MAGNET KEKUASAAN
WARTAWAN senior itu bernama Mochtar Lubis. Di Negeri ini agaknya tak seorang pun yang meragukan profesionalismenya dalam bidang jurnalistik. Mantan Pemimpin Redaksi Koran Indonesia Raya ini terkenal lantaran keberanian dan ketajaman penanya dalam memperjuangkan pers nasional yang bersandar nasionalisme. Dalam sebuah bukunya--dari sekian banyak buku yang diterbitkannya--ia bertutur secara apa adanya mengenai perjalanan kariernya. Ya, jurnalis kampiun yang dijuluki wartawan jihad ini memang pantas diteladani. Buku itu bertajuk Mochtar Lubis: Berbicara Lurus.
Dalam salah satu bagian pustaka tersebut, Mochtar sempat mengungkapkan sebuah pembicaraan dengan sahabat sesama jurnalis dunia, yakni Benigno "Ninoy" Aquino. Mendiang tokoh reformis Filipina tersebut meledek Mochtar. Maklum, Mochtar saat bertemu Aquino untuk kesekian kalinya itu masih menggeluti profesi jurnalistik. Sedangkan Aquino telah menjadi senator terkemuka di Filipina. Ledekan dari sahabatnya itu tak mengecilkan hati Mochtar. Dengan enteng Mochtar mengatakan bahwa dirinya sangat takut berkuasa.
Perbincangan antara dua sahabat itu telah melewati kurun waktu cukup lama: sekitar setengah abad. Kendati demikian, pesan yang tersurat maupun tersirat sangatlah jelas. Aroma kekuasaan memang kerap melenakan seseorang atau sebuah kelompok. Pendapat ini bukanlah sembarang kutipan. Lebih seabad yang lampau, sejarawan Inggris Lord Acton menulis: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely." Masih dalam zaman yang sama, ilmuwan politik Inggris, Arnold Toynbee lebih kurangnya juga mengiyakan pendapat Acton.
Dua contoh di atas cukuplah untuk menggambarkan dunia kekuasaan yang menyeramkan. Bila kekuasaan menggila apa pun dapat diterjang dengan seketika. Baik represif, preventif, bahkan sistematis. Contoh-contoh mengenai kejamnya kekuasaan telah banyak menghiasi lembaran sejarah dunia. Jadi, akankah manusia mau belajar dari pengalaman masa lalu yang penuh intrik busuk dan lumuran darah itu?
WARTAWAN senior itu bernama Mochtar Lubis. Di Negeri ini agaknya tak seorang pun yang meragukan profesionalismenya dalam bidang jurnalistik. Mantan Pemimpin Redaksi Koran Indonesia Raya ini terkenal lantaran keberanian dan ketajaman penanya dalam memperjuangkan pers nasional yang bersandar nasionalisme. Dalam sebuah bukunya--dari sekian banyak buku yang diterbitkannya--ia bertutur secara apa adanya mengenai perjalanan kariernya. Ya, jurnalis kampiun yang dijuluki wartawan jihad ini memang pantas diteladani. Buku itu bertajuk Mochtar Lubis: Berbicara Lurus.
Dalam salah satu bagian pustaka tersebut, Mochtar sempat mengungkapkan sebuah pembicaraan dengan sahabat sesama jurnalis dunia, yakni Benigno "Ninoy" Aquino. Mendiang tokoh reformis Filipina tersebut meledek Mochtar. Maklum, Mochtar saat bertemu Aquino untuk kesekian kalinya itu masih menggeluti profesi jurnalistik. Sedangkan Aquino telah menjadi senator terkemuka di Filipina. Ledekan dari sahabatnya itu tak mengecilkan hati Mochtar. Dengan enteng Mochtar mengatakan bahwa dirinya sangat takut berkuasa.
Perbincangan antara dua sahabat itu telah melewati kurun waktu cukup lama: sekitar setengah abad. Kendati demikian, pesan yang tersurat maupun tersirat sangatlah jelas. Aroma kekuasaan memang kerap melenakan seseorang atau sebuah kelompok. Pendapat ini bukanlah sembarang kutipan. Lebih seabad yang lampau, sejarawan Inggris Lord Acton menulis: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely." Masih dalam zaman yang sama, ilmuwan politik Inggris, Arnold Toynbee lebih kurangnya juga mengiyakan pendapat Acton.
Dua contoh di atas cukuplah untuk menggambarkan dunia kekuasaan yang menyeramkan. Bila kekuasaan menggila apa pun dapat diterjang dengan seketika. Baik represif, preventif, bahkan sistematis. Contoh-contoh mengenai kejamnya kekuasaan telah banyak menghiasi lembaran sejarah dunia. Jadi, akankah manusia mau belajar dari pengalaman masa lalu yang penuh intrik busuk dan lumuran darah itu?
Komentar
Posting Komentar