MURKA GELOMBANG

PAGI masih buta sekali tatkala samudra yang biasanya ramah itu mengganas. Lidah gelombangnya menyapu semua yang ada di bibir banyak pantai di pesisir selatan negeri ini. Tak peduli pondok milik si miskin maupun sang berdasi. Semua dihantam, semuanya diterjang. Sebuah lidah gelombang melebihi atap rumah, lidah lainnya bahkan nyaris mencapai tinggi pohon kelapa. Jerit tangis dan panik berbaur suara orang banyak berlari. Bukan tsunami memang, namun murka gelombang laut toh menghancurkan banyak pondok reot maupun gemerlap, baik perkampungan orang laut ataupun hunian rehat kaum pelancong berkantong tebal.

Tak banyak jiwa-jiwa yang melayang. Ini mungkin lantaran banyak penduduk negeri ini yang terpaksa bersahabat dengan bencana. Maklum, negeri ini berjuluk tak resmi: Negeri Bencana. Ironis, sungguh ironis. Padahal semenjak negeri ini dikenal dengan sebutan Nusantara, para kawula tersohor ramah kepada sesama makhluk hidup maupun bersahabat dengan alam. Tak berlebihan bila disebut nenek moyang negeri ini memahami bahasa alam, alam yang tak lain Bumi Pertiwi itu sendiri.

Dan sebuah lantunan milik seorang seniman bangsa ini pun lamat-lamat terdengar:

...Seringkali aku tak mampu menangkap / Isyaratmu lewat cuaca / Matahari, ombak di laut / Sering membisikkan yang bakal terjadi / Kadangkala aku memilih berdusta / Menghianati suara hati / Sesungguhnya kejujuran / Dapat menangkal semua malapetaka / Mari kita mencoba / Bersahabat dengan alam / Bumi, langit dan matahari / Bahasa mereka kita pelajari / Tentunya dengan kalimat jiwa yang rahasia / Tuhan menghendaki kita pelihara / Bumi beserta seluruh isinya / Untuk itu kita harus memahami / Bahasa matahari / Sesungguhnya aku tak mampu menjawab / Ketika anakku bertanya / Ke manakah angin berhembus? / Seberapa banyakkah tempat berteduh? / Mari kita mencoba / Bersahabat dengan alam / Bumi, langit dan matahari / Bahasa mereka kita pelajari / Tentunya dengan kalimat jiwa yang rahasia / Tuhan menghendaki kita pelihara / Bumi beserta seluruh isinya / Untuk itu kita harus belajar / Bahasanya semak belukar / Untuk itu kita harus memahami / Bahasa matahari.... *

* Bahasa Matahari (Ebiet G. Ade/2001)

(ANS/Celoteh Anak Bangsa)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)