CAKRAWALA LANGIT HITAM TAK BERBINTANG (BAGIAN KEDUA)

LAMUNANKU buyar. Teriakan beberapa temanku mengusir bayangan trauma itu. Cakrawala langit pun masih hitam dan tanpa kerlip bintang. Namun penat dan kantuk tak bisa dilawan, manusiawi memang. Dengan langkah berat akhirnya aku menuju pondok untuk beristirahat. Besok, pendakian dimulai.

Pagi buta sekali, seluruh temanku sudah bersiap mendaki. Mereka telah menyandang ransel masing-masing. Setelah menebas jalur awal yang penuh semak ilalang, kami menemukan jalan setapak menuju Kawah Ratu. Tak terasa, kami telah berjalan lebih dari satu jam. Bau belerang pun semakin menyengat, berarti Kawah Ratu sudah tak jauh.

Sesampai di kawah, kami beristirahat sembari merendam kaki di air belerang yang hangat itu. Sebagian teman malah ada yang meminum air berwarna seperti jeruk itu setelah terlebih dahulu dikasih gula.

Satu jam melepaskan penat, kami meneruskan pendakian. Jalanan setapak semakin licin meski kemiringan medannya belum menyusahkan kami. Setelah kira-kira menanjak selama tiga jam, kami akhirnya mencapai lereng gunung. Medan yang dilalui pun mulai menantang penuh tanjakan yang lebih banyak menyerupai jalur air atau air terjun kecil. Dan, satu-satunya pegangan tangan adalah akar yang menyembul. Itu pun kalau tak hati-hati merayap bisa terpeleset atau terbanting ke bawah.

Dengan penuh kehati-hatian, kami melalui segala rintangan itu. Diperkirakan, puncak tak sampai satu jam lagi dicapai. Medan curam terbentang di depan dan di kanan kiri tampak jurang menganga lebar. Ada jalur sempit yang lebarnya tak sampai sejengkal dengan panjang sepuluh meter. Tantangan yang mendebarkan.

Satu demi satu, teman-temanku melewati rintangan itu. Di sebelah kanan jurang tampak Kawah Ratu yang lagi semangat mengepulkan asap belerang. Kabut gunung pun menyembulkan di sela-sela kerimbunan hutan tropis basah ini. Kira-kira 15 menit berjalan, tanah yang kami jejak sebagian besar berlapis lumut atau humus hutan.

Kami memang harus hati-hati, salah-salah bisa terperosok. Benar saja, baru saja aku berpikir begitu, seorang temanku menginjak lapisan daun busuk yang dikira tanah keras itu. Tanpa ampun lagi, Bimo terperosok hingga sebatas lengan. Kepanikan segera menyergap rombongan kami, terutama yang terdekat dengan Bimo.

"Bim, jangan bergerak terus, nanti eloe tambah terperosok!"

Setelah berteriak memperingatkan Bimo, aku langsung melemparkan ikatan panjang webbing ke arahnya. Dia pun meraih webbing merah itu. Dengan dibantu beberapa rekan, aku menarik berat tubuhnya. Berhasil!
Ucapan syukur dan terima kasih segera meluncur dari mulut Bimo.

"Makanya hati-hati, Bim. Emang mikirin siapa, sih," kataku sembari bercanda.
"Enggak tahu, tuh. Tiba-tiba aja gue terperosok. Kirain tanah, eh, lubang beneran. Syukur deh, gue ketarik, kalau enggak, tahu deh gimana. Tadi, kaki gue udah enggak jejak lagi. Mungkin itu jurang beneran, ya," ucap Bimo dengan napas masih tersengal-sengal.

Sehabis kejadian yang cukup mengejutkan itu, kami kembali berjalan menuju puncak, tentunya dengan ekstra hati-hati. Tak lama kemudian, puncak gunung terlihat di depan mata. Setelah semua anggota rombongan sampai, kami segera membentuk lingkaran bersama memanjatkan doa syukur.

Selagi semua anggota beristirahat, makan, atau berfoto, aku memilih turun duluan. Setelah hilang dari pandangan, aku berlari sekencang-kencangnya. Tanpa mempedulikan turunan licin dan berbahaya. Aku laksana terbang seiring pikiran yang melayang mengangkasa. Kutak tahu sudah berapa lama berlari atau melompat. Tiba-tiba, terang berganti gelap. Sangat pekat, malah.

Keadaan sekitar gelap gulita. Tak ada gemerisik daun, tiada pula desir angin. Yang ada hanyalah kehampaan dan kekosongan jiwa. Lamat-lamat terdengar bunyi gemuruh seperti air terjun. Sayup-sayup pula terdengar bunyi tertawa yang entah datang dari mana.

Semakin lama tawa itu kian pekak dan hendak memecahkan gendang kedua telingaku. Kedua telapak tanganku segera menutupi sepasang kupingku. Bukannya mengecil, tawa itu makin kencang.(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)