KEDENGKIAN BRUTUS DAN FATSOEN CAESAR
Hujaman pisau Markus Brutus, Cassius, dan beberapa anggota Senat Republik Romawi mengakhiri hidup Julius Caesar pada 15 Maret, 44 tahun sebelum Masehi. Kematian Konsul sekaligus pahlawan perang Romawi itu jelas menguras air mata sebagian besar penduduk Kota Roma. Mereka begitu mencintai Caesar meski terlibat affair cinta dengan Ratu Mesir Cleopatra.
Caesar yang bermoto veni vidi vici ini memang mengutamakan keadilan dan kerja keras dalam berperang maupun memimpin negara. Jenderal yang jarang menderita kekalahan di medan laga ini terkenal santun dalam berpolitik. Meski mahkota kekuasaan di depan mata, ia tak mau mengenakannya tanpa persetujuan rakyat.
Karenanya Mark Anthony dan Octavianus Augustus--sahabat terdekat dan anak angkat Caesar--tak tinggal diam. Mereka segera membalas perbuatan sadis Brutus Cs. Seorang demi seorang dari komplotan Senat itu dibantai. Tragedi pilu inilah yang diangkat kembali oleh pujangga Inggris William Shakespeare dalam sebuah drama berjudul Julius Caesar.
Namun, hingga sekarang, kematian Julius Caesar di ujung belati Brutus Cs masih diperdebatkan. Terlepas benar tidaknya, persekongkolan politik memang buruk. Apalagi demi mengejar kursi kekuasaan semata dan limpahan materi. Lihat saja gonjang-ganjing perpolitikan di Indonesia, sejak jutaan mahasiswa menggaungkan pekik Reformasi di jalan-jalan. Malang, kemenangan para mahasiswa menjungkalkan rezim Soeharto seolah tak berguna.
Waktu tak terasa berputar, Reformasi sudah lewat lima tahun. Ternyata sia-sia, Reformasi mandek alias mati suri. Tujuan murni Reformasi seakan menjadi hiasan bibir para politisi dan wakil rakyat. Pemerintah satu berganti dengan yang lain, tapi kondisi bangsa tetap terpuruk dan krisis multidimensional masih membelit Indonesia. Boro-boro menghakimi para koruptor ekonomi dan politik, bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin meraja-lela. KKN marak di mana-mana. Belum lagi satu persatu aset negara berpindah ke tangan asing yang berujung tingginya tingkat pengangguran.
Hukum dan keadilan pun terpasung dan bagaikan rimba raya. Individu atau kelompok yang lebih kuat dan banyak harta adalah sang pemenang. Ironisnya, sejumlah tokoh yang belum meluntur idealisnya nyaris menyerah begitu saja. Mereka terpinggirkan atau meninggalkan hingar-bingar panggung politik dan kekuasaan.
Siapa penyelamat bangsa, bila jeritan rakyat tak digubris lagi?
Siapa penyelamat negara, andai kebijaksanaan tak lagi mendasari kebijakan soal rakyat?
Siapa penyelamat negeri, jika peringatan cerdik pandai dianggap lolongan yang mempermalukan bangsa?
Dasar bebal, kalian semua! Mengaku cinta damai, tapi tak memiliki hati.
Hujaman pisau Markus Brutus, Cassius, dan beberapa anggota Senat Republik Romawi mengakhiri hidup Julius Caesar pada 15 Maret, 44 tahun sebelum Masehi. Kematian Konsul sekaligus pahlawan perang Romawi itu jelas menguras air mata sebagian besar penduduk Kota Roma. Mereka begitu mencintai Caesar meski terlibat affair cinta dengan Ratu Mesir Cleopatra.
Caesar yang bermoto veni vidi vici ini memang mengutamakan keadilan dan kerja keras dalam berperang maupun memimpin negara. Jenderal yang jarang menderita kekalahan di medan laga ini terkenal santun dalam berpolitik. Meski mahkota kekuasaan di depan mata, ia tak mau mengenakannya tanpa persetujuan rakyat.
Karenanya Mark Anthony dan Octavianus Augustus--sahabat terdekat dan anak angkat Caesar--tak tinggal diam. Mereka segera membalas perbuatan sadis Brutus Cs. Seorang demi seorang dari komplotan Senat itu dibantai. Tragedi pilu inilah yang diangkat kembali oleh pujangga Inggris William Shakespeare dalam sebuah drama berjudul Julius Caesar.
Namun, hingga sekarang, kematian Julius Caesar di ujung belati Brutus Cs masih diperdebatkan. Terlepas benar tidaknya, persekongkolan politik memang buruk. Apalagi demi mengejar kursi kekuasaan semata dan limpahan materi. Lihat saja gonjang-ganjing perpolitikan di Indonesia, sejak jutaan mahasiswa menggaungkan pekik Reformasi di jalan-jalan. Malang, kemenangan para mahasiswa menjungkalkan rezim Soeharto seolah tak berguna.
Waktu tak terasa berputar, Reformasi sudah lewat lima tahun. Ternyata sia-sia, Reformasi mandek alias mati suri. Tujuan murni Reformasi seakan menjadi hiasan bibir para politisi dan wakil rakyat. Pemerintah satu berganti dengan yang lain, tapi kondisi bangsa tetap terpuruk dan krisis multidimensional masih membelit Indonesia. Boro-boro menghakimi para koruptor ekonomi dan politik, bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin meraja-lela. KKN marak di mana-mana. Belum lagi satu persatu aset negara berpindah ke tangan asing yang berujung tingginya tingkat pengangguran.
Hukum dan keadilan pun terpasung dan bagaikan rimba raya. Individu atau kelompok yang lebih kuat dan banyak harta adalah sang pemenang. Ironisnya, sejumlah tokoh yang belum meluntur idealisnya nyaris menyerah begitu saja. Mereka terpinggirkan atau meninggalkan hingar-bingar panggung politik dan kekuasaan.
Siapa penyelamat bangsa, bila jeritan rakyat tak digubris lagi?
Siapa penyelamat negara, andai kebijaksanaan tak lagi mendasari kebijakan soal rakyat?
Siapa penyelamat negeri, jika peringatan cerdik pandai dianggap lolongan yang mempermalukan bangsa?
Dasar bebal, kalian semua! Mengaku cinta damai, tapi tak memiliki hati.
Komentar
Posting Komentar