TAPAK BERDERAP (21)

PANGGILAN lembut itu menggelisahkan lelap Sang Kembara. Sayup bisikan nun kejauhan di atas, pemilik kerlap cahaya di kelam angkasa, kini semakin jelas dan membangunkannya. Turun dan berpijak dekat pembaringan Kembara. Dia mengenalkan diri sebagai Pemimpi Ulung.

"Ruas langkah yang terbelakang sudah tidak dapat lagi kau hitung berbagai tempat dan belukar yang menggapai pundakmu pun tak mampu lagi kau tebas gelap dan terang hanya jalan menuju singasana yang dapat menghentikanmu gelisah hati berjalan sendiri lebih ringan dari beban di pundakmu.

Kau kenalkan alam sunyi dengan bekas riuh kota yang hidup
Kau iringi puncak tinggi dengan lengking teriakmu
Kau bawa serta dukamu di dalam, mengendap
Dan walaupun terasa berat, tak akan kau tinggalkan
Kau simpan rapi sampai di mana tak ada lagi bukit yang menjulang
yang dapat menutup pandanganmu...

...Alam bukan tandingan untukmu melupakan sunyi...
melepaskan sendirimu...meninggalkan tapakan-tapakan kasih yang pernah kau rejam...
keangkuhanmu tak dapat mengalahkan dukamu...beban terberat yang kau bawa sampai setinggi ini
berharap akan mendapatkan perasaan teduh menggapai bintang pada malam kelam...

Sendiri...kau hanya sendiri mencoba mengambil alih biduk keabadian
berhenti dan rengkuhlah dirimu sendiri...
Sadarkan hati hanya cinta yang sanggup membawamu pergi...terbang tinggi dan meraih gemintang
dan ketika kau lelah...jangan palingkan wajahmu melawan terang

Pendaki sunyi hanyalah nyanyian dan tarian dari lukamu, bukan beban yang harus kau bawa sepanjang perjalanan."

Bilakah benar demikian, wahai Pemimpi Ulung, tahukah kau jalan menuju puncak bukit berselimut awan perak itu? When You Love A Woman >>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)