ANDAI BUNG KARNO MASIH ADA
HIDUP Bung Karno, Adam Malik, dan Tengku Abdul Rahman di alam barzah mungkin terusik. Siapa tahu, mereka malah "mencermati" perkembangan mutakhir mengenai hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang tengah tegang dua pekan terakhir ini. Maklum, di masa hidupnya, tiga orang itu memang menjadi tokoh sentral dalam pergaulan RI-Malaysia yang pernah memanas, hampir setengah abad silam.
Adalah Ambalat yang menjadi sengketa terkini dua negeri serumpun. Ketegangan dua negara bertetangga ini mencuat ke permukaan setelah Malaysia mengklaim kepemilikan perairan gugusan pulau karang Ambalat atau Blok Ambalat di Laut Sulawesi yang notabene masuk wilayah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Klaim Negeri Jiran atas Ambalat dipicu pada pertengahan bulan silam saat Petronas (Pertamina-nya Malaysia) memberikan konsensi penambangan ND6 dan ND7 (Indonesia menyebutnya Blok Ambalat dan East Ambalat) kepada perusahaan multinasional Shell. Belum lama ini, Indonesia pun tak mau kalah dengan memberikan lampu hijau bagi Unicol, perusahaan minyak Amerika Serikat, untuk memulai eksploitasi Blok Ambalat meski kawasan itu tengah disengketakan.
Pengklaiman sepihak pemerintah Kuala Lumpur itu memang sangat gawat bagi kepentingan nasional. Ini mengingat Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik. Jelas pula, klaim itu kian membuat runcing hubungan Indonesia-Malaysia yang memang tengah tak harmonis ini--terutama soal pengusiran tenaga kerja Indonesia ilegal dalam beberapa tahun terakhir.
Sengketa Ambalat pun diwarnai insiden penembakan Tentara Laut Diraja Malaysia terhadap sejumlah nelayan Indonesia yang tengah membangun mercusuar atas suruhan Departemen Perhubungan di Karang Unarang, dekat perairan Ambalat. Provokasi dari pihak Malaysia ini dijawab TNI Angkatan Laut dengan mengerahkan empat kapal perang RI (KRI).
Eh, pihak Malaysia justru membalas dengan melakukan pelanggaran batas wilayah RI. Berkali-kali, Kapal Diraja Kerambit dan pesawat Beechcraft Super King melintasi wilayah kedaulatan Indonesia di sekitar Ambalat, bahkan pesawat Malaysia berani terbang di atas pos TNI di bagian Pulau Sebatik yang masuk wilayah RI.
Beberapa hari sebelumnya, KD Kerambit yang dikawal beberapa kapal sempat beberapa kali berhadap-hadapan dengan sejumlah KRI.
Sejumlah provokasi Malaysia itu jelas membuat pemerintah dan TNI mencak-mencak. Tak tanggung-tanggung, tujuh KRI ditambah empat pesawat F-16 dikerahkan ke sana. Selasa pekan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyempatkan diri meninjau sekitar wilayah sengketa tersebut.
SBY memang perlu turun tangan. Kunjungan Presiden tersebut adalah langkah taktis sekaligus politis menjawab protes tak jelas juntrungan dari Malaysia soal Ambalat. Keputusan Mahkamah Internasional memang telah memenangkan Malaysia dalam status kepemilikan Sipadan-Ligitan pada Desember 2002.
Ibarat dikasih hati minta jantung, kemenangan itu membuat kepongahan Malaysia semakin jadi. Malaysia secara sepihak mengklaim Ambalat, padahal mereka bukan negara kepulauan sesuai Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Bukti Malaysia melanggar konvensi internasional itu adalah mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Padahal batas teritori laut suatu negara yang bukan negeri kepulauan adalah cuma 12 mil laut. Belakangan Malaysia "memperluas" wilayahnya sampai sejauh dua mil.
Dan, total jenderal luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik yang separuhnya dikuasai Indonesia.
Bila saja masih hidup, Bung Karno dipastikan geram, bahkan murka, begitu mengetahui luas areal yang diincar Malaysia tersebut. Boleh jadi, ia kembali mengumumkan perang kepada Malaysia. Dulu pun "auman" Soekarno dengan Ganyang Malaysia dan Dwikora pernah menciutkan nyali Negeri Serumpun itu.
Saat berkuasa, BK beranggapan Malaysia itu hanyalah perpanjangan Oldefo (Old Established Forces), terutama Inggris. Dalam sebuah pidato, Putra Sang Fajar ini pun pernah mencerca pemerintahan Tengku Abdul Rahman--Perdana Menteri Malaysia saat itu. BK mencerca, kemerdekaan Malaysia dikasih oleh Inggris, bukan melalui suatu perjuangan bersenjata seperti Indonesia. BK, bahkan pernah meledek sejawatnya itu sebagai Pangeran Melayu alias aristokrat didikan Inggris.
Tak perlu memiliki mesin waktu untuk melihat gambaran jelas konfrontasi RI-Malaysia dalam rentang waktu 1963-1966. Soalnya buku-buku sejarah cukup bertebaran. Pena sejarah mencatat, Ganyang Malaysia diucapkan Bung Karno pada 7 Juli 1963. Tak lama kemudian Dwikora (Dwi Komando Rakyat) dikobarkan yang menandai dimulainya gong konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Dalam kacamata BK, Dwikora hanyalah ekses dari kebuntuan perundingan tiga negara serumpun yang diberi nama Konferensi Maphilindo (Malaysia-Filipina-Indonesia). Isu utama saat itu adalah penentuan nasib rakyat Sabah-Sarawak. Indonesia yang pada awalnya tak begitu peduli dengan masalah Sabah-Sarawak, akhirnya menceburkan diri dalam konflik tersebut.
Indonesia, terutama BK merasa dikadali Malaysia yang memasukkan wilayah Sabah-Sarawak tanpa melalui suatu referendum sesuai dengan kesepakatan Konferensi Maphilindo. Saat itu Federasi Malaysia berdiri dan mencakup wilayah Semenanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak (Kalimantan Utara minus Brunei Darussalam), plus Singapura.
BK memang boleh berpendapat demikian. Kendati begitu, sebagian indonesianis menganalisis BK memang cenderung membuat suatu konflik untuk kepentingan dirinya, terutama pascasengketa antara Indonesia-Belanda soal Irian Barat. Sejumlah pengamat lainnya bahkan menyebut konfrontasi RI-Malaysia itu dimanfaatkan BK untuk mengalihkan perhatian rakyat dari krisis ekonomi.
Konfrontasi RI_Malaysia itu pun dimanfaatkan kalangan komunis (PKI) dan TNI dengan tujuan dan strategi masing-masing. Partai Komunis Indonesia, misalnya, memerlukan suatu clash untuk meningkatkan aksi revolusionernya sehingga mendapat dukungan luas di domestik. Ini juga seiring dengan cita-cita mereka untuk membentuk Angkatan Kelima alias rakyat yang dipersenjatai. Sedangkan TNI jelas mendapat tambahan anggaran pertahanan sehingga menjadi angkatan bersenjata terkuat saat itu di Asia Tenggara.
Terlepas dari muatan politis konflik RI-Malaysia saat itu, pesan BK adalah jelas: yakni menjaga keutuhan wilayah Indonesia.
Jauh sebelum Dwikora, BK pernah mengucapkan secara lantang mengenai kedaulatan wilayah RI. Ini diucapkan BK menjelang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, medio Desember 1958.
Ketika itu wajah Presiden Soekarno merah padam. Kemarahannya pun tak dapat disembunyikan lagi saat mengusir seorang pengusaha pertambangan asal Belanda yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Dengan berapi-api, BK mengatakan: "Tak sejengkal pun tanah Indonesia kuberikan."
Lain BK, lain pula Adam Malik. Ini tentunya setelah Soekarno tumbang dan digantikan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Pendek kata, jasa Adam Malik yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri adalah mengupayakan Normalisasi Hubungan RI-Malaysia. Ia sukses, bahkan berlanjut dengan pembentukan Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara alias ASEAN yang memfokuskan terhadap kerja sama ekonomi.
Dulu dan sekarang memang berbeda. Dahulu konfrontasi dengan Malaysia berdasarkan geopolitik, sedangkan saat ini berlandaskan geoekonomi.
Kendati begitu, sejumlah daerah di Tanah Air telanjur marak digaungkan Ganyang Malaysia. Sejumlah pemuda mendaftarkan diri sebagai sukarelawan dan siap berperang. Mereka pun menilai pemerintah lamban.
Masalah nasionalisme, terutama mempertahankan kedaulatan Indonesia memang penting. Wajarlah mengingat banyak negara rela mengangkat senjata atau berperang dengan negara lain demi mempertahankan Tanah Air masing-masing.
Namun paling penting adalah menyelesaikan masalah dengan perundingan yang elegan. Sehingga nama baik Indonesia di percaturan internasional kembali pulih. Diplomasi pun harus kuat. Bukti-bukti historis, baik dari zaman kerajaan hingga kolonial, mesti dipertahankan.
Kemarin ada perkembangan cukup menggembirakan, Menteri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan masalah Ambalat dengan cara damai. Dalam bulan ini pula, kedua negara bakal menggelar perundingan. Tentunya harus diingat, perundingan itu jangan sampai merugikan Indonesia.
Lepasnya Sipadan-Ligitan dari pangkuan Ibu Pertiwi pada pertengahan Desember 2002 bisa menjadi pelajaran berharga. Pahit memang keputusan Mahkamah Internasional yang menetapkan Sipadan-Ligitan milik Malaysia hanya lantaran Negeri Jiran itu lebih peduli terhadap lingkungan hidup di wilayah yang disengketakan tersebut.
Sipadan dan Ligitan memang telah lepas dari genggaman, akan tetapi pemerintah Indonesia maupun TNI berkewajiban mempertahankan kedaulatan wilayah RI. Termasuk menuntaskan masalah perbatasan Indonesia dan sejumlah negara lain, terutama 87 pulau terpencil yang rawan sengketa. Bila tidak, tak mustahil sejumlah pulau bakal lepas lagi ke tangan negara tetangga.
Dan, sulit memang untuk tidak mengatakan bahwa sejarah itu berulang.
HIDUP Bung Karno, Adam Malik, dan Tengku Abdul Rahman di alam barzah mungkin terusik. Siapa tahu, mereka malah "mencermati" perkembangan mutakhir mengenai hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang tengah tegang dua pekan terakhir ini. Maklum, di masa hidupnya, tiga orang itu memang menjadi tokoh sentral dalam pergaulan RI-Malaysia yang pernah memanas, hampir setengah abad silam.
Adalah Ambalat yang menjadi sengketa terkini dua negeri serumpun. Ketegangan dua negara bertetangga ini mencuat ke permukaan setelah Malaysia mengklaim kepemilikan perairan gugusan pulau karang Ambalat atau Blok Ambalat di Laut Sulawesi yang notabene masuk wilayah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Klaim Negeri Jiran atas Ambalat dipicu pada pertengahan bulan silam saat Petronas (Pertamina-nya Malaysia) memberikan konsensi penambangan ND6 dan ND7 (Indonesia menyebutnya Blok Ambalat dan East Ambalat) kepada perusahaan multinasional Shell. Belum lama ini, Indonesia pun tak mau kalah dengan memberikan lampu hijau bagi Unicol, perusahaan minyak Amerika Serikat, untuk memulai eksploitasi Blok Ambalat meski kawasan itu tengah disengketakan.
Pengklaiman sepihak pemerintah Kuala Lumpur itu memang sangat gawat bagi kepentingan nasional. Ini mengingat Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik. Jelas pula, klaim itu kian membuat runcing hubungan Indonesia-Malaysia yang memang tengah tak harmonis ini--terutama soal pengusiran tenaga kerja Indonesia ilegal dalam beberapa tahun terakhir.
Sengketa Ambalat pun diwarnai insiden penembakan Tentara Laut Diraja Malaysia terhadap sejumlah nelayan Indonesia yang tengah membangun mercusuar atas suruhan Departemen Perhubungan di Karang Unarang, dekat perairan Ambalat. Provokasi dari pihak Malaysia ini dijawab TNI Angkatan Laut dengan mengerahkan empat kapal perang RI (KRI).
Eh, pihak Malaysia justru membalas dengan melakukan pelanggaran batas wilayah RI. Berkali-kali, Kapal Diraja Kerambit dan pesawat Beechcraft Super King melintasi wilayah kedaulatan Indonesia di sekitar Ambalat, bahkan pesawat Malaysia berani terbang di atas pos TNI di bagian Pulau Sebatik yang masuk wilayah RI.
Beberapa hari sebelumnya, KD Kerambit yang dikawal beberapa kapal sempat beberapa kali berhadap-hadapan dengan sejumlah KRI.
Sejumlah provokasi Malaysia itu jelas membuat pemerintah dan TNI mencak-mencak. Tak tanggung-tanggung, tujuh KRI ditambah empat pesawat F-16 dikerahkan ke sana. Selasa pekan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyempatkan diri meninjau sekitar wilayah sengketa tersebut.
SBY memang perlu turun tangan. Kunjungan Presiden tersebut adalah langkah taktis sekaligus politis menjawab protes tak jelas juntrungan dari Malaysia soal Ambalat. Keputusan Mahkamah Internasional memang telah memenangkan Malaysia dalam status kepemilikan Sipadan-Ligitan pada Desember 2002.
Ibarat dikasih hati minta jantung, kemenangan itu membuat kepongahan Malaysia semakin jadi. Malaysia secara sepihak mengklaim Ambalat, padahal mereka bukan negara kepulauan sesuai Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Bukti Malaysia melanggar konvensi internasional itu adalah mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Padahal batas teritori laut suatu negara yang bukan negeri kepulauan adalah cuma 12 mil laut. Belakangan Malaysia "memperluas" wilayahnya sampai sejauh dua mil.
Dan, total jenderal luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik yang separuhnya dikuasai Indonesia.
Bila saja masih hidup, Bung Karno dipastikan geram, bahkan murka, begitu mengetahui luas areal yang diincar Malaysia tersebut. Boleh jadi, ia kembali mengumumkan perang kepada Malaysia. Dulu pun "auman" Soekarno dengan Ganyang Malaysia dan Dwikora pernah menciutkan nyali Negeri Serumpun itu.
Saat berkuasa, BK beranggapan Malaysia itu hanyalah perpanjangan Oldefo (Old Established Forces), terutama Inggris. Dalam sebuah pidato, Putra Sang Fajar ini pun pernah mencerca pemerintahan Tengku Abdul Rahman--Perdana Menteri Malaysia saat itu. BK mencerca, kemerdekaan Malaysia dikasih oleh Inggris, bukan melalui suatu perjuangan bersenjata seperti Indonesia. BK, bahkan pernah meledek sejawatnya itu sebagai Pangeran Melayu alias aristokrat didikan Inggris.
Tak perlu memiliki mesin waktu untuk melihat gambaran jelas konfrontasi RI-Malaysia dalam rentang waktu 1963-1966. Soalnya buku-buku sejarah cukup bertebaran. Pena sejarah mencatat, Ganyang Malaysia diucapkan Bung Karno pada 7 Juli 1963. Tak lama kemudian Dwikora (Dwi Komando Rakyat) dikobarkan yang menandai dimulainya gong konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Dalam kacamata BK, Dwikora hanyalah ekses dari kebuntuan perundingan tiga negara serumpun yang diberi nama Konferensi Maphilindo (Malaysia-Filipina-Indonesia). Isu utama saat itu adalah penentuan nasib rakyat Sabah-Sarawak. Indonesia yang pada awalnya tak begitu peduli dengan masalah Sabah-Sarawak, akhirnya menceburkan diri dalam konflik tersebut.
Indonesia, terutama BK merasa dikadali Malaysia yang memasukkan wilayah Sabah-Sarawak tanpa melalui suatu referendum sesuai dengan kesepakatan Konferensi Maphilindo. Saat itu Federasi Malaysia berdiri dan mencakup wilayah Semenanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak (Kalimantan Utara minus Brunei Darussalam), plus Singapura.
BK memang boleh berpendapat demikian. Kendati begitu, sebagian indonesianis menganalisis BK memang cenderung membuat suatu konflik untuk kepentingan dirinya, terutama pascasengketa antara Indonesia-Belanda soal Irian Barat. Sejumlah pengamat lainnya bahkan menyebut konfrontasi RI-Malaysia itu dimanfaatkan BK untuk mengalihkan perhatian rakyat dari krisis ekonomi.
Konfrontasi RI_Malaysia itu pun dimanfaatkan kalangan komunis (PKI) dan TNI dengan tujuan dan strategi masing-masing. Partai Komunis Indonesia, misalnya, memerlukan suatu clash untuk meningkatkan aksi revolusionernya sehingga mendapat dukungan luas di domestik. Ini juga seiring dengan cita-cita mereka untuk membentuk Angkatan Kelima alias rakyat yang dipersenjatai. Sedangkan TNI jelas mendapat tambahan anggaran pertahanan sehingga menjadi angkatan bersenjata terkuat saat itu di Asia Tenggara.
Terlepas dari muatan politis konflik RI-Malaysia saat itu, pesan BK adalah jelas: yakni menjaga keutuhan wilayah Indonesia.
Jauh sebelum Dwikora, BK pernah mengucapkan secara lantang mengenai kedaulatan wilayah RI. Ini diucapkan BK menjelang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, medio Desember 1958.
Ketika itu wajah Presiden Soekarno merah padam. Kemarahannya pun tak dapat disembunyikan lagi saat mengusir seorang pengusaha pertambangan asal Belanda yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Dengan berapi-api, BK mengatakan: "Tak sejengkal pun tanah Indonesia kuberikan."
Lain BK, lain pula Adam Malik. Ini tentunya setelah Soekarno tumbang dan digantikan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Pendek kata, jasa Adam Malik yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri adalah mengupayakan Normalisasi Hubungan RI-Malaysia. Ia sukses, bahkan berlanjut dengan pembentukan Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara alias ASEAN yang memfokuskan terhadap kerja sama ekonomi.
Dulu dan sekarang memang berbeda. Dahulu konfrontasi dengan Malaysia berdasarkan geopolitik, sedangkan saat ini berlandaskan geoekonomi.
Kendati begitu, sejumlah daerah di Tanah Air telanjur marak digaungkan Ganyang Malaysia. Sejumlah pemuda mendaftarkan diri sebagai sukarelawan dan siap berperang. Mereka pun menilai pemerintah lamban.
Masalah nasionalisme, terutama mempertahankan kedaulatan Indonesia memang penting. Wajarlah mengingat banyak negara rela mengangkat senjata atau berperang dengan negara lain demi mempertahankan Tanah Air masing-masing.
Namun paling penting adalah menyelesaikan masalah dengan perundingan yang elegan. Sehingga nama baik Indonesia di percaturan internasional kembali pulih. Diplomasi pun harus kuat. Bukti-bukti historis, baik dari zaman kerajaan hingga kolonial, mesti dipertahankan.
Kemarin ada perkembangan cukup menggembirakan, Menteri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan masalah Ambalat dengan cara damai. Dalam bulan ini pula, kedua negara bakal menggelar perundingan. Tentunya harus diingat, perundingan itu jangan sampai merugikan Indonesia.
Lepasnya Sipadan-Ligitan dari pangkuan Ibu Pertiwi pada pertengahan Desember 2002 bisa menjadi pelajaran berharga. Pahit memang keputusan Mahkamah Internasional yang menetapkan Sipadan-Ligitan milik Malaysia hanya lantaran Negeri Jiran itu lebih peduli terhadap lingkungan hidup di wilayah yang disengketakan tersebut.
Sipadan dan Ligitan memang telah lepas dari genggaman, akan tetapi pemerintah Indonesia maupun TNI berkewajiban mempertahankan kedaulatan wilayah RI. Termasuk menuntaskan masalah perbatasan Indonesia dan sejumlah negara lain, terutama 87 pulau terpencil yang rawan sengketa. Bila tidak, tak mustahil sejumlah pulau bakal lepas lagi ke tangan negara tetangga.
Dan, sulit memang untuk tidak mengatakan bahwa sejarah itu berulang.
Komentar
Posting Komentar