Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2006
TEPIANKU BEKU celotehku pilu sajakku kelu syairku haru puisiku sendu tepianku beku *** MELAINKAN... seulung apa pun nakhoda ombak menggulung angkasa samudra petir menjelma seulung apa pun dia nakhoda didaulat niaga saudagar dibaptis nakhoda Bukan tak mungkin, melainkan... PsMinggu, 28 November 2006
RONTAK PILU BUNG, lidah ini pahit kelu lisan membisu pula sembilu Bung, jiwa ini tersiksa iming palsu hingga mata air mata luruh sendu Bung, ini ombang-ambing keadaan pilu absurd itu pun menggodam akal nuraniku Bung, kalau sudah begitu lantangku satu: Rontak...! PsMinggu, 27 November 2006
HADIRMU MALAM pada pertemuan itu hadirmu jelas menepis gusar Namun, malam pada pertemuan itu Hampir tiada tawa lebar antara kau dan aku, malah agak terkesan kaku Ya, malam pada pertemuan itu Jalin keakraban suasana sekitar tak menular Mungkin, lantaran pertama lihat hadirmu
TAPAK BERDERAP (31) SANG Kembara terjaga dari buaian indah mimpinya ketiga merah oranye mentari menggelincir di ufuk barat. Ternyata samar-samar di ketinggian cakrawala timur terlihat Zohra berpendar malu-malu meski menghampiri juga pada akhirnya. Hiasan langit paling benderang setelah Wulan itu riang menyapa Kembara. Arkian, Dewi Angkasa Timur itu menyunggingkan senyum terindah dengan kerlap cahayanya. Canda dan cumbu rayu silih berganti. Hangat terasa suasana, menepis batas rindu yang hampir bertepi. Dan tak jauh di atas tampak jajaran kuntul terbang melintasi rawa laut. Mereka pun menyempatkan menyapa Kembara dan Zohra. Mesra suasana, menyambut datang musim bunga penghalau gulana hati.
TAPAK BERDERAP (30) JEJAK malam hampir tak berbekas, terkalahkan cerah pagi saat Kembara menyandarkan punggung di batang nyiur. Tercium segera aroma laut dan pantai bercampur hangat sinaran cuaca mula hari. Sungguh pagi nan hangat, tapi sekaligus pagi yang menerbitkan kantuk Sang Kembara. Dan sebelum terpejam betul, sepasang matanya menatap kemilau mutiara pagi di sela-sela dedaunan bakau tak jauh di sana, rawa laut itu. Gerombolan punai dan burung layang-layang tampak bercengkerama sembari mencari santapan pagi. Dia pun tersenyum tipis, hampir tak terlihat. Dendang alam pun meninabobokannya.
TAPAK BERDERAP (29) MALAM ini langit tak berbintang lagi, hanya pendar titik pelita perahu nelayan nun kejauhan di laut lepas menghitam. Dan hanyalah suara ombak menampar keras ujung karang yang terdengar, seakan ingin mengalahkan kelam saat kaki Kembara melanjutkan perjalanan. Perjalanan malam ini. Dingin menusuk tak terlalu dirasakan. Selangkah demi selangkah hingga tak terbilang lagi dalam remang nyaris gulita ini. Gulita langit tak berbintang kali ini, tak cukup menyuramkan hati ini. Sesuatu yang wajar. Sewajar keadaan alam saat itu, saat ini, atau mendatang. Terlebih perjalanan telah jauh. Tepi bertemu ujung, ujung bertemu tepi lagi. Hamparan padang gersang terlampaui. Pun demikian telaga nan tenang di pedalaman belukar sana. Itu semua sudah dilewati. Begitu pula panjang pantai ini. Biarlah pinus itu meranggas lantaran kemarau berkepanjangan. Biarlah teratai tenggelam di telaga. Dan biarkan pula, ombak berubah ganas seganas samudera diamuk badai. Demikian pula bila gemintang menye
TAPAK BERDERAP (28) KARANG pinggir laut ini tetap tegar dan berkawan banyak camar. Mereka berbagi cerita tanpa lelah, seperti ombak yang senantiasa mengakrabi semuanya itu. Keakraban tanpa mengusik sekitar. Begitu pula saat ini, ketika Sang Kembara menggoreskan pena di selembar kertas ini. Benar itu kau, bila hendak jalan beriring, tidak di belakang bayang-bayang, tak pula di muka bayang-bayang. Benar itu kau, namun tanpa kata akankah dan ragu, hanyalah hujan penenang gundah. Benar itu kau, bukan mengubah melainkan menjalani, dan menapaki segala terjal mendaki maupun curam menurun. Benar itu kau, jikalau sudi menyinari dengan terang gemintang. Bila pula tetap membuka dan membaca lembaran-lembaran ini. Benar itu kau, dan tak perlu diganti cermin itu, tidak perlu pula mencari permukaan air lain Cermin itu ada di relung batin.
NORMAN EDWIN: OBOR PETUALANGAN TAK PERNAH PADAM BUKU berukuran 12 x 19 sentimeter itu menyempil di antara tumpukan buku lainnya di salah satu rak sebuah toko buku terkemuka di Kota Depok, Jawa Barat. Warna biru memang cepat tertangkap pandanganku. Terbaca judul JEJAK SANG BERUANG GUNUNG: Hidup dan Petualangan Norman Edwin. Buku berukuran seperti novel ini dikarang oleh Ganezh dengan tahun terbit 2006. Tatapanku kemudian tertuju pada lembar-lembar awal: "Siang itu tanggal 20 Maret 1992. Di sana, di hamparan salju putih, sesosok tubuh tinggi besar sedang berjuang keras melintasi tanjakan dengan kemiringan 40 derajat pada ketinggian 6.700 meter. Niatnya sudah bulat. Ia akan mengibarkan Sang Merah Putih dan Panji Mapala UI di Puncak Aconcagua. Ya, puncak tertinggi Amerika Selatan itu hanya tinggal 200 meter lagi! Meski semangat terus membara, namun gerak tubuh itu kian perlahan. Sekilas ia teringat Didiek Samsu, yang juga keletihan dan kini beristirahat tak jauh di bawahnya. Lalu terb
LUPA Lupa... Lupa semua Lupa segala Bah! Bahkan, kata lupa pun nyaris kau tak ingat
TAPAK BERDERAP (27) SINAR purnama tanpa malu-malu menyibak lebat dedaunan, menerangi langkah Sang Kembara kali ini. Nun di kejauhan garis putih memanjang diiringi nyanyian debur ombak. Kaki pun terhenti seakan hendak merasakan kelembutan pasir berkilauan. Tamparan ombak di ujung karang itu turut menyapa hadir Kelana. Asin air sampai di bibir, dan dibiarkan saja. Tak mengusik hasrat pandangan jauh menyapu sekitar. Sepandang kemudian tertumpu pada guratan tulisan belum tersapu benar jilatan laut. Tajam mata Kembara menyisir huruf per huruf: "Ku tetap menjadi bagian pantai ini dengan atau tanpa purnama menjadi payungku di malam hari." Makna yang tak asing lagi, memang. Hanya di mana gerangan empu tulisan ini yang senantiasa risau...menanti purnama hati. Ah, akhirilah sudah kerisauan itu. Dan rasakan kehadiran diri ini...