Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2006
TAPAK BERDERAP (13) HAMPIR tanpa sadar amplop lembut mewangi itu kembali diraih Sang Kembara. Secara perlahan penuh kehati-hatian ia membuka amplop warna biru dan membaca tulisan itu, tulisan bertinta biru berbait tujuh. Debar hati Kembara masihlah sama saat pertama kali membaca. Bait pertama dan ketujuh paling berkesan. ... Api itu ternyata belum padam, terlihat jelas di garisan matamu ketika kita tidak sengaja bertukar pandang, caramu menatapku menggambarkan dengan jelas bahwa tapakanku masih ada di sana ... Aku di sini masih menatap tajam pada gambaran angan yang tak berhenti dikejar waktu dalam waktuku yang tersisa ini, mengharapkan harummu masih di sisi, .... Seusai melipat kembali amplop itu, Sang Kembara hanya melanggut menepis galau gulana.
TAPAK BERDERAP (12) KABUT tipis mulai menyentuh lembab setapak ini. Senandung senja pun menghentikan langkah Sang Kembara. Kesunyian berselubung kabut ini memancing dia melantunkan sebuah tembang lawas milik Mr. Mister. The wind blows hard against this mountainside Across the sea into my soul It reaches into where I cannot hide Setting my feet upon the road My heart is old it holds my memories My baby burns a gemlike flame Somewhere between the soul and soft machine Is where I find myself again Kyrie Eleison Down the road that I must travel Kyrie Eleison Through the darkness of the night Kyrie Eleison Where I'm going will you follow Kyrie Eleison On a highway in the light When I was young I thought of growing old Of what my life would mean to me Would I have followed down my chosen road Or only wished what I could be * Broken Wings >>
TAPAK BERDERAP (11) FAJAR dan senja datang silih berganti, Sang Kembara pun tetap menjejaki jalanan terbentang di depan. Menapaki tanah lembab dengan derap langkah kaki yang menginjak bayangan sendiri menuju arah mentari terbenam. Ya, saat ini bayangan tubuhnya memang agak condong ke muka. Peluh pun tak banyak membasahi kemeja, bahkan topi rimba tetap bertengger di kepalanya. Perjalanan hari ini memang terasa ringan, seringan suasana hati Sang Kembara saat ini. Sebentar lagi Sang Surya tergelincir di ufuk barat dan malam berbintang bakal tersenyum kepadanya, seperti hari-hari ke belakang. Sang Kembara sangat merindu kerlip gemintang, hiasan angkasa biru kelam. Walau bintang paling bersinar itu tak tergapai, ia sangat memahami bahasa langit. Kerlap cahaya di atas sana yang berjarak tak berbilang itu seakan menemani istirahat malam Sang Kembara. Bahkan, Sang Jelita Malam terbawa dalam mimpinya. Dia bercengkerama mesra dengan Zohrah, Dewi Venus, mengusir penat sejak fajar hingga senja tad