PEJUANG APACHE ITU TERSENYUM MENJEMPUT AJAL

MENYEBUT kata Apache ingatan sebagian besar orang mungkin singgah kepada sosok helikopter canggih milik militer Amerika Serikat. Atau mungkin Winnetou, sang Kepala Suku Apache sahabat Old Shatterhand dalam buku karangan Karl May yang kesohor itu. Apache memang tinggal kenangan atau paling tidak menghiasi lembaran hitam sejarah wild west Amerika Serikat. Seperti hal ratusan suku Indian lainnya di Benua Amerika, Suku Apache mengalami apa yang disebut dalam artikel ilmiah sebagai genocide alias pembasmian terhadap suatu suku atau ras.

Goresan pena sebagian besar sejarawan Negeri Paman Sam juga tak adil terhadap sejarah bangsa kulit merah. Padahal, berpuluh-puluh abad-abad sebelum Bangsa Eropa menginjak Tanah Harapan, mereka telah mendiami lembah-lembah subur di Benua Amerika. Kala itu, berbagai jenis suku Indian menyeberangi Dataran Bering yang masih tertutup lapisan tebal es dari Benua Asia. Mereka pun mempunyai peradaban tersendiri. Siapa tak mengenal kebudayaan tinggi semacam Inca, Maya dan Aztec di belahan selatan Amerika? Begitu pula ratusan suku yang sempat mendiami lembah maupun pegunungan di Amerika Utara yang sekarang menjadi negara AS dan Kanada.

Seiring perjalanan zaman, memang tak banyak lagi yang tersisa dari adat istiadat ratusan suku Indian yang pernah berburu bison sebagai ritual sekaligus penyambung hidup mereka. Tak ada lagi, sorak-sorai tarian perang mengelilingi totem. Sirna pula asap-asap berbentuk yang mengepul dari atas bukit. Dan, jangan harap ada asap tembakau disemburkan ke arah delapan penjuru dari pipa kepala suku sebagai tanda perdamaian.

Itu semua tinggallah kenangan. Atau paling tidak hanya sebagai kisah pengantar tidur si upik di sejumlah kawasan reservasi Indian di AS. Seperti di kawasan Grand Canyon dan Rocky Mountain. Sebagian keturunan Indian itu mungkin cuma bisa mendengar kisah-kisah heroik nenek moyang mereka. Sebut saja Sitting Bulls, Kepala Suku Sioux yang terkenal dan merepotkan pasukan kavaleri AS sekitar 1890-an. Bahkan, Sitting Bulls sempat mengeluarkan suatu kutukan bagi pemimpin Negeri Koboi: "Di masa mendatang, beberapa pemimpin muka pucat bakal menemui ajal di ujung bedil bangsanya sendiri". Entah kkebetulan atau tidak, beberapa presiden AS memang tewas akibat pisau atau senapan dari warganya.

Selain Suku Sioux, beberapa suku Indian lainnya juga merepotkan pasukan berkuda Negeri Koboi, baik di wilayah AS maupun Kanada--terutama menjelang dan seusai Perang Kemerdekaan AS (sekitar pertengahan abad XVIII hingga awal abad XX). Di antaranya adalah Suku Cheeroke, Mohican, dan Apache. Khusus Suku Apache, ada seorang pejuang bernama Geronimo. Saat itu, kehebatan dan kesengitan perlawanan Geronimo dan kawan-kawannya menjadi suatu momok menakutkan dan membuat bulu roma setiap pasukan kavaleri AS merinding. Selama puluhan tahun, 1858 hingga 1909, Geronimo dan kelompoknya kerap menewaskan pasukan AS. Tak terhitung pula koboi-koboi pemburu hadiah yang mati di ujung bedilnya.

Akhirnya, dalam suatu jebakan, Geronimo dan 35 temannya dikepung 5.000 tentara AS. Geronimo yang saat ditangkap telah berusia lanjut--80 tahun--pun tak berdaya. Dia digelandang. Beberapa hari kemudian, tepatnya 17 Februari 1909, Geronimo cs dieksekusi mati di tiang gantungan di tengah lapangan dekat penjara Florida--ada versi lain yang menyebutkan Geronimo meninggal dunia dalam penjara. Namun, sebelum ajal menjemput, Geronimo sempat tersenyum sembari berkata lantang: "Jangan percaya bangsa Amerika, mereka semuanya pembohong! Mungkin zaman bangsa kita [Indian] sudah berlalu. Mungkin ini adalah kehendak Manitou Yang Agung untuk menggantikan bangsa kita dengan kaum yang lain!"(ANS)

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)