CAKRAWALA LANGIT HITAM TAK BERBINTANG (BAGIAN PERTAMA)

KABUT dingin mulai menggigit dan menyergap sekeliling sebuah pondok kayu di Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Suatu petang di lembah kecil di lereng Gunung Salak, itu Sang Surya baru saja menggelincir di ufuk Barat. Satu per satu rekan-rekanku memilih mengaso di dalam pondok kayu setelah beberapa jam menumpang truk dari Ibu Kota, plus tentunya satu jam berjalan kaki dari jalan aspal terakhir. Mereka pun menghangatkan diri masing-masing ke pediangan besar di dalam pondok.

Hangatnya potongan-potongan kayu yang dibakar itu ternyata tak mengundang minatku. Hanya ransel biru butut milikku yang kutaruh sekenanya di depan serambi pondok. Mataku pun lantas tertuju ke sebuah batu besar di samping pondok. Dalam hitungan detik, aku sudah nongkrong di atas batu. Di kejauhan, gunung berpuncak berundak dan berbayang pekat itu tampak menantang hasrat.

Sekilas kemudian pandanganku beralih menembus cakrawala langit hitam tak berbintang. Pikiranku segera meliar, seliar-liarnya. Terutama mempertanyakan segala makna hidup selama rentang perjalanan hidupku. Sebersit keinginan ganjil tanpa kuasa menyeruak di benakku: keinginan bunuh diri.

Hasrat itu bukan tanpa latar belakang. Malah sangat pelik dan rumit faktor penyebabnya. Ini di awali dengan kebencian dan dendam. Mengapa orang lain memiliki kesempurnaan, sedangkan aku tidak. Demikianlah semua itu berawal. Dari sebuah pertanyaan pahit kemudian menjelma menjadi benci dan dendam. Bukan terhadap orang lain, melainkan kepada diri sendiri.

Susah memang melawan semua rasa tak puas tersebut. Pendengki? Olala, bukan itu julukan diriku. Mereka, entah itu teman atau orang yang hanya sekadar kenal, menyebut diriku: pertapa. Mungkin lantaran diriku banyak menghabiskan waktu dengan khayalan atau angan semata. Tapi biarlah itu semua. Toh, aku menjalani hidup dengan caraku sendiri.

Kembali ke persoalan bunuh diri tadi. Niat ini memang benar-benar hendak kulakukan sekarang. Setelah sebelumnya gagal di Gunung Slamet. Di ketinggian Kota Purwokerto, Jawa Tengah, itu memang aku gagal. Rencana yang kususun matang itu dipatahkan oleh sebuah gangguan dari teman-temanku yang tersesat di belantara. Sebenarnya teramat lucu. Betapa tidak, aku yang hendak menyesatkan diri di hutan dengan pura-pura turun duluan dari puncak berpasir itu justru menyelamatkan rombonganku.

Sialan! Umpat hatiku saat menemukan mereka. Kawan-kawan satu sekolah menengah pertamaku itu malah memuji diriku sebagai pahlawan. Padahal aku sudah merambah jauh ke luar jalur pendakian normal selama tiga hari. Eh, kok, sekarang malah bertemu teman-temanku. Tadinya aku mengira mereka sengaja mencari diriku. Ternyata mereka benar-benar kesasar di tengah hutan. Mereka letih, haus, dan lapar. Sedangkan aku memang sengaja membuang persediaan makanan maupun minuman untuk melancarkan maksud bunuh diri tadi.

"An...Andi!"
"Hei, benar itu Andi."
Setelah berseru kegirangan, tangan Anton melambai ke arahku. Mau tak mau, aku menghampiri teman satu kelasku itu.
"Mana yang lain, Ton?"
"Itu di sana, tak jauh kok, Ndi."
"Yuk ke sana," ajak Anton.

Tak sampai setengah jam berjalan, aku dan Anton menjumpai persinggahan darurat teman-temanku yang lain. Seluruh temanku termasuk Anton ada bersembilan. Mereka tersesat. Parahnya lagi, seluruh temanku itu kakinya terkilir. Mereka bercerita pas turun terlalu melambung ke kiri. Setelah sadar, mereka sudah tersesat bahkan tak menemukan jalur semula karena malam keburu datang. Dan pada hari kedua, mereka benar-benar tersasar. Karena bekal makanan habis dan air minum menipis, mereka mencoba mencari sumber air. Gara-gara itulah, kesembilan temanku ini nyaris terperosok ke jurang. Makanya, kaki terkilir sudah untung bagi mereka.

Aku pun tercekat, batinku bergolak. Belum hilang itu semua, suatu bisikan batin muncul. Bisikan ini sekaligus membangkitkan tenagaku. Entah mengapa, keinginan bunuh diri itu menghilang. Dan yang muncul adalah semangat menyelamatkan teman-temanku itu. Akhirnya kita semua selamat. Sejak itulah, diriku didaulat teman-temanku menjadi pemimpin mereka. Permintaan yang tak kuasa ditolak memang.

Kejadian itu telah berlalu, dua tahun lewat. Kini, keinginan buat bunuh diri menerbit lagi. Oh... (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)