CAKRAWALA LANGIT HITAM TAK BERBINTANG (BAGIAN TERAKHIR)
SUARA itu benar-benar bikin sengsara.
"Dedemit enggak tahu diri," teriakku sekencang-kencangnya.
Eh, malah dibalas dengan suara tanpa wujud: hoo... Maunya apa sih, setan itu, pikirku sembari keheranan. Belum lagi keherananku sirna, suara menakutkan itu seakan hendak mengoyak selaput gendang telingaku. Sakit sekali.
Tiba-tiba, suara tak berwujud itu berubah lembut. Seiring dengan itu, lantunan mirip orang tua terdengar.
"Eyang heran. Kenapa masih muda, kok, malah berniat mengakhiri hidup. Lucu sekali, benar-benar bikin terpingkal-pingkal."
"Siapa itu," sergahku."Eyang adalah penunggu air terjun."
"Terus mau apa," tanyaku tak sabaran.
"Tadinya, Eyang mau mengambil roh ananda. Tapi setelah melihat ketulusan hati ananda menolong teman, jadinya Eyang mengurungkan niat itu. Lagian, Eyang menilai ananda belum siap hidup di alam halus."
"Belum siap bagaimana?" buruku lagi.
"Alam dunia halus sangat berbeda dengan dunia kasar. Di sini, sebagian besar arwah adalah penasaran. Mereka dulunya adalah orang-orang berdosa atau melanggar pantangan. Sedangkan hati ananda bersih dan mulia. Sebaiknya, ananda memikirkan niat bunuh diri itu masak-masak sehingga tak ada penyesalan di kemudian hari."
"Penyesalan yang bagaimana," serbuku lagi.
Ternyata pertanyaanku itu tak dijawab. Suara Eyang itu pun tak muncul lagi. Bersamaan dengan itu dari kejauhan tampak rombongan temanku menuruni bukit terakhir. Mereka bertanya-tanya, tapi aku bungkam seribu bahasa. Biarlah kejadian tadi menjadi rahasia bagi diriku.
Dua tahun sudah berlalu, namun hasrat itu kembali menerbit.
Schizophrenia benar-benar menghabiskan energiku. Entah mengapa keinginan itu selalu muncul saat diriku tengah berada di gunung. Sekarang niat bunuh diri itu menyergap di Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat.
Gunung tertinggi di Tanah Pasundan ini memang menantang, apalagi ini adalah pendakian pertamaku di Ciremai. Akan tetapi tak ada yang istimewa dari gunung ini selain tanjakan terjal tiada henti dari ketinggian sekitar 2.250 mdpl sampai 3.078 mdpl. Sebut saja Tanjakan Binbin, Tanjakan Seruni, dan Tanjakan Baba Tere.
Segala tanjakan terjal itu pun kulalui dengan mudah, sementara puluhan temanku masih ngos-ngosan untuk melewatinya. Yang ada dalam benakku adalah bergegas menuju puncak, mengejar matahari terbit setelah semalaman penuh mendaki.
Sejumlah pos berikutnya juga kulalui dengan ringan. Dari Batu Lingga, Sangga Buwana, hingga Pengasinan. Dan, hamparan edelweiss mulai tampak meski samar-samar lantaran mentari belum menyembul di ufuk Timur. Semburat jingga dan oranye pun mulai mewarnai cakrawala Timur. Kerlip bintang pun meredup satu per satu seakan pamit kepada diriku.
Puncak itu terlihat jelas di depan mataku. Tiba-tiba, rasa haus mengeringkan kerongkonganku. Tanganku menyentuh veldples yang senantiasa tergantung di pinggang. Bah! Ternyata veldplesku kosong melompong.
"Sempurna...berarti niat bunuh diri kali ini memang bakal tuntas," desisku, nyaris tak terdengar.
Sesampai di puncak, aku langsung berbaring di batu besar dekat bibir kawah. Dua jam mungkin aku tertidur. Kedua mataku perlahan membuka dan telingaku mendengar teriakan sejumlah teman yang mulai sampai di puncak. Pagi telah tiba dan kehangatan sinar matahari mulai terasa di wajahku.
Aku segera bangkit dan langsung memanggul ransel biru bututku lagi. Kuhampiri teman-temanku itu. Setelah berbasa-basi sebentar, selanjutnya aku memisahkan diri. Tanpa terasa kakiku melangkah lagi dan hendak memutari puncak gunung. Teman-temanku semakin mengecil dari pandangan. Tak terasa sudah satu jam berjalan sendirian dan belahan lain kawah di bawah terlihat jelas. Setengah jam kemudian aku kembali bergabung dengan teman-temanku setelah memutari puncak.
Kebiasaan dari dulu, aku memang selalu turun duluan. Belum setengah jam berlari, dua rekanku tampak berusaha menyusul. Ya sudah, aku menunggu. Tak sampai lima menit, Buyung dan Irwan sampai. Baru saja mereka sampai, terdengar jeritan Cakil.
Apalagi pikirku. Ternyata seekor monyet besar memburu Cakil. Pantas saja dia terbirit-birit dan berteriak seperti orang kesurupan. Tanganku meraih batu dan langsung menimpuk monyet besar itu.
"Ada-ada saja," kataku setelah berhasil mengusir kera berbulu hitam itu.Tapi di balik kata-kata itu, aku sempat berpikir ini pertanda apa.
Setelah cukup beristirahat, tiga temanku mengajak turun bersama, tapi ajakan itu aku tampik secara halus. Bukan aku tak mau menyertai mereka. Namun, ya itu tadi, aku berniat bunuh diri dengan cara menyasarkan diri di kegelapan belantara.
Bunyi sepatu boot tiga temanku itu kian lama semakin tak terdengar. Inilah saatnya. Bukannya membelok ke kanan, melainkan melambung jauh ke kiri. Sedikit demi sedikit jalanan setapak berubah. Rimbunnya tanaman tepus dan pakis pun seakan berlomba menelan lebar jalan. Jalanan tanah tak tampak lagi. Turunan pun semakin curam mengarah ke suatu lembah kecil yang mungkin tak pernah dilalui manusia. Berbagai jenis pohon tak dikenal juga mendominasi tepian lembah. Aneh.
Keanehan tambah lengkap seiring langkah kedua kakiku yang tak bisa dikendalikan lagi mengikuti dorongan sebuah kekuatan asing. Dan tepat di tengah lembah, pandanganku melayang berputar. Barisan pohon yang mengelilingi lembah sunyi ini juga merapat dempet membentuk suatu pagar. Ganjil, benar-benar ganjil. Anehnya lagi, aku tak mengetahui lagi dari arah mana tadi datang.
Keganjilan menjadi sempurna begitu ada lubang di tengah lembah. Di tepian lubang seperti sumur tak berdinding itu banyak sulur ilalang kering. Bau aneh juga menyeruak dari dalam lubang, seperti wangi kembang tapi jenis bunganya belum pernah kuketahui. Mungkin perpaduan antara melati dan kenanga.
Kesan angker langsung mendominasi perasaan dan pikiranku saat itu juga. Namun, indera keenamku memperingati diriku agar tak bertindak gegabah.
Waktu seakan berputar cepat, jarum panjang arlojiku telah berputar satu putaran penuh. Berarti sudah satu jam aku termangu menatap lubang hitam tak berdasar itu. Ada bisikan yang menyuruh melompati lubang tersebut, namun indera keenamku melarangnya. Batinku pun bergolak. Di satu sisi, hasrat bunuh diri meletup. Sementara di sisi lainnya, nuraniku melawan kehendak itu.
Akhirnya, pilihan untuk hidup semakin membesar. Aku berusaha berjuang untuk hidup, terutama selagi roh masih menaungi jasad kasarku ini. Belum lagi diriku tersadar sepenuhnya, auman harimau terdengar dari balik barisan pohon. Suara cakaran kuat juga terdengar. Ajaib, pohon-pohon yang tadinya merapat membentuk barisan satu demi satu luruh hingga terbentang sebuah lorong. Tanpa ragu, aku melangkah memasuki lorong itu. Baru saja sepatuku menapak, jalan setapak mulai terlihat. Jalanan yang merupakan jalur pendakian. Aku pun menuruni lereng terakhir menuju hutan pinus, perbatasan hutan dengan sawah penduduk.
Lagi-lagi diriku selamat. Di tepian hutan pinus, aku merendam kedua kaki di sebuah kali kecil. Air sungai nan bening itu dingin, sedingin hatiku. Malam pun mulai merambat, namun cakrawala terang benderang dengan dihiasi kerlip bintang. Kesunyian hati pun sirna setelah diriku menemukan makna perjuangan hidup.(Tamat)
SUARA itu benar-benar bikin sengsara.
"Dedemit enggak tahu diri," teriakku sekencang-kencangnya.
Eh, malah dibalas dengan suara tanpa wujud: hoo... Maunya apa sih, setan itu, pikirku sembari keheranan. Belum lagi keherananku sirna, suara menakutkan itu seakan hendak mengoyak selaput gendang telingaku. Sakit sekali.
Tiba-tiba, suara tak berwujud itu berubah lembut. Seiring dengan itu, lantunan mirip orang tua terdengar.
"Eyang heran. Kenapa masih muda, kok, malah berniat mengakhiri hidup. Lucu sekali, benar-benar bikin terpingkal-pingkal."
"Siapa itu," sergahku."Eyang adalah penunggu air terjun."
"Terus mau apa," tanyaku tak sabaran.
"Tadinya, Eyang mau mengambil roh ananda. Tapi setelah melihat ketulusan hati ananda menolong teman, jadinya Eyang mengurungkan niat itu. Lagian, Eyang menilai ananda belum siap hidup di alam halus."
"Belum siap bagaimana?" buruku lagi.
"Alam dunia halus sangat berbeda dengan dunia kasar. Di sini, sebagian besar arwah adalah penasaran. Mereka dulunya adalah orang-orang berdosa atau melanggar pantangan. Sedangkan hati ananda bersih dan mulia. Sebaiknya, ananda memikirkan niat bunuh diri itu masak-masak sehingga tak ada penyesalan di kemudian hari."
"Penyesalan yang bagaimana," serbuku lagi.
Ternyata pertanyaanku itu tak dijawab. Suara Eyang itu pun tak muncul lagi. Bersamaan dengan itu dari kejauhan tampak rombongan temanku menuruni bukit terakhir. Mereka bertanya-tanya, tapi aku bungkam seribu bahasa. Biarlah kejadian tadi menjadi rahasia bagi diriku.
Dua tahun sudah berlalu, namun hasrat itu kembali menerbit.
Schizophrenia benar-benar menghabiskan energiku. Entah mengapa keinginan itu selalu muncul saat diriku tengah berada di gunung. Sekarang niat bunuh diri itu menyergap di Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat.
Gunung tertinggi di Tanah Pasundan ini memang menantang, apalagi ini adalah pendakian pertamaku di Ciremai. Akan tetapi tak ada yang istimewa dari gunung ini selain tanjakan terjal tiada henti dari ketinggian sekitar 2.250 mdpl sampai 3.078 mdpl. Sebut saja Tanjakan Binbin, Tanjakan Seruni, dan Tanjakan Baba Tere.
Segala tanjakan terjal itu pun kulalui dengan mudah, sementara puluhan temanku masih ngos-ngosan untuk melewatinya. Yang ada dalam benakku adalah bergegas menuju puncak, mengejar matahari terbit setelah semalaman penuh mendaki.
Sejumlah pos berikutnya juga kulalui dengan ringan. Dari Batu Lingga, Sangga Buwana, hingga Pengasinan. Dan, hamparan edelweiss mulai tampak meski samar-samar lantaran mentari belum menyembul di ufuk Timur. Semburat jingga dan oranye pun mulai mewarnai cakrawala Timur. Kerlip bintang pun meredup satu per satu seakan pamit kepada diriku.
Puncak itu terlihat jelas di depan mataku. Tiba-tiba, rasa haus mengeringkan kerongkonganku. Tanganku menyentuh veldples yang senantiasa tergantung di pinggang. Bah! Ternyata veldplesku kosong melompong.
"Sempurna...berarti niat bunuh diri kali ini memang bakal tuntas," desisku, nyaris tak terdengar.
Sesampai di puncak, aku langsung berbaring di batu besar dekat bibir kawah. Dua jam mungkin aku tertidur. Kedua mataku perlahan membuka dan telingaku mendengar teriakan sejumlah teman yang mulai sampai di puncak. Pagi telah tiba dan kehangatan sinar matahari mulai terasa di wajahku.
Aku segera bangkit dan langsung memanggul ransel biru bututku lagi. Kuhampiri teman-temanku itu. Setelah berbasa-basi sebentar, selanjutnya aku memisahkan diri. Tanpa terasa kakiku melangkah lagi dan hendak memutari puncak gunung. Teman-temanku semakin mengecil dari pandangan. Tak terasa sudah satu jam berjalan sendirian dan belahan lain kawah di bawah terlihat jelas. Setengah jam kemudian aku kembali bergabung dengan teman-temanku setelah memutari puncak.
Kebiasaan dari dulu, aku memang selalu turun duluan. Belum setengah jam berlari, dua rekanku tampak berusaha menyusul. Ya sudah, aku menunggu. Tak sampai lima menit, Buyung dan Irwan sampai. Baru saja mereka sampai, terdengar jeritan Cakil.
Apalagi pikirku. Ternyata seekor monyet besar memburu Cakil. Pantas saja dia terbirit-birit dan berteriak seperti orang kesurupan. Tanganku meraih batu dan langsung menimpuk monyet besar itu.
"Ada-ada saja," kataku setelah berhasil mengusir kera berbulu hitam itu.Tapi di balik kata-kata itu, aku sempat berpikir ini pertanda apa.
Setelah cukup beristirahat, tiga temanku mengajak turun bersama, tapi ajakan itu aku tampik secara halus. Bukan aku tak mau menyertai mereka. Namun, ya itu tadi, aku berniat bunuh diri dengan cara menyasarkan diri di kegelapan belantara.
Bunyi sepatu boot tiga temanku itu kian lama semakin tak terdengar. Inilah saatnya. Bukannya membelok ke kanan, melainkan melambung jauh ke kiri. Sedikit demi sedikit jalanan setapak berubah. Rimbunnya tanaman tepus dan pakis pun seakan berlomba menelan lebar jalan. Jalanan tanah tak tampak lagi. Turunan pun semakin curam mengarah ke suatu lembah kecil yang mungkin tak pernah dilalui manusia. Berbagai jenis pohon tak dikenal juga mendominasi tepian lembah. Aneh.
Keanehan tambah lengkap seiring langkah kedua kakiku yang tak bisa dikendalikan lagi mengikuti dorongan sebuah kekuatan asing. Dan tepat di tengah lembah, pandanganku melayang berputar. Barisan pohon yang mengelilingi lembah sunyi ini juga merapat dempet membentuk suatu pagar. Ganjil, benar-benar ganjil. Anehnya lagi, aku tak mengetahui lagi dari arah mana tadi datang.
Keganjilan menjadi sempurna begitu ada lubang di tengah lembah. Di tepian lubang seperti sumur tak berdinding itu banyak sulur ilalang kering. Bau aneh juga menyeruak dari dalam lubang, seperti wangi kembang tapi jenis bunganya belum pernah kuketahui. Mungkin perpaduan antara melati dan kenanga.
Kesan angker langsung mendominasi perasaan dan pikiranku saat itu juga. Namun, indera keenamku memperingati diriku agar tak bertindak gegabah.
Waktu seakan berputar cepat, jarum panjang arlojiku telah berputar satu putaran penuh. Berarti sudah satu jam aku termangu menatap lubang hitam tak berdasar itu. Ada bisikan yang menyuruh melompati lubang tersebut, namun indera keenamku melarangnya. Batinku pun bergolak. Di satu sisi, hasrat bunuh diri meletup. Sementara di sisi lainnya, nuraniku melawan kehendak itu.
Akhirnya, pilihan untuk hidup semakin membesar. Aku berusaha berjuang untuk hidup, terutama selagi roh masih menaungi jasad kasarku ini. Belum lagi diriku tersadar sepenuhnya, auman harimau terdengar dari balik barisan pohon. Suara cakaran kuat juga terdengar. Ajaib, pohon-pohon yang tadinya merapat membentuk barisan satu demi satu luruh hingga terbentang sebuah lorong. Tanpa ragu, aku melangkah memasuki lorong itu. Baru saja sepatuku menapak, jalan setapak mulai terlihat. Jalanan yang merupakan jalur pendakian. Aku pun menuruni lereng terakhir menuju hutan pinus, perbatasan hutan dengan sawah penduduk.
Lagi-lagi diriku selamat. Di tepian hutan pinus, aku merendam kedua kaki di sebuah kali kecil. Air sungai nan bening itu dingin, sedingin hatiku. Malam pun mulai merambat, namun cakrawala terang benderang dengan dihiasi kerlip bintang. Kesunyian hati pun sirna setelah diriku menemukan makna perjuangan hidup.(Tamat)
Komentar
Posting Komentar