DAN JEMBATAN GANTUNG ITU KEMBALI PATAH
MALAM minggu sehabis pulang kerja, aku melihat kondisi banjir di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Dari kejauhan, jalanan aspal menurun di daerah belakang stasiun itu tampak gelap karena aliran listrik padam. Banyak pengungsi korban banjir dan warga lalu lalang. "Ada sekitar dua ribu pengungsi," ungkap kawanku, relawan salah satu instansi negara. "Dan kurang diekspos stasiun televisi, nih," imbuhnya sembari pamit hendak mengkoordinasikan rekan-rekannya dari sejumlah lembaga atau organisasi. Dua hari itu, ia memang sibuk. Ia pun segera membaur di tengah relawan lainnya.
Aku pun turun ke bawah menuju permukiman di bantaran Kali Ciliwung yang kelelep banjir. Ternyata, lidah air bah kali ini sudah menyentuh warung Bang Oman. Ini berarti lebih parah ketimbang banjir besar pada tahun 1996. Tak lama kemudian, aku mendengar kabar jembatan gantung yang menghubungkan kawasan Pejaten Timur dan Condet, Jakarta Timur, putus diterjang banjir. "Jembatan patah tadi sore. Kejadian ini seperti tahun 1996," kata seorang tukang ojek yang mengaku dirinya untuk kesekian kali menjadi korban banjir.
Sementara di ujung luapan air Kali Ciliwung, disesaki ratusan orang. Mereka tertahan belasan polisi yang berjaga-jaga di sana mencegah warga yang hendak nekat menerobos arus sungai yang sedang deras-derasnya. Mungkin, pihak kepolisian belajar dari pengalaman tahun 1996, di mana saat itu banyak warga nekat berenang menuju rumah kontrakan mereka yang terendam bahkan tenggelam.
Kala itu ada kejadian dramatis. Seorang lelaki separuh baya nekat berenang menuju rumah sewaannya yang terendam hanya untuk menyelamatkan hartanya. Namun dia tak bisa kembali karena arus banjir bandang begitu deras dan rumahnya hampir tenggelam. Ia hanya bisa memeluk karung plastik di atap rumahnya, belakangan diketahui berisi uang kertas hasil jerih payahnya berdagang sayuran di pasar. Untunglah ketika itu beberapa anggota tim SAR Marinir TNI AL dan sejumlah warga memberanikan diri berenang menyelamatkan lelaki tersebut. Upaya ini pun berhasil.
Banjir sebelas tahun silam itu memang dahsyat, sampai-sampai jembatan gantung yang dibangun pertama kali pada zaman kolonial Belanda tersebut patah dan hampir hanyut kalau saja kawat bajanya turut putus. Kejadian terulang saat banjir pada tahun 2002, hanya saja kerusakan tak separah enam tahun sebelumnya. Dan kini jembatan gantung yang cuma bisa dilewati pejalan kaki dan kendaraan roda dua itu putus lagi.
Tak hanya jembatan gantung yang rawan dihantam banjir bandang. Permukiman di bantaran Kali Ciliwung di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur itu juga rawan. Setiap saat para penghuni permukiman yang terbilang kumuh itu terancam banjir. Kendati demikian, mereka yang sebagian besar terdiri dari pedagang sayuran dan rakyat kecil tersebut tak dapat pindah dari lingkungan itu. Mereka terpaksa memilih berdiam di sana lantaran sewa yang jauh lebih murah.
Ironis memang. Padahal setahuku, dahulunya permukiman itu tak berpenghuni karena merupakan tepian sungai. Malah ada beberapa kapling yang dulunya masih menjadi bagian dari sungai. Namun oleh sejumlah warga, bantaran sungai itu ditinggikan dan dipadatkan untuk dijadikan kapling buat membangun kontrakan.
Hanya, "reklamasi" sungai itu teramat sederhana dan mengundang bahaya. Betapa tidak, bahan buat meninggikan dan memadatkan bantaran sungai adalah tumpukan sampah atau benda yang dijaring dari sungai. Rincinya, benda atau sampah yang hanyut di Kali Ciliwung dikumpulkan di tepian. Selanjutnya setelah terkumpul banyak atau membentuk suatu gundukan barulah dipadatkan dengan lumpur. Setelah kering barulah diuruk tanah hingga dapat dibuat bangunan di atasnya. Nah, begitulah proses reklamasi tersebut.
Boleh jadi, reklamasi di bantaran sungai tak hanya terjadi di lokasi tersebut. Bila ditelisik, banyak lokasi serupa dari Bogor, Tangerang hingga Jakarta. Kini tindakan nyata perlu diambil pihak berwenang, terutama agar korban tak lagi berjatuhan. Terlebih, bukan hanya banjir yang menjadi ancaman. Coba bayangkan, bila jembatan gantung itu hanyut dan menimpa rumah-rumah di bantaran sungai tersebut. Korban jiwa tentu lebih besar lagi, bukan?
Walau demikian, penertiban atau penggusuran tak boleh dilakukan secara terburu-buru. Ada baiknya dicarikan solusi terbaik, misalnya dengan mendirikan rumah susun yang agak jauh dari bantaran sungai. Ah, andai aku ini Gubernur DKI Jakarta...(ANS)
MALAM minggu sehabis pulang kerja, aku melihat kondisi banjir di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Dari kejauhan, jalanan aspal menurun di daerah belakang stasiun itu tampak gelap karena aliran listrik padam. Banyak pengungsi korban banjir dan warga lalu lalang. "Ada sekitar dua ribu pengungsi," ungkap kawanku, relawan salah satu instansi negara. "Dan kurang diekspos stasiun televisi, nih," imbuhnya sembari pamit hendak mengkoordinasikan rekan-rekannya dari sejumlah lembaga atau organisasi. Dua hari itu, ia memang sibuk. Ia pun segera membaur di tengah relawan lainnya.
Aku pun turun ke bawah menuju permukiman di bantaran Kali Ciliwung yang kelelep banjir. Ternyata, lidah air bah kali ini sudah menyentuh warung Bang Oman. Ini berarti lebih parah ketimbang banjir besar pada tahun 1996. Tak lama kemudian, aku mendengar kabar jembatan gantung yang menghubungkan kawasan Pejaten Timur dan Condet, Jakarta Timur, putus diterjang banjir. "Jembatan patah tadi sore. Kejadian ini seperti tahun 1996," kata seorang tukang ojek yang mengaku dirinya untuk kesekian kali menjadi korban banjir.
Sementara di ujung luapan air Kali Ciliwung, disesaki ratusan orang. Mereka tertahan belasan polisi yang berjaga-jaga di sana mencegah warga yang hendak nekat menerobos arus sungai yang sedang deras-derasnya. Mungkin, pihak kepolisian belajar dari pengalaman tahun 1996, di mana saat itu banyak warga nekat berenang menuju rumah kontrakan mereka yang terendam bahkan tenggelam.
Kala itu ada kejadian dramatis. Seorang lelaki separuh baya nekat berenang menuju rumah sewaannya yang terendam hanya untuk menyelamatkan hartanya. Namun dia tak bisa kembali karena arus banjir bandang begitu deras dan rumahnya hampir tenggelam. Ia hanya bisa memeluk karung plastik di atap rumahnya, belakangan diketahui berisi uang kertas hasil jerih payahnya berdagang sayuran di pasar. Untunglah ketika itu beberapa anggota tim SAR Marinir TNI AL dan sejumlah warga memberanikan diri berenang menyelamatkan lelaki tersebut. Upaya ini pun berhasil.
Banjir sebelas tahun silam itu memang dahsyat, sampai-sampai jembatan gantung yang dibangun pertama kali pada zaman kolonial Belanda tersebut patah dan hampir hanyut kalau saja kawat bajanya turut putus. Kejadian terulang saat banjir pada tahun 2002, hanya saja kerusakan tak separah enam tahun sebelumnya. Dan kini jembatan gantung yang cuma bisa dilewati pejalan kaki dan kendaraan roda dua itu putus lagi.
Tak hanya jembatan gantung yang rawan dihantam banjir bandang. Permukiman di bantaran Kali Ciliwung di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur itu juga rawan. Setiap saat para penghuni permukiman yang terbilang kumuh itu terancam banjir. Kendati demikian, mereka yang sebagian besar terdiri dari pedagang sayuran dan rakyat kecil tersebut tak dapat pindah dari lingkungan itu. Mereka terpaksa memilih berdiam di sana lantaran sewa yang jauh lebih murah.
Ironis memang. Padahal setahuku, dahulunya permukiman itu tak berpenghuni karena merupakan tepian sungai. Malah ada beberapa kapling yang dulunya masih menjadi bagian dari sungai. Namun oleh sejumlah warga, bantaran sungai itu ditinggikan dan dipadatkan untuk dijadikan kapling buat membangun kontrakan.
Hanya, "reklamasi" sungai itu teramat sederhana dan mengundang bahaya. Betapa tidak, bahan buat meninggikan dan memadatkan bantaran sungai adalah tumpukan sampah atau benda yang dijaring dari sungai. Rincinya, benda atau sampah yang hanyut di Kali Ciliwung dikumpulkan di tepian. Selanjutnya setelah terkumpul banyak atau membentuk suatu gundukan barulah dipadatkan dengan lumpur. Setelah kering barulah diuruk tanah hingga dapat dibuat bangunan di atasnya. Nah, begitulah proses reklamasi tersebut.
Boleh jadi, reklamasi di bantaran sungai tak hanya terjadi di lokasi tersebut. Bila ditelisik, banyak lokasi serupa dari Bogor, Tangerang hingga Jakarta. Kini tindakan nyata perlu diambil pihak berwenang, terutama agar korban tak lagi berjatuhan. Terlebih, bukan hanya banjir yang menjadi ancaman. Coba bayangkan, bila jembatan gantung itu hanyut dan menimpa rumah-rumah di bantaran sungai tersebut. Korban jiwa tentu lebih besar lagi, bukan?
Walau demikian, penertiban atau penggusuran tak boleh dilakukan secara terburu-buru. Ada baiknya dicarikan solusi terbaik, misalnya dengan mendirikan rumah susun yang agak jauh dari bantaran sungai. Ah, andai aku ini Gubernur DKI Jakarta...(ANS)
Komentar
Posting Komentar