In Memoriam:

"PEMBACA AWAM" ITU T'LAH PERGI (1)

KAWAN sekaligus musuh itu telah pergi.* Tiada pesan terakhir darinya, dan begitu mendadak. Yang jelas, berita duka itu memuramkan pagi di salah satu ruang kerja sebuah gedung bertingkat 12 di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ya, pagi itu sangatlah muram. Pun demikian siang dan malamnya, serba muram. Muram yang sebenarnya sulit dituliskan. Jujur saja, butuh hampir dua hari memulai tulisan kecil ini. Sebuah obituari kecil, sekadar mengucapkan selamat jalan kepada Achijar Abbas Ibrahim, kawan sekaligus musuh.

Adapun perkenalan pertama dengannya adalah sekitar awal tahun 1995, saat diriku hendak merampungkan penelitian skripsi. Dan dialah yang memberikan sejumlah nomor telepon sejumlah wartawan senior guna kepentingan tugas akhirku yang mengambil tema "Kebijakan Pers Orde Baru".

Boleh dikatakan, Om--begitu aku dan teman-temanku menyebut dirinya--adalah orang Tempo pertama yang kukenal dengan dekat. Ketika itu, aku memang kagum dengan perjuangan para pejuang pena tersebut. Baru setahun lalu, tepatnya 21 Juni 1994 pemerintah Orde Baru memberangus mingguan berita terkemuka di negeri ini, bersama Majalah Editor dan Tabloid Detik.

Kekaguman pun bertambah, ketika para kuli tinta majalah bermoto "Enak Dibaca dan Perlu" itu melawan meski akhirnya kandas di tingkat Mahkamah Agung pada 3 Juni 1996. Walau nyata-nyata kalah oleh kekuasaan, mereka tetap bergerilya. Boleh dibilang mereka malah ada di mana-mana, menularkan berbagai jurus seperti jurnalisme sastrawi. Suatu perkembangan positif, menurut pandanganku saat itu.

Tak hanya melawan secara hukum yang menimbulkan simpati banyak kalangan, sekitar tahun 1995, mereka pun menerbitkan buku bertajuk "Mengapa Kami Menggugat". Buku terbitan Yayasan Alumni Tempo itu memang sebagian besar berisi tentang proses Pengadilan Tata Usaha Negara yang memenangkan gugatan Tempo. Kemenangan ronde pertama majalah pimpinan Goenawan Mohamad atas rezim Orde Baru, dalam hal ini Menteri Penerangan Harmoko.

Buku itu pun memuat banyak pernyataan dan tanggapan berbagai kalangan, hingga kesaksian orang-orang Tempo seputar pemberedelan. Kesaksian Achijar salah satunya. Dalam buku itu, ia mengatakan bahwa tekad berjuang bersama kawan-kawannya kian menebal saat mendengar komentar putranya: "Pak, percuma menggugat. 'Kan pasti dikalahkan," begitu anak laki-laki saya yang baru duduk di kelas dua SMP mengingatkan. "Bah, anak 14 tahun sudah keracunan pola pikir masyarakat sakit," bantah saya, dalam hati. "Tapi terus terang, kata-kata anak saya menghantui saya juga. Memang, mungkin saja percuma menggugat pembredelan Tempo. Bisa-bisa malah nama awak masuk daftar yang tak boleh cari nafkah di jalur jurnalistik."

Ternyata, pandangan sang anak kemudian berubah. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan sebuah media massa, Achijar menuturkan, putranya itu justru mendesak agar sang ayah tetap berjuang. Rupanya, si anak tidak mau diperolok-olokkan teman-teman sekolah hanya lantaran bapaknya tak bersikap teguh. Begitulah gambaran Achijar alias Om dalam pengamatanku saat itu.(ANS/Berbagai sumber lisan, tempointeraktif, dan google)

* Telah berpulang ke Rahmatullah, Achijar Abbas Ibrahim--pendiri website Liputan6--pada hari Sabtu, 14 Januari 2005 pukul 05.55 WIB. Dan jenazah telah dikebumikan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat, hari yang sama pada pukul 13.15 WIB. Mendiang wafat dalam usia 54 tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)