UNTAIAN BINTANG TAK BERTEPI (Bagian Ketiga)
UNTAIAN bintang kembali menghias relung terdalam hatiku, meski kemerlipnya belum begitu indah. Hmm... Jalan hidup memang siapa yang bisa menebak. Tatkala mata hatiku meredup, kemerlip bintang datang membuyar semua keluhan jiwa. Padahal, setahun terakhir ini, bibirku akrab mencicipi apa yang dinamakan air api. Malu sebenarnya diungkapkan, lidahku sudah merasai segala jenis whiskey hingga red wine. Cukuplah hanya alkohol. Dan, diriku tak hendak mencoba menjajal obat-obatan jenis psikotropika atau yang mengandung zat adiktif lainnya. Pemabuk, memang, tapi diriku bukanlah junkies. Bodoh, kalau aku sampai terjerumus ke "Lembah Narkoba".
Bersamaan dengan timbulnya kebiasaan baruku itu, muncul "Dewa Penolong". Sang penolong itu memang tak jauh-jauh munculnya. Dia adalah Bowo, tinggalnya masih sewilayah denganku. Seingatku, Bowo itu tipe cowok pemalu. Entah mengapa, suatu malam, ia menyambangi rumahku. Dan, entah angin apa yang menyertainya, lelaki yang umurnya lebih tua lima tahun dariku ini menyatakan cintanya. Aku sempat terkesiap mendengar pernyataan itu. Terlalu pagi, begitu aku mengucap dalam hati.
Malam demi malam, meski tak setiap hari, Bowo kerap berkunjung. Penolakan halus diriku seolah tak mengendurkan hasratnya. Lambat-laun hatiku tergugah, terlebih kedua orang tuaku mendukung jalinan kasih di antara kita. Belakangan diketahui, ibu memang sedari dahulu hendak menjodohkan diriku dengan Bowo. Baru, sekarang niat itu kesampaian.
"Sudahlah, nak, Apalagi yang kau pikirkan? Bowo itu mungkin memang pasangan hidupmu. Tunggu apalagi? Nak Bowo itu tampaknya serius, dan kamu juga sudah bekerja."Begitulah Ibu, saban hari selalu menasihati diriku.
Nasihat ibu akhirnya melunakkan hatiku. Aku pun mengiyakan saat Bowo berencana mengikat jalinan lebih jauh. Acara tunangan itu kemudian digelar bersamaan dengan ulang tahunku. Agak meriah, acara itu. Soalnya banyak keluarga dari pihak ibuku yang hadir. Mereka bergantian mengucapkan selamat dan mengecup pipiku. Ada pula yang tersenyum menggoda sembari menanyakan kapan menikah. Wah, pertanyaan yang belum aku bisa jawab. Dan aku hanya bisa menjawab sembari bercanda: "Tunggu tanggal mainnya, deh".
"Benar, tunggu tanggal mainnya," begitu aku mengulangi jawaban itu ketika Bowo mendesak, beberapa bulan kemudian. Kekecewaan jelas tergambar di wajah cowok yang sebenarnya lumayan ganteng itu. Tapi, aku memang jujur apa adanya.
Semenjak itulah, sikap Bowo mulai berubah. Dia mulai sering berbohong jikalau malas menemani diriku jalan-jalan. Bahkan, ada selentingan yang mengatakan dia mulai melirik cewek lain. Tadinya, aku tak percaya kabar burung itu. Namun dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat Bowo jalan dan bermesraan dengan Teti, teman sekantorku.
"Walah... Itu, sih, namanya bajingan," geram diriku. Ternyata, lelaki umumnya memang bajingan dan sulit dipercaya. Terngiang lagi ucapan Sandra, beberapa waktu silam.
Belum habis kegeraman hatiku, Bowo pun muncul. Dengan wajah tanpa dosa, dia langsung mengecup keningku. Kutepis halus dengan tangan, eh, dia malah tersenyum-senyum.
"Dasar bajingan. Enggak ada puasnya, emang!"
"Kenapa sayang, kok jadi marah-marah begitu?"
"Kenapa...kenapa...kamu tuh kenapa," timpalku.
"Kenapa sayang," tanya Bowo sekali lagi.
Edannya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Bowo memeluk diriku. Dengan rakusnya, mulutnya melumat bibirku. Tangannya pun mulai menggerayangi tubuhku dengan liar. Beberapa detik memang aku terbuai. Namun dengan napas masih satu dua, aku menolak tubuhnya yang saat itu telah menindih badanku di sofa ruang tamu. Adegan itu untungnya terjadi saat rumahku kosong.
"Ala... Kamu jangan munafik, deh. Kamu juga suka dan merindukan hal begitu, kan?"
Dengan kemarahan yang menggelegak tamparan itu akhirnya mendarat di wajah Bowo. Keras, memang. Tapi itu cukup buat segala kekurangajaran Bowo terhadap diriku.
Setelah kejadian itu, aku dan Bowo memang jarang bertemu. Akan tetapi, kami berdua sepakat tak membatalkan pertunangan secara tiba-tiba. Ini agar orang tua kita tak terpukul.
"Kita jalani dulu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa," ucap Bowo.
Boleh jadi, hubungan ini tak bisa dipertahankan. Seiring dengan situasi ini, jiwaku kembali menjerit. Sampai kapan untaian bintang ini bakal bertepi? Entah...(Habis)
UNTAIAN bintang kembali menghias relung terdalam hatiku, meski kemerlipnya belum begitu indah. Hmm... Jalan hidup memang siapa yang bisa menebak. Tatkala mata hatiku meredup, kemerlip bintang datang membuyar semua keluhan jiwa. Padahal, setahun terakhir ini, bibirku akrab mencicipi apa yang dinamakan air api. Malu sebenarnya diungkapkan, lidahku sudah merasai segala jenis whiskey hingga red wine. Cukuplah hanya alkohol. Dan, diriku tak hendak mencoba menjajal obat-obatan jenis psikotropika atau yang mengandung zat adiktif lainnya. Pemabuk, memang, tapi diriku bukanlah junkies. Bodoh, kalau aku sampai terjerumus ke "Lembah Narkoba".
Bersamaan dengan timbulnya kebiasaan baruku itu, muncul "Dewa Penolong". Sang penolong itu memang tak jauh-jauh munculnya. Dia adalah Bowo, tinggalnya masih sewilayah denganku. Seingatku, Bowo itu tipe cowok pemalu. Entah mengapa, suatu malam, ia menyambangi rumahku. Dan, entah angin apa yang menyertainya, lelaki yang umurnya lebih tua lima tahun dariku ini menyatakan cintanya. Aku sempat terkesiap mendengar pernyataan itu. Terlalu pagi, begitu aku mengucap dalam hati.
Malam demi malam, meski tak setiap hari, Bowo kerap berkunjung. Penolakan halus diriku seolah tak mengendurkan hasratnya. Lambat-laun hatiku tergugah, terlebih kedua orang tuaku mendukung jalinan kasih di antara kita. Belakangan diketahui, ibu memang sedari dahulu hendak menjodohkan diriku dengan Bowo. Baru, sekarang niat itu kesampaian.
"Sudahlah, nak, Apalagi yang kau pikirkan? Bowo itu mungkin memang pasangan hidupmu. Tunggu apalagi? Nak Bowo itu tampaknya serius, dan kamu juga sudah bekerja."Begitulah Ibu, saban hari selalu menasihati diriku.
Nasihat ibu akhirnya melunakkan hatiku. Aku pun mengiyakan saat Bowo berencana mengikat jalinan lebih jauh. Acara tunangan itu kemudian digelar bersamaan dengan ulang tahunku. Agak meriah, acara itu. Soalnya banyak keluarga dari pihak ibuku yang hadir. Mereka bergantian mengucapkan selamat dan mengecup pipiku. Ada pula yang tersenyum menggoda sembari menanyakan kapan menikah. Wah, pertanyaan yang belum aku bisa jawab. Dan aku hanya bisa menjawab sembari bercanda: "Tunggu tanggal mainnya, deh".
"Benar, tunggu tanggal mainnya," begitu aku mengulangi jawaban itu ketika Bowo mendesak, beberapa bulan kemudian. Kekecewaan jelas tergambar di wajah cowok yang sebenarnya lumayan ganteng itu. Tapi, aku memang jujur apa adanya.
Semenjak itulah, sikap Bowo mulai berubah. Dia mulai sering berbohong jikalau malas menemani diriku jalan-jalan. Bahkan, ada selentingan yang mengatakan dia mulai melirik cewek lain. Tadinya, aku tak percaya kabar burung itu. Namun dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat Bowo jalan dan bermesraan dengan Teti, teman sekantorku.
"Walah... Itu, sih, namanya bajingan," geram diriku. Ternyata, lelaki umumnya memang bajingan dan sulit dipercaya. Terngiang lagi ucapan Sandra, beberapa waktu silam.
Belum habis kegeraman hatiku, Bowo pun muncul. Dengan wajah tanpa dosa, dia langsung mengecup keningku. Kutepis halus dengan tangan, eh, dia malah tersenyum-senyum.
"Dasar bajingan. Enggak ada puasnya, emang!"
"Kenapa sayang, kok jadi marah-marah begitu?"
"Kenapa...kenapa...kamu tuh kenapa," timpalku.
"Kenapa sayang," tanya Bowo sekali lagi.
Edannya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Bowo memeluk diriku. Dengan rakusnya, mulutnya melumat bibirku. Tangannya pun mulai menggerayangi tubuhku dengan liar. Beberapa detik memang aku terbuai. Namun dengan napas masih satu dua, aku menolak tubuhnya yang saat itu telah menindih badanku di sofa ruang tamu. Adegan itu untungnya terjadi saat rumahku kosong.
"Ala... Kamu jangan munafik, deh. Kamu juga suka dan merindukan hal begitu, kan?"
Dengan kemarahan yang menggelegak tamparan itu akhirnya mendarat di wajah Bowo. Keras, memang. Tapi itu cukup buat segala kekurangajaran Bowo terhadap diriku.
Setelah kejadian itu, aku dan Bowo memang jarang bertemu. Akan tetapi, kami berdua sepakat tak membatalkan pertunangan secara tiba-tiba. Ini agar orang tua kita tak terpukul.
"Kita jalani dulu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa," ucap Bowo.
Boleh jadi, hubungan ini tak bisa dipertahankan. Seiring dengan situasi ini, jiwaku kembali menjerit. Sampai kapan untaian bintang ini bakal bertepi? Entah...(Habis)
Komentar
Posting Komentar