Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2007
MURKA GELOMBANG PAGI masih buta sekali tatkala samudra yang biasanya ramah itu mengganas. Lidah gelombangnya menyapu semua yang ada di bibir banyak pantai di pesisir selatan negeri ini. Tak peduli pondok milik si miskin maupun sang berdasi. Semua dihantam, semuanya diterjang. Sebuah lidah gelombang melebihi atap rumah, lidah lainnya bahkan nyaris mencapai tinggi pohon kelapa. Jerit tangis dan panik berbaur suara orang banyak berlari. Bukan tsunami memang, namun murka gelombang laut toh menghancurkan banyak pondok reot maupun gemerlap, baik perkampungan orang laut ataupun hunian rehat kaum pelancong berkantong tebal. Tak banyak jiwa-jiwa yang melayang. Ini mungkin lantaran banyak penduduk negeri ini yang terpaksa bersahabat dengan bencana. Maklum, negeri ini berjuluk tak resmi: Negeri Bencana. Ironis, sungguh ironis. Padahal semenjak negeri ini dikenal dengan sebutan Nusantara, para kawula tersohor ramah kepada sesama makhluk hidup maupun bersahabat dengan alam. Tak berlebihan bila dise
TAPAK BERDERAP (34)* LEMBAYUNG senja menggelayut indah di tepian telaga ini, ketika Sang Kembara meninggalkan kerisauan dan melabuhkan haluan sunyinya. Mungkin masih ada tersisa butiran asmara di telaga ini setelah lelah mengejar bayang-bayang. Sang malam memang mencoba menenggelamkan kesunyian ini, namun tak kuasa. Terlebih kenangan hangat ramah jemarimu terasa kuat menjelma. Kerinduan mendalam, kerinduan tak tertahan lagi. Kerinduan `kan hadirmu... * Terinspirasi dari Elegi Esok Pagi dan Aku Ingin Pulang (Ebiet G Ade).
TAPAK BERDERAP (33) SANG Kembara kembali menuju telaga nan teduh itu. Sepanjang jalan, rinai hujan merintik lembut menyapa kerinduan hatinya akan telaga damai. Seiring dengan senandung puisi: Tak ada yang lebih tabah Dari hujan bulan juni Dirahasiakannya rintik rindunya Kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak Dari hujan bulan juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya Yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif Dari hujan bulan juni Dibiarkannya yang tak terucapkan Diserap akar pohon bunga itu (*) Tapak Kembara pun menginjak tepian telaga. Sang telaga pun seakan berbisik lembut: Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja -- perahumu biar aku yang menjaganya (**) Kelopak padma putih nan suci itu pun merekah perlahan, menyambut kehadiran Sang Kembara. (*) (Hujan Bulan Juni, Becoming Dew, Sapardi Djoko
KETIKA... KETIKA mata hatiku berlinang darah, bisakah kau membasuh dukaku? Ketika hati tak boleh menjerit, akankah kau terus muntahkan congkakmu? Ketika peluhku ini tak lagi mengucur, dapatkah kau rayu diriku? Ketika aku membisu, tajam lidahmu tak akan mengiris sembilu nuraniku Ketika lantangku bergema, hendak kau sembunyikan di mana wajahmu Dan ketika kejujuran tak lagi bersemayam di hatimu, Enyahlah kau!!! Jangan usik lagi diriku Kesabaranku ada batasnya, perlu kau tahu wahai sang pendusta Dan langkah jantan sang pengembara sangat tak terduga olehmu
MENGAPA...? KETIKA banyak keresahan hampir memuncak di lobi lantai dua suatu gedung bertingkat di Jakarta. Keresahan lantaran hendak dicampakkan dan dicerabut dari apa yang selama ini menjadi kebanggaan akan eksistensi bersama. Eksistensi dalam dunia media maya yang selama ini dibela mati-matian. Namun tiga pekan terakhir pun berlalu sia-sia. Sia-sia karena banyak jiwa tak lagi membulat. Jabat tangan tak lagi erat. Curiga pun berubah dendam amarah. Dan pada akhirnya kata maaf hanyalah hiasan di bibir. Padahal, perjalanan selama ini cukup panjang dan berliku, kawan.