DAN ISTANA RAJA PUN DIKEPUNG...
SIANG di hari kemarin, mendung menggelayuti langit di atas alun-alun Kutaraja, suatu negeri yang tak asing. Namun ketiadaan terik menyengat tak serta merta mendinginkan ribuan kepala yang bergerak menuju Istana Raja. Mereka menyuarakan tuntutan serupa agar Raja mengurungkan niat mengeluarkan titah yang memberatkan penghidupan wong cilik. Yakni, menaikkan harga "emas hitam". Bilangan jumlah penentang memang hanya ribuan, tapi mereka mengaku mewakili jeritan jutaan rakyat kecil yang kian hari hidupnya makin sengsara.
Berjam-jam mereka berjalan kaki dari berbagai sudut kota untuk sampai di Istana Raja. Sesampai di muka Istana, seribu lebih pengaman kerajaan telah menunggu. Pergerakan berbagai lapisan rakyat itu cuma sampai di sana. Mereka hanya bisa berteriak-teriak sampai serak sengau. Toh, Sang Raja tak berada di singgasananya. Paduka Baginda justru sedang mengunjungi rakyat di belahan lain di negeri tak asing itu.
Hanya datang kabar bahwa penguasa negeri sedih mendengar rakyat mengecam kebijakannya. Dengan berat hati dia pun bersabda bahwa titah tersebut tak bisa ditawar-tawar lagi. Negeri lain pun mengalami kondisi tak jauh berbeda gara-gara "emas hitam" harganya melambung. Terlebih, keputusan itu sudah melalui sidang Majelis Kerajaan, termasuk dengar pendapat dengan wakil kawula. Pundi-pundi dari gudang harta istana pun siap disebar kepada rakyat papa.
Sementara, Sang Patih tiga hari yang silam justru bertolak ke negeri seberang benua. Dia mungkin mendengar siang hari kemarin, peristirahatannya di kampung halaman sempat dikepung massa sedaerah seketurunan. Rupanya, penduduk kampung itu kesal dan menganggap Sang Patih tak mendengar jeritan mereka. Dan, belum lama ini Si Patih beserta rombongan telah tiba. Beberapa saat yang lalu, mereka pun menemui Paduka dan membahas perkembangan terkini di negeri tak asing itu.
Malam sebelumnya, sebagian rakyat ada yang terkantuk-kantuk mengantre untuk mengisi kereta atau delman mereka dengan "emas hitam". Sebagian rakyat malah tak kebagian, maklumlah beberapa hari terakhir "emas hitam" seakan lenyap dari negeri tak asing itu. Seiring dengan itu, para penyamun merajalela menggondol "emas hitam" untuk dijual kepada saudagar-saudagar negeri asing. "Emas hitam" pun menghilang, rakyat resah. Harga barang-barang kebutuhan hidup membubung tinggi, padahal nilai "emas hitam" belum ditetapkan Sang Raja negeri tak asing itu.
Seantero wilayah kerajaan gonjang-ganjing. Protes besar-besaran juga mengguncang kutaraja, hingga keesokan harinya atau hari ini. Toh, keputusan Baginda tetap tak berubah. Malam ini, Raja dari kasta ksatria itu bersikeras menaikkan salah satu komoditas vital bagi penghidupan rakyat negeri tak asing itu. Andai Baginda mendengar jeritan hati kawulanya dan menggantung para penyamun "emas hitam" di tiang gantungan di alun-alun Kutaraja, tentu pundi-pundi emas Istana masih mencukupi menutupi semua pengeluaran kerajaan negeri tak asing itu.
SIANG di hari kemarin, mendung menggelayuti langit di atas alun-alun Kutaraja, suatu negeri yang tak asing. Namun ketiadaan terik menyengat tak serta merta mendinginkan ribuan kepala yang bergerak menuju Istana Raja. Mereka menyuarakan tuntutan serupa agar Raja mengurungkan niat mengeluarkan titah yang memberatkan penghidupan wong cilik. Yakni, menaikkan harga "emas hitam". Bilangan jumlah penentang memang hanya ribuan, tapi mereka mengaku mewakili jeritan jutaan rakyat kecil yang kian hari hidupnya makin sengsara.
Berjam-jam mereka berjalan kaki dari berbagai sudut kota untuk sampai di Istana Raja. Sesampai di muka Istana, seribu lebih pengaman kerajaan telah menunggu. Pergerakan berbagai lapisan rakyat itu cuma sampai di sana. Mereka hanya bisa berteriak-teriak sampai serak sengau. Toh, Sang Raja tak berada di singgasananya. Paduka Baginda justru sedang mengunjungi rakyat di belahan lain di negeri tak asing itu.
Hanya datang kabar bahwa penguasa negeri sedih mendengar rakyat mengecam kebijakannya. Dengan berat hati dia pun bersabda bahwa titah tersebut tak bisa ditawar-tawar lagi. Negeri lain pun mengalami kondisi tak jauh berbeda gara-gara "emas hitam" harganya melambung. Terlebih, keputusan itu sudah melalui sidang Majelis Kerajaan, termasuk dengar pendapat dengan wakil kawula. Pundi-pundi dari gudang harta istana pun siap disebar kepada rakyat papa.
Sementara, Sang Patih tiga hari yang silam justru bertolak ke negeri seberang benua. Dia mungkin mendengar siang hari kemarin, peristirahatannya di kampung halaman sempat dikepung massa sedaerah seketurunan. Rupanya, penduduk kampung itu kesal dan menganggap Sang Patih tak mendengar jeritan mereka. Dan, belum lama ini Si Patih beserta rombongan telah tiba. Beberapa saat yang lalu, mereka pun menemui Paduka dan membahas perkembangan terkini di negeri tak asing itu.
Malam sebelumnya, sebagian rakyat ada yang terkantuk-kantuk mengantre untuk mengisi kereta atau delman mereka dengan "emas hitam". Sebagian rakyat malah tak kebagian, maklumlah beberapa hari terakhir "emas hitam" seakan lenyap dari negeri tak asing itu. Seiring dengan itu, para penyamun merajalela menggondol "emas hitam" untuk dijual kepada saudagar-saudagar negeri asing. "Emas hitam" pun menghilang, rakyat resah. Harga barang-barang kebutuhan hidup membubung tinggi, padahal nilai "emas hitam" belum ditetapkan Sang Raja negeri tak asing itu.
Seantero wilayah kerajaan gonjang-ganjing. Protes besar-besaran juga mengguncang kutaraja, hingga keesokan harinya atau hari ini. Toh, keputusan Baginda tetap tak berubah. Malam ini, Raja dari kasta ksatria itu bersikeras menaikkan salah satu komoditas vital bagi penghidupan rakyat negeri tak asing itu. Andai Baginda mendengar jeritan hati kawulanya dan menggantung para penyamun "emas hitam" di tiang gantungan di alun-alun Kutaraja, tentu pundi-pundi emas Istana masih mencukupi menutupi semua pengeluaran kerajaan negeri tak asing itu.
Komentar
Posting Komentar