"PEMBACA AWAM" ITU T'LAH PERGI (HABIS)

DAN sepuluh tahun terakhir ini, cukuplah kiranya mengenal siapa sebenarnya sosok lelaki berkepala plontos serta bertangan kidal tersebut "Orang Awam" Itu Telah Pergi. Boleh dibilang, perjalanan hidupnya cukup beragam. Sebelum menggeluti dunia kewartawanan, ia pernah bekerja di berbagai bidang. Menjadi pengemudi truk kontainer di Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta Utara hingga sopir pribadi ekspatriat pun pernah dilakoninya. Memang, banyak orang yang tak mengetahuinya.

Beragam bidang pekerjaan yang pernah digelutinya, berwarna pula kehidupannya. Boleh dikatakan abu-abu, tidak putih tidak pula hitam. Begitulah kira-kira meski pada akhirnya aku tak mau ambil pusing. Dengan kata lain, pekerjaan tak perlu dikaitkan dengan urusan pribadi.

Nah, berkaitan dengan urusan pekerjaan, dia bisa berlaku sebagai kawan sekaligus musuh. Tak ada pujian yang meluncur langsung dari mulutnya bila pekerjaan kita dipuji orang lain. Sebaliknya, kesalahan sekecil apa pun bisa jadi perkara besar, terutama bila suasana hatinya sedang galau. Di sisi inilah, ia memposisikan diri sebagai musuh.

Walau hatinya gampang "digosok", sebenarnya ia tergolong seorang demokrat. Dia bisa menerima kekalahan dalam suatu debat seru. Tapi tentunya, bila alasan itu logis atau masuk akal. Semisal perkara nama lain Rusia yang berganti dari Negeri Beruang Merah menjadi Negeri Beruang Putih. Ia menerima saat mendengar penjelasan bahwa kata "putih" tersebut mengartikan Partai Komunis--yang identik dengan merah di Rusia--sudah tak lagi berkuasa. Dengan arti lain, warna merahnya sudah luntur.

Pada sisi itulah, ia memposisikan diri sebagai kawan. Kawan debat yang mau mengakui kekalahannya meski ada beberapa kasus dia sempat keras kepala. Barulah setelah mendapat penjelasan dari orang lain yang benar-benar dipercaya, ia mengakui kekeliruannya.

Kupingnya pun tergolong tipis. Dia pernah mengatakan "teraniaya" saat mendengar lantunan Iwan Fals. Terlebih, memang, sebagian besar lagu Fals sarat kritik sosial. Contohnya, lagu Belalang Tua. Terlepas dari tendensi seperti itu, aku dan kawan-kawan hanyalah menikmati lagu-lagu terbaru Fals di album Suara Hati. Oia, saking kesalnya, ia pun pernah melarang kita menyetel lagu-lagu Iwan Fals di ruangan kerja. Walah...

Begitulah sekelumit pandanganku mengenai sosok kawan sekaligus musuh tersebut. Seluruh kenangan itu mungkin bisa menyegarkan atau malah menyedihkan. Dan semua orang bisa berpendapat apa pun, terutama rekan-rekanku. Sah-sah saja, kok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)