BANJIR DAN SENDA GURAU ITU

MALAM ini malam kelima musibah banjir siklus 30 tahunan (seperti dikatakan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto) mendera sebagian wilayah Jakarta dan sekitarnya. Lebih dari 200 ribu orang pun terpaksa mengungsi meninggalkan rumah mereka yang tergenang, bahkan kelelep banjir bandang. Sejak Jumat silam, jalanan banyak tergenang air atau sama sekali tak bisa dilewati. Praktis, kemacetan ada di mana-mana dan gilanya berlangsung hingga tengah malam. Dan hingga Senin ini banyak orang yang tak pergi bekerja lantaran turut mengungsi ataupun terjebak banjir yang mengepung Jakarta. Denyut perekonomian di ibu kota republik ini pun seakan lumpuh dalam beberapa hari terakhir.

Luapan sebagian besar sungai dari belasan sungai yang membelah Ibu Kota kali ini mengulangi kejadian serupa pada tahun 1996 dan 2002. Bahkan ada yang mengatakan lebih dahsyat. Ini mungkin dilihat dari bejibunnya orang mengungsi dan dampak kerusakan yang ditimbulkan air bah. Adapun pada lima tahun silam, banjir besar menelan korban jiwa sekitar 30 orang dan menyebabkan seratus ribu lebih warga berdiam di pengungsian.

Jumlah korban tewas kali ini memang mendekati tahun 2002. Setidaknya hingga hari ini sedikitnya 20 jiwa melayang, baik itu tersengat listrik, kedinginan, hingga terseret arus banjir yang memang sangat deras karena diperparah banjir kiriman dari kota hujan Bogor.

Penderitaan semakin lengkap ketika banyak sambungan listrik, telepon, dan air bersih yang tak mengalir. Gelap gulita pun menyergap banyak kawasan, bahkan yang tak kebanjiran sekalipun. Dan di saat seperti itulah, banyak orang korban banjir berjuang menyelamatkan diri dan anggota keluarga masing-masing dari kepungan banjir. Ada yang bertahan di loteng dan atap rumah.

Segala kesusahan itu harus ditanggung bukan saja oleh penduduk langganan banjir, warga di kawasan yang tadinya relatif aman dari bah pun turut merasakan penderitaan. Ini bisa terjadi karena hujan begitu deras mengguyur, terutama saat Kamis dan Jumat, sedangkan banjir bandang kiriman datang begitu cepat dari Bogor. Belum lagi bulan sedang purnama sehingga laut di Teluk Jakarta pasang. Pintu bendungan di perbatasan selatan dan pusat Ibu Kota terpaksa dibuka. Selanjutnya, ketinggian air semakin cepat naik dan deras. Menghadapi itu semua, warga jelas tak siap.

Bagi korban banjir yang cepat mengungsi langsung disergap kelaparan dan dingin menusuk. Sebaliknya, warga yang tak sigap atau enggan mengungsi nyaris putus asa karena kepungan air. Mereka tidak bisa berbuat banyak, terlebih perahu karet yang dinanti tak kunjung tiba. Jumlah perahu karet memang minim. Dan bila berhasil dievakuasi, para pengungsi juga menghadapi kenyataan lambannya distribusi bantuan makanan dan obat-obatan.

Sang Kepala Daerah pun dituding lambat memberikan peringatan kedatangan banjir. Apalagi, dua bulan sebelumnya, ia sempat berkata agar penduduknya tak perlu khawatir karena banjir besar tak bakal datang. Di sisi lain, pemimpin negeri ini selama dua hari segera mengunjungi beberapa lokasi banjir. Sang penguasa pun menyalurkan sekian kendaraan berisi makanan dan obat-obatan. Tindakan ini memang sudah semestinya dan harusnya seluruh pejabat mengikutinya.

Sangat kontras memang bila dibandingkan saat rapat antara wakil penguasa negeri dan pejabat pengamat cuaca yang membahas soal banjir justru diselingi tawa lebar alias senda gurau. Kejadian tak patut ditiru ini terjadi kemarin. Dan entah sampai kapan seluruh petinggi negeri ini benar-benar berempati terhadap segala bencana yang seakan tak surut menerpa di Tanah Air tercinta ini?(ANS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)