UNTAIAN BINTANG TAK BERTEPI (Bagian Pertama)
UNTAIAN bintang belahan langit Selatan seakan menjemput sunyi hatiku. Tak terasa pada bilangan kesepuluh, perasaan itu kembali mengental di sudut hatiku yang paling dalam. Lamat-lamat tanpa kuasa terkuak lagi memori mengelabu yang dimulai tepat sepuluh tahun silam itu. Ketika itu Rio mengombang-ambing jiwa remajaku. Kala itu pula kesejatian asmara menjerat segala logika dan perasaanku. Panas membara, bukan begitu Rio? Uh, semoga saja kau membaca tulisan ini, wahai masa laluku.
Seiring kegalauan hati, tape stereo set yang berada di atas meja kamarku mengalunkan nada lembut Sesuatu Yang Tertunda. Tembang apik grup Padi itu seakan meledek kegundahan hatiku sekarang. ...Tetaplah menjadi bintang di langit. Agar cinta kita akan abadi. Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini. Agar menjadi saksi cinta kita berdua...berdua... Sudah...terlambat sudah. Kini semua harus berakhir. Mungkin inilah jalan yang terbaik. Dan kita mesti relakan kenyataan...ini. Menjadi saksi kita berdua... Lagu itu seakan mengoyak kesunyian hatiku.
Memang, saat itu dunia seakan berputar. Untaian bintang pun seolah tak segera menepi menyambut datangnya Sang Fajar.
Kegilaan demi kegilaan pun menghampiri diriku. Ku tak tahu mengapa setelah Rio mencampakkan daku, ada perasaan lain yang menerbit. Mula-mula, ya, mula-mula. Sandra adalah tempat curhat-ku. Gadis lembut ini memang kerap menjadi pelabuhan isak tangisku sejak dulu. Kami memang selalu sebangku sejak kelas satu sekolah menengah pertama dahulu.
Dengan kelembutan dirinya pula, segala kegundahan hatiku dapat tersapu pergi. Akan tetapi, sebenarnya, saat itulah awal petaka dan rasa malu terhadap sekelilingku dimulai. Ketololan itu memang tak bisa aku mengerti. Dan, saat itu, segala sesuatu memang mengalir laksana air tak bertepi yang selalu mencari titik rendah maupun kepuasan sesaat.(Bersambung)
UNTAIAN bintang belahan langit Selatan seakan menjemput sunyi hatiku. Tak terasa pada bilangan kesepuluh, perasaan itu kembali mengental di sudut hatiku yang paling dalam. Lamat-lamat tanpa kuasa terkuak lagi memori mengelabu yang dimulai tepat sepuluh tahun silam itu. Ketika itu Rio mengombang-ambing jiwa remajaku. Kala itu pula kesejatian asmara menjerat segala logika dan perasaanku. Panas membara, bukan begitu Rio? Uh, semoga saja kau membaca tulisan ini, wahai masa laluku.
Seiring kegalauan hati, tape stereo set yang berada di atas meja kamarku mengalunkan nada lembut Sesuatu Yang Tertunda. Tembang apik grup Padi itu seakan meledek kegundahan hatiku sekarang. ...Tetaplah menjadi bintang di langit. Agar cinta kita akan abadi. Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini. Agar menjadi saksi cinta kita berdua...berdua... Sudah...terlambat sudah. Kini semua harus berakhir. Mungkin inilah jalan yang terbaik. Dan kita mesti relakan kenyataan...ini. Menjadi saksi kita berdua... Lagu itu seakan mengoyak kesunyian hatiku.
Memang, saat itu dunia seakan berputar. Untaian bintang pun seolah tak segera menepi menyambut datangnya Sang Fajar.
Kegilaan demi kegilaan pun menghampiri diriku. Ku tak tahu mengapa setelah Rio mencampakkan daku, ada perasaan lain yang menerbit. Mula-mula, ya, mula-mula. Sandra adalah tempat curhat-ku. Gadis lembut ini memang kerap menjadi pelabuhan isak tangisku sejak dulu. Kami memang selalu sebangku sejak kelas satu sekolah menengah pertama dahulu.
Dengan kelembutan dirinya pula, segala kegundahan hatiku dapat tersapu pergi. Akan tetapi, sebenarnya, saat itulah awal petaka dan rasa malu terhadap sekelilingku dimulai. Ketololan itu memang tak bisa aku mengerti. Dan, saat itu, segala sesuatu memang mengalir laksana air tak bertepi yang selalu mencari titik rendah maupun kepuasan sesaat.(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar