Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2005
TAPAK BERDERAP (6) TANAH pijakan ini, masihlah sama, sama dengan setahun silam. Waktu, tanggal, hari pun masih sama: menjelang pergantian tahun. Ya, tak sampai dua jam lagi, tahun baru menyapa muram diri Sang Kembara. Sementara, belukar makin memenuhi tepian jalan setapak yang juga semakin menyempit. Dan jejak-jejak pun tampak membekas di belakang, di tanah becek ini. Di hadapannya, terbentang jalanan menurun menuju lembah kecil. Jauh di atas kepala Sang Kembara, laksaan kerlip cahaya dan mungkin lebih, menyapa akrab. Malam tak lagi kelam. Taburan permata langit itu akhirnya menggoda Sang Kembara merehatkan diri. Tepat di atas batu di lembah itu. Setelah tarikan napas tak lagi pendek, ia pun menatap langit. Sesekali ada bintang jatuh yang memuaskan matanya sesaat, tapi matanya tetap tertuju ke arah benda langit yang paling benderang, yakni Zohrah di ufuk timur. Dia memandang lama Sang Zohrah, dan berusaha memahami bahasa langit.
TAPAK BERDERAP (5) TANJAKAN curam terbentang di depan, derap tapak Sang Kembara pun tak seirama lagi, kadang lamban kadang bergegas, meninggalkan pucuk pinus yang terakhir terlihat. Dan perjalanan ini bukanlah merambati batas waktu penantian, melainkan menuruti kata hati. Suara jiwa yang terabaikan selama ini. Dan bumi pijakan kali semakin lembek tak lagi berkerikil, lembab malah. Jalanan pun menurun menuju lembah kecil. Mengasolah Sang Kembara. Sebatang kretek tembakau cengkih disulut. Kepulan asap putih pelan-pelan keluar dari kedua lubang hidungnya. Nikmat benar, memang. Sang Kembara segera membuka ransel, dikeluarkan buku catatan dan penanya. Diam sejenak. Arakian, pena digoreskan: Bayangkan, Membayangi Bayang-Bayang Bayang-bayang kentara lantaran kirana jua Bayang-bayang pun tak usah dihalau, karena begitulah adanya: datang tanpa diundang, pergi tanpa dipinta Bayang-bayang bukanlah mistar hasrat, melainkan antara ada tiada: dekat tapi tak tergapai.
TAPAK BERDERAP (4) EMBUN menyapu sisa perapian dekat kaki Sang Kembara. Bening pagi dan merdu kicau burung hutan seakan berlomba membangunkan dirinya. Harum pagi nan cerah pun membuat Sang Kembara tak mau berlama-lama di pembaringan dedaunan pinus. Dia segera menyingkirkan lapik yang melelapkan tersebut. Besu tubuh tak terasakan lagi. Gemercik aliran air tepian hutan ini menggoda Sang Kembara untuk membasuh muka, seolah membuang geram. Dingin bening air pegunungan itu menyejukkan hati. Tampak beberapa buah rambutan hutan hanyut terbawa aliran kali kecil. Tanpa ragu, dipungutlah buah ranum tersebut. Dan, sekerat roti kering dan buah segar itu cukuplah mengganjal keroncongan. Tujuh tapak bayang-bayang tubuh terwujud di tanah, penanda Sang Kembara melanjutkan perjalanan. Jalanan setapak sedikit mendaki terbentang di muka. Tapak pun berderap lagi.
TAPAK BERDERAP (3) SEMBURAT jingga seakan hendak memenggal senja ini, seolah pula melambai Sang Kembara yang terus menapaki hari. Hamparan pinus sebentar lagi terjamah, tapi puncak bukit berawan perak itu masih jauh dari pelupuk mata. Pohon pinus pertama akhirnya terlampaui. Gersak daun dan desau angin lembah pun menyapa hadir Sang Kembara. Bau basah tanah dan bebunga liar di tepi wana ini turut menyambut. Tak jauh tampak kali kecil mengalir tenang hampir tak beriak. Bening air tersebut menggoda Sang Kembara rehat sejenak. Dia segera membasuh wajahnya sembari melepas dahaga. Bening dan segar air ini seakan menyapu muram. Setelah segala penat terusir, Sang Kembara segera mengeluarkan bekal makan nan berhana, yakni sepotong dendeng kering tanpa garam. Hambar dan tak kenyang memang, tapi cukuplah. Perjalanan masih jauh. Tak beberapa lama, mentari menggelincir pulang. Malam pun tiba, Sang Kembara segera menyiapkan pembaringan berupa tumpukan daun pinus kering. Tidak lupa, unggun api kecil
TAPAK BERDERAP (2) SANG Kembara masih berkarib pucat langit. Rintik-rintik pun tanpa permisi terus menjarumi hampir seluruh tubuhnya. Dia tak peduli dan terus melangkahkan kaki, meninggalkan jejak tapak yang segera terhapus. Dan saat ini hampir tengah hari, namun sang surya masih mengintip malu di balik mendung. Mendung di langit, mendung di hati, begitulah suasana saat ini. Sesaat jiwanya menerbang, kemudian melangut, seiring sirnanya zohrah di ufuk timur, indah terkenang memang. Hanya dalam tiga tarikan napas panjang, ia menghalau kembali resah itu. Sang Kembara menapaki lagi jalan terbentang di muka, kini dengan mencakah. Lurus.
TAPAK BERDERAP (1) KETIKA enam tapak bayang-bayang bersembunyi, Sang Kembara dirana walau hati senyak. Kendati semburat kelabu fajar beriringan dersik malam serenta redum kejora menyisakan gigil, tanpa ragu Sang Kembara beringsut menentang gulana. Mata pun melayang pandang, memunggung suram mentari. Nun jauh di ufuk barat, kaki cakrawala, tampak puncak bukit berselubung perak mega gilap-gemilap. Dan tanpa memaling lagi, Sang Kembara melangkahkan kaki, nyaris tanpa berbekal paling berhana sekalipun, sebab terpenting semata hanyalah asa menerbit. ... Satu hingga puluhan bilangan, langkah memang tergulut-gulut hampir menyeret, kerap serandung pula. Namun biarlah, toh tak ada embun dan semerbak anyelir merah di taman hati ini, hanyalah setangkai selasih kemangi membalur lara. ... Sampai akhirnya pada hitungan ratusan langkah, barulah tapak ini mulai terasa ringan menjejak. Berderap meski kersik kering terserak membentang, walau pula peluh merengat dan dengus merengap. Dan, sang waktu pun t
LEBIH JAUH LAGI... (BAIT KEEMPAT PROLOG TAPAK BERDERAP) BILAMANA Sang Kembara menatap buliran akhir jam pasir terjatuh, maka cukuplah penantian ini Kelopak hati ternyata tak kunjung merekah mewangi, tuk mengusir kegalauan ini Sudahlah wahai empu sepasang bola mata bekerlip bagai gemintang Sang Kembara hendak beranjak, melangkahkan tapak menuju puncak kesunyian bukit kaki cakrawala Jauh, mungkin teramat jauh... Andai lebih jauh lagi..., sebab waktu tidak menanti melainkan terus bergulir
JANGAN BILANG TERDIAM (BAIT KETIGA PROLOG TAPAK BERDERAP) BENARKAH engkau sebut aku terdiam? Bila benar begitu, kiranya kau keliru Lantang suaraku tetap menyapamu, walau hanya berupa sepenggal syair Jadi, jangan bilang terdiam
DINGIN TAK MEMBEKU (BAIT KEDUA PROLOG TAPAK BERDERAP) DINGIN Begitulah sepintas raba Padahal dingin ini hanyalah selubung kerisauan Selubung tak membekukan