NORMAN EDWIN: OBOR PETUALANGAN TAK PERNAH PADAM
BUKU berukuran 12 x 19 sentimeter itu menyempil di antara tumpukan buku lainnya di salah satu rak sebuah toko buku terkemuka di Kota Depok, Jawa Barat. Warna biru memang cepat tertangkap pandanganku. Terbaca judul JEJAK SANG BERUANG GUNUNG: Hidup dan Petualangan Norman Edwin. Buku berukuran seperti novel ini dikarang oleh Ganezh dengan tahun terbit 2006. Tatapanku kemudian tertuju pada lembar-lembar awal:
"Siang itu tanggal 20 Maret 1992. Di sana, di hamparan salju putih, sesosok tubuh tinggi besar sedang berjuang keras melintasi tanjakan dengan kemiringan 40 derajat pada ketinggian 6.700 meter. Niatnya sudah bulat. Ia akan mengibarkan Sang Merah Putih dan Panji Mapala UI di Puncak Aconcagua. Ya, puncak tertinggi Amerika Selatan itu hanya tinggal 200 meter lagi! Meski semangat terus membara, namun gerak tubuh itu kian perlahan. Sekilas ia teringat Didiek Samsu, yang juga keletihan dan kini beristirahat tak jauh di bawahnya. Lalu terbayang wajah mungil Melati, anaknya. Karina, isterinya. Juga wajah-wajah keluarga yang dicintainya. Serta para sahabatnya yang sering menyuruhnya kembali. Ia pun meringis.. 'Aku akan sampai ke puncak. Kini aku akan istirahat sejenak,' pikirnya. Tak lama kemudian matanyapun terpejam. Rasa letih dan kantuk itu telah membiusnya dan mengantarkan jiwanya ke puncak."
Pada pertengahan April 1992, musibah yang menimpa Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Benua-Mapala UI dengan dua korban tewas--Norman Edwin dan Didiek Samsu--menyedot perhatian banyak kalangan di Tanah Air. Terutama dari para penggiat olahraga alam bebas. Pun begitu dengan banyak rekanku di Kota Kembang. Siapa sih petualang di Indonesia yang saat itu tak mengenal Bang Norman? Entah itu mengenal secara dekat maupun cukup mendengar namanya yang kondang. Beragam jenis petualangan diakrabinya, dari pendakian hingga pelayaran. Namanya hanya kurang terdengar dalam terjun payung dan penyelaman. Ketika itu bila orang membicarakan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), ingatan selalu tertuju pada sosok besar: Norman Edwin.
Itu memang sudah berlalu empat belas tahun. Dan kini ingatanku melayang kepada suatu rencana yang tak sampai terlaksana berkaitan dengan kematian Sang Suhu. Ketika itu dosenku yang mengajar mata kuliah Arkeologi berencana mengajak Norman menularkan ilmu petualangan dan penelitian kepada kami, aku dan teman-teman. Sekaligus menjembatani kegiatan bersama antara mahasiswa Sejarah Unpad dan Arkeologi UI, terlebih Bang Norman sempat kuliah selama dua tahun di Sejarah Unpad sebelum akhirnya pindah ke UI. Sayang memang, Bang Norman keburu pergi. Kendati demikian, saat itu hingga sekarang, filosofinya tentang hidup dan berpetualang tetap menyala di hati ini.(Pendaki Sunyi)
BUKU berukuran 12 x 19 sentimeter itu menyempil di antara tumpukan buku lainnya di salah satu rak sebuah toko buku terkemuka di Kota Depok, Jawa Barat. Warna biru memang cepat tertangkap pandanganku. Terbaca judul JEJAK SANG BERUANG GUNUNG: Hidup dan Petualangan Norman Edwin. Buku berukuran seperti novel ini dikarang oleh Ganezh dengan tahun terbit 2006. Tatapanku kemudian tertuju pada lembar-lembar awal:
"Siang itu tanggal 20 Maret 1992. Di sana, di hamparan salju putih, sesosok tubuh tinggi besar sedang berjuang keras melintasi tanjakan dengan kemiringan 40 derajat pada ketinggian 6.700 meter. Niatnya sudah bulat. Ia akan mengibarkan Sang Merah Putih dan Panji Mapala UI di Puncak Aconcagua. Ya, puncak tertinggi Amerika Selatan itu hanya tinggal 200 meter lagi! Meski semangat terus membara, namun gerak tubuh itu kian perlahan. Sekilas ia teringat Didiek Samsu, yang juga keletihan dan kini beristirahat tak jauh di bawahnya. Lalu terbayang wajah mungil Melati, anaknya. Karina, isterinya. Juga wajah-wajah keluarga yang dicintainya. Serta para sahabatnya yang sering menyuruhnya kembali. Ia pun meringis.. 'Aku akan sampai ke puncak. Kini aku akan istirahat sejenak,' pikirnya. Tak lama kemudian matanyapun terpejam. Rasa letih dan kantuk itu telah membiusnya dan mengantarkan jiwanya ke puncak."
Pada pertengahan April 1992, musibah yang menimpa Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Benua-Mapala UI dengan dua korban tewas--Norman Edwin dan Didiek Samsu--menyedot perhatian banyak kalangan di Tanah Air. Terutama dari para penggiat olahraga alam bebas. Pun begitu dengan banyak rekanku di Kota Kembang. Siapa sih petualang di Indonesia yang saat itu tak mengenal Bang Norman? Entah itu mengenal secara dekat maupun cukup mendengar namanya yang kondang. Beragam jenis petualangan diakrabinya, dari pendakian hingga pelayaran. Namanya hanya kurang terdengar dalam terjun payung dan penyelaman. Ketika itu bila orang membicarakan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), ingatan selalu tertuju pada sosok besar: Norman Edwin.
Itu memang sudah berlalu empat belas tahun. Dan kini ingatanku melayang kepada suatu rencana yang tak sampai terlaksana berkaitan dengan kematian Sang Suhu. Ketika itu dosenku yang mengajar mata kuliah Arkeologi berencana mengajak Norman menularkan ilmu petualangan dan penelitian kepada kami, aku dan teman-teman. Sekaligus menjembatani kegiatan bersama antara mahasiswa Sejarah Unpad dan Arkeologi UI, terlebih Bang Norman sempat kuliah selama dua tahun di Sejarah Unpad sebelum akhirnya pindah ke UI. Sayang memang, Bang Norman keburu pergi. Kendati demikian, saat itu hingga sekarang, filosofinya tentang hidup dan berpetualang tetap menyala di hati ini.(Pendaki Sunyi)
Komentar
Posting Komentar