UNTAIAN BINTANG TAK BERTEPI (Bagian Kedua)

UNTAIAN bintang pun meredup bersama datangnya kabut kelam. Lambat laun tapi pasti, diriku meliar dan menggosong jiwa. Sepasang mataku nanar, namun jiwaku seakan terus memberontak yang pada akhirnya menggelegak. Begitulah malam demi malam kulalui tanpa makna. Hanya terkadang, sayup-sayup terdengar lagu The Sound of Silence-nya Simon dan Garfunkel menyayat sukma. Oh...

Hello darkness, my old friend, I`ve come to talk with you again, Because a vision softly creeping, Left it`s seeds while I was sleeping, And the vision that was planted in my brain. Still remains. Within the sound of silence...

Memang, kegelisahan saat malam tak berbintang sungguh meradang luka hatiku. Jiwaku dahaga mengerontang, menunggu sesuatu ketidakpastian.

Dan entah mengapa, akhirnya, aku tak menampik tawaran kelembutan yang disodorkan Sandra. Seakan seluruhnya begitu cepat berputar. Ya, semuanya tanpa bisa dihirau lagi. Laksana guyuran air hujan yang tak bisa dicegah, itu semua datang begitu saja. Rentetan kata yang keluar dari bibir tipis Sandra terus membius telinga hatiku. "Sudahlah buat apa kau pikirkan si Rio, semua cowok memang begitu. Bajingan semua," begitulah selalu Sandra menenggelamkan memoriku.

Tak terhitung lagi halaman demi halaman kalender di kamarku disobek. Hingga akhirnya diriku menyadari ini halaman terakhir kalender kedua. Tak terasa memang, dua tahun telah berlalu. Demikianlah adanya, ternyata pertalian kasih antara aku dan Sandra telah melewati dua tahun.

Kami begitu erat dan tak bisa terpisahkan lagi, meski sudut hatiku membisikkan bahwa kemesraan ini hanyalah semu. Namun, ku tak peduli dan mengharamkan segala cibiran di sekitar kami. "Mereka tak tahu, diamkan saja," ucap Sandra, menenangkan kegundahan hatiku saat itu. Aku tak sanggup menjawab, apalagi menentangnya. Hanya tanganku sebentar mencengkeram erat pundaknya. Ku memang tak mengerti meski diriku menyadari ada sesuatu yang salah.

Thank God. Ternyata, Tuhan masih mau berbaik hati mengembalikan untaian bintang di langit ke dalam jiwaku meski masih samar.

Ini bermula saat kami berdua tengah bercumbu di dalam kamarku. Sekonyong-konyong, bapakku membuka pintu yang memang tak terkunci. Secepat dibuka, secepat itu pula pintu kamarku ditutup dengan suara bantingan yang memekakkan telinga. Brak!.

Hanya dalam hitungan tak sampai sepuluh menit, ibu mengetuk pintu kamarku. "Buka nak, Ibu mau bicara." Pikiran dan perasaanku campur aduk seketika. Sandra pun tampak terpukul dan malu. "Gua cabut dulu." Sejak itulah Sandra senantiasa menghindari diriku. Mungkin dia malu pada keluargaku yang sudah dianggap keluarganya sendiri. Akhirnya, ku mendengar dia melanjutkan kuliah untuk mengambil master di negeri seberang sana.(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)