DIPAKSA GOLPUT
MENJELANG perhelatan nasional, pemilu legislatif 9 April nanti, ternyata banyak permasalahan mencuat. Sebut saja dari kertas suara rusak, logistik pemilu terlambat hingga daftar pemilih tetap atau DPT yang bermasalah. Belum lagi soal keterlambatan laporan rekening dana kampanye sejumlah partai politik.
Sejumlah elite partai politik yang baru, terutama yang mengajukan diri sebagai calon presiden, pun khawatir. Boleh jadi mereka cemas upaya keras selama ini untuk menggalang dukungan, terutama dari kalangan akar rumput atau wong cilik, bakal sia-sia.
Wacana penundaan pemilu pun bergulir, tapi penyelenggara pesta demokrasi (KPU) bersikukuh pemilu tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Toh, tudingan tetap mengarah kepada KPU. Belum lagi sejumlah keputusan yang dikeluarkan KPU dianggap melanggar undang-undang. Ini jelas bukan tudingan main-main.
Dan, ini jelas menjadi makanan empuk bagi media massa elektronik maupun cetak. Pers pun rajin memberitakan kesemrawutan DPT dan sejumlah masalah tersebut. Kendati demikian, lagi-lagi KPU seolah bermoto The Show Must Go On. Komisi ini pun menjanjikan segala permasalahan dapat terselesaikan sebelum hari pencontrengan dimulai.
Soal akurasi dalam penetapan DPT memang dipertanyakan. Sebab, seperti pemberitaan di layar televisi dan halaman suratkabar maupun majalah, banyak DPT yang memang bermasalah di banyak daerah. Sebagai contoh, ada bayi dan orang yang sudah meninggal mendapat DPT. Pun demikian dengan anggota TNI dan Polri, ada yang mendapat DPT, padahal mereka tak mempunyai hak memilih. Sedangkan ada banyak warga negara yang seharusnya mempunyai hak pilih justru tak terdaftar.
Ini jelas ajaib. Di mana akurasi dan proses validasi ditempatkan dalam perhelatan akbar yang sangat menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan? Terlebih, komisi itu sempat meminta anggaran sebesar Rp 47,9 triliun.
Sebagai gambaran, Maret silam, KPU menetapkan jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 sebesar 171.265.442 orang. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2004 yang mencapai sekitar 153,3 juta pemilih. Peserta pemilu tahun ini pun lebih besar, yakni mencapai 44 parpol, termasuk enam partai lokal di Aceh. Sedangkan pada Pemilu 2004 hanya sebanyak 24 parpol.
Akurasi data pemilih ibarat pepatah jauh panggang dari api. Hal itu sebenarnya bisa dibereskan segera bila memang KPU berniat dan bersungguh-sungguh. Bila tidak, jangan salahkan bila kelak banyak pihak menggugat. Dan bukan tak mungkin, tudingan manipulasi politik ditujukan kepada KPU.
Ataukah, ada "tangan-tangan gaib" yang memang sengaja memanipulasi data pemilih demi kepentingan kelompok atau golongannya? Boleh jadi, mereka takut dengan potensi golongan putih alias golput yang diprediksi bisa mencapai angka 30 persen--jumlah yang melebihi syarat pencalonan seorang capres. Angka 30 ini diperoleh dari perbandingan di sejumlah pilkada, terutama daerah yang padat penduduk.
Namun manipulasi itu, kalau memang benar adanya, justru dapat menyuburkan potensi golput di masa mendatang. Mereka yang hak pilihnya "dicerabut" lantaran kekacauan pendataan bisa berubah menjadi golput pada pemilu mendatang. Logika sederhananya, mereka dipaksa menjadi golput oleh ketidakberesan pemuktahiran data pemilih di negeri yang serba "ajaib" ini. Mendata saja tak becus, bagaimana menghitung hasil pemilihan nanti?(ANS/Berbagai sumber dan pengamatan)
MENJELANG perhelatan nasional, pemilu legislatif 9 April nanti, ternyata banyak permasalahan mencuat. Sebut saja dari kertas suara rusak, logistik pemilu terlambat hingga daftar pemilih tetap atau DPT yang bermasalah. Belum lagi soal keterlambatan laporan rekening dana kampanye sejumlah partai politik.
Sejumlah elite partai politik yang baru, terutama yang mengajukan diri sebagai calon presiden, pun khawatir. Boleh jadi mereka cemas upaya keras selama ini untuk menggalang dukungan, terutama dari kalangan akar rumput atau wong cilik, bakal sia-sia.
Wacana penundaan pemilu pun bergulir, tapi penyelenggara pesta demokrasi (KPU) bersikukuh pemilu tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Toh, tudingan tetap mengarah kepada KPU. Belum lagi sejumlah keputusan yang dikeluarkan KPU dianggap melanggar undang-undang. Ini jelas bukan tudingan main-main.
Dan, ini jelas menjadi makanan empuk bagi media massa elektronik maupun cetak. Pers pun rajin memberitakan kesemrawutan DPT dan sejumlah masalah tersebut. Kendati demikian, lagi-lagi KPU seolah bermoto The Show Must Go On. Komisi ini pun menjanjikan segala permasalahan dapat terselesaikan sebelum hari pencontrengan dimulai.
Soal akurasi dalam penetapan DPT memang dipertanyakan. Sebab, seperti pemberitaan di layar televisi dan halaman suratkabar maupun majalah, banyak DPT yang memang bermasalah di banyak daerah. Sebagai contoh, ada bayi dan orang yang sudah meninggal mendapat DPT. Pun demikian dengan anggota TNI dan Polri, ada yang mendapat DPT, padahal mereka tak mempunyai hak memilih. Sedangkan ada banyak warga negara yang seharusnya mempunyai hak pilih justru tak terdaftar.
Ini jelas ajaib. Di mana akurasi dan proses validasi ditempatkan dalam perhelatan akbar yang sangat menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan? Terlebih, komisi itu sempat meminta anggaran sebesar Rp 47,9 triliun.
Sebagai gambaran, Maret silam, KPU menetapkan jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 sebesar 171.265.442 orang. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2004 yang mencapai sekitar 153,3 juta pemilih. Peserta pemilu tahun ini pun lebih besar, yakni mencapai 44 parpol, termasuk enam partai lokal di Aceh. Sedangkan pada Pemilu 2004 hanya sebanyak 24 parpol.
Akurasi data pemilih ibarat pepatah jauh panggang dari api. Hal itu sebenarnya bisa dibereskan segera bila memang KPU berniat dan bersungguh-sungguh. Bila tidak, jangan salahkan bila kelak banyak pihak menggugat. Dan bukan tak mungkin, tudingan manipulasi politik ditujukan kepada KPU.
Ataukah, ada "tangan-tangan gaib" yang memang sengaja memanipulasi data pemilih demi kepentingan kelompok atau golongannya? Boleh jadi, mereka takut dengan potensi golongan putih alias golput yang diprediksi bisa mencapai angka 30 persen--jumlah yang melebihi syarat pencalonan seorang capres. Angka 30 ini diperoleh dari perbandingan di sejumlah pilkada, terutama daerah yang padat penduduk.
Namun manipulasi itu, kalau memang benar adanya, justru dapat menyuburkan potensi golput di masa mendatang. Mereka yang hak pilihnya "dicerabut" lantaran kekacauan pendataan bisa berubah menjadi golput pada pemilu mendatang. Logika sederhananya, mereka dipaksa menjadi golput oleh ketidakberesan pemuktahiran data pemilih di negeri yang serba "ajaib" ini. Mendata saja tak becus, bagaimana menghitung hasil pemilihan nanti?(ANS/Berbagai sumber dan pengamatan)
Komentar
Posting Komentar