak dipertanyakan lagi bila penghitungan manual secara jujur diupayakan. Pertanyaan terakhir adalah, dapatkah penghitungan secara jujur itu terlaksana?
BAU busuk di mana saja tetaplah menyengat hidung. Dari bau kentut hingga bangkai sama saja, semuanya polusi hidung. Ngomong-ngomong soal bau busuk tersebut jadi teringat peristiwa bersejarah di negeri ini yang baru lewat lima hari. Tepatnya, pemilihan umum presiden secara langsung yang pertama dalam perpolitikan di Bumi Pertiwi.
Ada adigium yang mengatakan "Suara Rakyat" adalah "Suara Tuhan". Uhm... Jadi bolehlah disebut, suara lebih dari 100 juta pemilih--jumlah ini bagian dari sekitar 155 juta rakyat Indonesia yang mempunyai hal pilih--mewakili kehendak Sang Maha Kuasa. Akan tetapi, benarkah begitu?
Padahal, aroma kecurangan rekap surat suara maupun manipulasi data penghitungan menyeruak bersamaan atau sesudah pemilu eksekutif, 5 Juli silam.
Ada kabar yang mengatakan, sejumlah tim sukses mengarahkan pemilih mencoblos pasangan calon presiden-calon wakil presiden tertentu dengan berupa "serangan fajar" dan "serangan duha". Kabar lain menyebutkan, ada pengerahan massa ke tempat pemungutan suara tertentu. Ada pula yang mengungkapkan mengenai intimidasi yang dilakukan oknum aparat terhadap pemilih untuk mencoblos capres tertentu. Belum lagi, penggiringan dari sejumlah tim sukses capres yang mengarahkan orang-orang bayarannya untuk mencoblos berkali-kali. Ini didukung dengan kualitas tinta yang mudah luntur.
Berbagai contoh di atas, boleh dikatakan, bentuk kecurangan yang kuno. Yang muktakhir adalah, manipulasi data melalui teknologi informasi. Sebut saja, penghitungan cepat yang dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat domestik maupun asing. Untuk yang ini, pihak Komisi Pemilihan Umum sendiri telah menyatakan hal itu adalah suatu pelanggaran hukum. Pihak asing pun disudutkan menyusul kecurigaan mereka telah mengintervensi demokratisasi di Indonesia.
Apa pendapat para cendekiawan di negeri ini mengenai keruwetan-keruwetan terencana dan sistematis tersebut? Boleh dikatakan mereka terpecah belah. Ada kelompok yang mendukung tim-tim sukses capres. Dan, ada yang mendukung kepentingan asing. Bahkan, ada yang blunder atau malas bersikap karena sudah apatis terlebih dahulu. Macam-macam analisis mereka dan semua itu berserakan di berbagai media massa cetak maupun elektronik.
Semua persoalan di atas mungkin bisa diatasi bila semua pihak berlaku jujur. Dengan demikian, rakyat Indonesia yang baru belajar berdemokrasi secara benar ini tak dibodohi lagi. Legalitas pilpres pun tak dipertanyakan lagi bila penghitungan manual secara jujur diupayakan. Pertanyaan terakhir adalah, dapatkah penghitungan secara jujur itu terlaksana?
Komentar
Posting Komentar