#
SERIAL WALI SONGO
#
I. SUNAN KALIJAGA: Antara Dakwah dan Seni
SUNAN Kalijaga mungkin dapat mengalami nasib mengenaskan seperti Syekh Siti Jenar yang diadili para wali lantaran dianggap menyebarkan ajaran sesat. Akan tetapi, anggota Wali Songo ini dapat berkelit. Di hadapan sidang para wali di Masjid Demak, Jawa Tengah, Sunan yang bernama asli Raden Mas Said ini menyanggah segala tudingan yang mengarah kepada dirinya. Murid Sunan Bonang ini dituduh mengajarkan dan menghidupkan kembali mistik Jawa dalam berdakwah. Dalam pembelaannya, putra Adipati Tuban Arya Wilantika atau Tumenggung Wilantika yang masih keturunan Ronggolawe--bangsawan Majapahit yang memberontak--ini mengaku lebih mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga mementingkan agar orang Jawa terlebih dahulu memeluk agama Islam. Setelah itu, baru ia mengajarkan syariat Islam yang sebenarnya. Akhirnya, pembelaan dari satu-satunya sunan pribumi ini dapat diterima delapan wali lainnya.
Di antara anggota Wali Songo lainnya, Sunan Kalijaga memang boleh dibilang tokoh kontroversial dan flamboyan. Kendati demikian, pada masanya, setiap kalangan jelas mengakui kepintarannya memadukan unsur dakwah dengan seni budaya yang berkembang di tengah masyarakat Jawa. Satu di antaranya, dia kerap menggelar pergelaran wayang kulit semalam suntuk di tengah masyarakat. Dengan memanfaatkan integritas diri penuh kharismatis dia menuntun para pemeluk agama Hindu maupun Buddha untuk beralih ke agama baru nan damai, yaitu Islam. Tanpa keraguan, dia meminta para penonton pertunjukan wayang kulit yang didalanginya untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai syarat permulaan. Dia pun membuat hiasan pada tokoh wayang dengan kaligrafi. Tak cuma itu, Sunan Kalijaga yang kerap memakai sorban dan pakaian hitam ini sering mengambil tema cerita yang bernuansa Islami.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 M. Nama kecilnya adalah Raden Mas Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Dan beragam versi juga menyertai asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon, Jawa Barat, misalnya, berpendapat bahwa nama itu berasal dari Dusun Kalijaga di Cirebon. Apalagi, Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Sedangkan kalangan Suku Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (kungkum) di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada pula orang yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab: qadli dzaqa yang menunjuk statusnya sebagai penghulu suci di beberapa kasultanan atau kerajaan.
Raden Mas Said mula-mula berguru kepada Sunan Bonang seorang wali yang menyadarkannya dari jalan kesesatan. Kemudian dia berguru kepada Dara Petak di Palembang, Sumatra Selatan. Dia lalu mengaji pada kitab-kitab yang ditulis oleh Syeikh Sutabris atau Syamsuddin Ath-Thabrizi, seorang ulama Persia terkenal yang bertalian erat dengan riwayat hidup Jalaluddin Rumi (wafat tahun 1273 M).
Semasa kecil, Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said memang boleh dibilang bengal meski tergolong orang yang memperhatikan rakyat jelata. Apalagi, saat itu, adalah zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Banyak penduduk yang menderita dan sengsara. Dari perampokan yang merajalela hingga rakyat kecil yang harus membayar pajak. Sayangnya, hasil pungutan pajak sebagian besar diambil oleh para pejabat dan tak disetorkan kepada kerajaan. Kondisi wong cilik yang sangat menderita itu menggerakkan hati dan perbuatan Raden Said. Predikat sebagai anak seorang adipati pun diabaikannya. Lantas, ia turun tangan agar orang-orang miskin tidak kelaparan dengan cara membongkar gudang-gudang para penguasa dan pejabat di malam hari, lalu hasilnya diletakkan di depan pintu rumah orang-orang miskin.
Namun, ulah Sunan Kalijaga akhirnya ketahuan dengan seringnya tiap malam membongkar gudang-gudang. Sunan Kalijaga lalu dibawa ke ayahnya Tumenggung Wilantika yang menjadi penguasa saat itu. Kemudian Sunan Kalijaga mendapat hukuman dari ayahnya. Tak lama kemudian, ia segera menyendiri ke sebuah hutan. Nah, di sinilah dia bertemu dengan seorang kakek tua (Sunan Bonang). Maka, ia mendapat gemblengan dan belajar banyak ilmu dari Sunan Bonang. Termasuk bersemedi menunggu tongkat yang ditancapkan oleh Sunan Bonang di suatu sungai. Maka dari itu ia dikenal dengan nama Sunan Kalijaga yang artinya penjaga kali.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun--bahkan ada yang menyebut Sunan Kalijaga berusia hingga 131 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kasultanan Demak, Kasultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang dibentuk pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang Tatal (pecahan kayu) yang merupakan satu di antara tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Saat berdakwah, Sunan Kalijaga mempunyai pola serupa dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Faham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf dan bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Dia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Makanya ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju Takwa, perayaan Sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga disebut-sebut sebagai guru dari Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, Ki Ageng Pemanahan, dan Penjawi. Karenanya peranan politik Sunan Kalijaga berpengaruh dalam pemerintahan di Kerajaan Pajang dan Mataram. Hingga kini, pengaruh Sunan Kalijaga masih kental mewarnai acara-acara keagamaan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Solo, dan Puri Mangkunegaraan.
Memang, metode dakwah tersebut sangat efektif. Buktinya, sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui bimbingan Sunan Kalijaga. Sebut saja, Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang--sekarang Kotagede, Yogya. Meski Sunan Kalijaga yang paling muda saat diangkat sebagai wali, beliau memiliki ilmu paling tinggi dan usianya paling panjang di antara wali lainnya. Sunan Kalijaga dikabarkan pula menyiarkan agama Islam dengan berkelana dan keliling dari desa yang satu ke desa lainnya. Dalam berdakwah ia memadukan dengan kesenian, di antaranya tembang ciptannya adalah "Dandhang Gula" dan "Ilir-Ilir".
Setelah mencurahkan pikiran dan perasaan bagi perkembangan Islam di Pulau Jawa, terutama pesisir utara, Sunan Kalijaga akhirnya wafat pada tahun 1586. Sesuai amanatnya, jasad Sunan Nyentrik ini dikuburkan di Desa Kadilangu, sebelah selatan Demak. Sedangkan putra Sunan Kalijaga juga menjadi anggota Wali Songo, yaitu Sunan Muria.
Meski telah lama meninggal dunia, para penziarah hingga kini masih mendatangi kuburan Sunan Kalijaga. Begitu pula sejumlah petilasannya di berbagai tempat di Pulau Jawa. Memang banyak mitos dan kepercayaan yang masih memayungi Sunan Kalijaga menyusul keluasan ilmu yang dimiliki beliau. Wallahu `Alam.(ANS/Dari Berbagai Sumber)
SERIAL WALI SONGO
#
I. SUNAN KALIJAGA: Antara Dakwah dan Seni
SUNAN Kalijaga mungkin dapat mengalami nasib mengenaskan seperti Syekh Siti Jenar yang diadili para wali lantaran dianggap menyebarkan ajaran sesat. Akan tetapi, anggota Wali Songo ini dapat berkelit. Di hadapan sidang para wali di Masjid Demak, Jawa Tengah, Sunan yang bernama asli Raden Mas Said ini menyanggah segala tudingan yang mengarah kepada dirinya. Murid Sunan Bonang ini dituduh mengajarkan dan menghidupkan kembali mistik Jawa dalam berdakwah. Dalam pembelaannya, putra Adipati Tuban Arya Wilantika atau Tumenggung Wilantika yang masih keturunan Ronggolawe--bangsawan Majapahit yang memberontak--ini mengaku lebih mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga mementingkan agar orang Jawa terlebih dahulu memeluk agama Islam. Setelah itu, baru ia mengajarkan syariat Islam yang sebenarnya. Akhirnya, pembelaan dari satu-satunya sunan pribumi ini dapat diterima delapan wali lainnya.
Di antara anggota Wali Songo lainnya, Sunan Kalijaga memang boleh dibilang tokoh kontroversial dan flamboyan. Kendati demikian, pada masanya, setiap kalangan jelas mengakui kepintarannya memadukan unsur dakwah dengan seni budaya yang berkembang di tengah masyarakat Jawa. Satu di antaranya, dia kerap menggelar pergelaran wayang kulit semalam suntuk di tengah masyarakat. Dengan memanfaatkan integritas diri penuh kharismatis dia menuntun para pemeluk agama Hindu maupun Buddha untuk beralih ke agama baru nan damai, yaitu Islam. Tanpa keraguan, dia meminta para penonton pertunjukan wayang kulit yang didalanginya untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai syarat permulaan. Dia pun membuat hiasan pada tokoh wayang dengan kaligrafi. Tak cuma itu, Sunan Kalijaga yang kerap memakai sorban dan pakaian hitam ini sering mengambil tema cerita yang bernuansa Islami.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 M. Nama kecilnya adalah Raden Mas Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Dan beragam versi juga menyertai asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon, Jawa Barat, misalnya, berpendapat bahwa nama itu berasal dari Dusun Kalijaga di Cirebon. Apalagi, Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Sedangkan kalangan Suku Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (kungkum) di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada pula orang yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab: qadli dzaqa yang menunjuk statusnya sebagai penghulu suci di beberapa kasultanan atau kerajaan.
Raden Mas Said mula-mula berguru kepada Sunan Bonang seorang wali yang menyadarkannya dari jalan kesesatan. Kemudian dia berguru kepada Dara Petak di Palembang, Sumatra Selatan. Dia lalu mengaji pada kitab-kitab yang ditulis oleh Syeikh Sutabris atau Syamsuddin Ath-Thabrizi, seorang ulama Persia terkenal yang bertalian erat dengan riwayat hidup Jalaluddin Rumi (wafat tahun 1273 M).
Semasa kecil, Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said memang boleh dibilang bengal meski tergolong orang yang memperhatikan rakyat jelata. Apalagi, saat itu, adalah zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Banyak penduduk yang menderita dan sengsara. Dari perampokan yang merajalela hingga rakyat kecil yang harus membayar pajak. Sayangnya, hasil pungutan pajak sebagian besar diambil oleh para pejabat dan tak disetorkan kepada kerajaan. Kondisi wong cilik yang sangat menderita itu menggerakkan hati dan perbuatan Raden Said. Predikat sebagai anak seorang adipati pun diabaikannya. Lantas, ia turun tangan agar orang-orang miskin tidak kelaparan dengan cara membongkar gudang-gudang para penguasa dan pejabat di malam hari, lalu hasilnya diletakkan di depan pintu rumah orang-orang miskin.
Namun, ulah Sunan Kalijaga akhirnya ketahuan dengan seringnya tiap malam membongkar gudang-gudang. Sunan Kalijaga lalu dibawa ke ayahnya Tumenggung Wilantika yang menjadi penguasa saat itu. Kemudian Sunan Kalijaga mendapat hukuman dari ayahnya. Tak lama kemudian, ia segera menyendiri ke sebuah hutan. Nah, di sinilah dia bertemu dengan seorang kakek tua (Sunan Bonang). Maka, ia mendapat gemblengan dan belajar banyak ilmu dari Sunan Bonang. Termasuk bersemedi menunggu tongkat yang ditancapkan oleh Sunan Bonang di suatu sungai. Maka dari itu ia dikenal dengan nama Sunan Kalijaga yang artinya penjaga kali.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun--bahkan ada yang menyebut Sunan Kalijaga berusia hingga 131 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kasultanan Demak, Kasultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang dibentuk pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang Tatal (pecahan kayu) yang merupakan satu di antara tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Saat berdakwah, Sunan Kalijaga mempunyai pola serupa dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Faham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf dan bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Dia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Makanya ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju Takwa, perayaan Sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga disebut-sebut sebagai guru dari Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, Ki Ageng Pemanahan, dan Penjawi. Karenanya peranan politik Sunan Kalijaga berpengaruh dalam pemerintahan di Kerajaan Pajang dan Mataram. Hingga kini, pengaruh Sunan Kalijaga masih kental mewarnai acara-acara keagamaan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Solo, dan Puri Mangkunegaraan.
Memang, metode dakwah tersebut sangat efektif. Buktinya, sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui bimbingan Sunan Kalijaga. Sebut saja, Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang--sekarang Kotagede, Yogya. Meski Sunan Kalijaga yang paling muda saat diangkat sebagai wali, beliau memiliki ilmu paling tinggi dan usianya paling panjang di antara wali lainnya. Sunan Kalijaga dikabarkan pula menyiarkan agama Islam dengan berkelana dan keliling dari desa yang satu ke desa lainnya. Dalam berdakwah ia memadukan dengan kesenian, di antaranya tembang ciptannya adalah "Dandhang Gula" dan "Ilir-Ilir".
Setelah mencurahkan pikiran dan perasaan bagi perkembangan Islam di Pulau Jawa, terutama pesisir utara, Sunan Kalijaga akhirnya wafat pada tahun 1586. Sesuai amanatnya, jasad Sunan Nyentrik ini dikuburkan di Desa Kadilangu, sebelah selatan Demak. Sedangkan putra Sunan Kalijaga juga menjadi anggota Wali Songo, yaitu Sunan Muria.
Meski telah lama meninggal dunia, para penziarah hingga kini masih mendatangi kuburan Sunan Kalijaga. Begitu pula sejumlah petilasannya di berbagai tempat di Pulau Jawa. Memang banyak mitos dan kepercayaan yang masih memayungi Sunan Kalijaga menyusul keluasan ilmu yang dimiliki beliau. Wallahu `Alam.(ANS/Dari Berbagai Sumber)
Komentar
Posting Komentar