KENCANGKAN IKAT PINGGANGMU, KRISIS KIAN MEMBELIT

PEKAN terakhir bulan silam, harga minyak mentah di pasaran dunia melambung tinggi, menembus angka US$ 60 per barel. Kondisi buruk serupa pada tahun 1983 ini jelas membuat berbagai pemerintah merevisi anggaran belanja masing-masing. Kurs sejumlah mata uang pun terkoreksi. Seperti rupiah yang hampir-hampir menembus level 10.000 per satu dolar Amerika Serikat beberapa hari lalu.

Jauh hari sebelumnya, di Indonesia, Perusahaan Listrik Negara yang pertama menjerit. Instansi pelat merah yang memonopoli setrum ini kelabakan saat pasokan bahan bakar minyak dari Pertamina telat datang. Eh, buntutnya, lagi-lagi tak mengenakkan bagi rakyat. PLN mengancam melakukan byarpet atau berencana memadamkan listrik secara bergiliran di Pulau Jawa bila masyarakat atau konsumen tak menghemat pemakaian setrum.

Pemadaman listrik bergilir memang tak benar-benar terjadi. Ini setelah Pertamina memenuhi pasokan solar terhadap sejumlah pembangkit listrik. Ini pun dilakukan Pertamina setelah merengek kepada pemerintah meminta dana talangan subsidi BBM.

Namun, tetap saja, ada satu ganjalan di mata berbagai kalangan. Bayangkan, di tengah situasi serba sulit ini, datang kabar bahwa BUMN ini malah bagi-bagi bonus akhir tahun. Berbagai komentar nyinyir pun membanjiri PLN. Bahkan, sejumlah pejabat PLN terpaksa sempat mondar-mandir ke Kantor Kejaksaan.

Selagi hebat-hebatnya skandal itu diberitakan--seperti biasa di republik ini--masalah ini tenggelam oleh sejumlah kasus atau pemberitaan besar lainnya. Harga minyak dunia melejit di atas asumsi anggaran negara yang sebesar US$ 45 dolar per barel.

Belum lagi pemerintah dan Wakil Rakyat mengutak-atik anggaran, terutama perubahan subsidi BBM, kelangkaan berbagai jenis bahan bakar minyak menerpa berbagai daerah. Sebagian konsumen BBM pun kelimpungan. Mereka sulit memperoleh bensin maupun solar. Tapi yang paling menyedihkan, sebagian warga di Jawa Timur terpaksa menggunakan bahan bakar untuk keperluan masak-memasak. Ini saking sulitnya mereka memperoleh minyak tanah.

Antrean tampak mengular di pom-pom bensin di beberapa daerah di Tanah Air. Bahkan antrean di sejumlah daerah sampai lebih dari sehari. Dengan membawa jeriken kosong, mereka terpaksa menginap di stasiun pompa bensin. Ironis.

Pemberitaan gencar dari media cetak maupun elektronik membuat pucuk pimpinan Pertamina bak kebakaran jenggot. Di kaca televisi, ia sempat mengatakan kelangkaan BBM hanyalah kepanikan pasar. Kelangkaan komoditas vital ini cuma terjadi di Kupang, Nusatenggara Timur. Dia pun meminta maaf kepada warga Kupang dan berjanji untuk segera memasok BBM ke sana.

Anehnya, beberapa hari kemudian, ia kembali meminta maaf lantaran kelangkaan BBM di Kupang, masih terjadi. Minta maaf berkali-kali memang tak ada yang melarang. Yang terang, Pertamina kerepotan mengatasi kelangkaan minyak atau bensin.

Pemerintah pun turun tangan. Presiden segera menyerukan penghematan energi secara nasional. Bahkan, pemerintah memutuskan siaran televisi dan radio mulai Senin pekan depan berakhir pada jam satu dini hari. Siaran boleh dimulai lagi saat subuh. Ketentuan ini diberlakukan selama enam bulan.

Tak cuma kalangan penyiaran yang kena getahnya. Kalangan pemerintah maupun swasta pun diminta berhemat menggunakan listrik atau energi. Temperatur penyejuk ruangan maksimal 25 derajat Celcius. Dianjurkan pula tidak memakai jas dan dasi agar tidak kepanasan di ruangan kerja. Mobil dengan isi silinder 3.000 cc ke atas pun tidak boleh memakai premium.

Ibarat guru kencing berlari murid kencing tiarap, program penghematan tersebut jelas tidak efektif jika pemerintah sendiri masih boros. Buktinya, setelah program penghematan energi nasional dicanangkan, banyak kantor pemerintah maupun BUMN yang boros menggunakan listrik. Mesin pendingin sejumlah mobil pejabat pun dinyalakan meski kendaraan mereka tengah parkir.

Contoh-contoh jelek itu ditambah dengan gaya hidup bermewah-mewahan dari sebagian petinggi negeri ini. Mereka rupanya tak sadar diri dan belum menanggalkan atau mengurangi kebiasaan yang dapat mengundang kecemburuan sosial. Atau mungkin pula tak peduli dengan rakyat kecil yang hidupnya semakin susah. Belum lagi berbagai bencana alam dan wabah penyakit yang silih berganti mendera Indonesia.

Slogan memang tinggallah slogan. Keteladanan justru tak tampak dari sebagian pejabat. Sebagian orang malang mencurigai sesuatu telah terjadi. Mereka bertanya-tanya, apakah selentingan kabar mengenai penyelundupan BBM ke luar negeri benar adanya. Selentingan miring ini jelas perlu bukti. Yang terang, hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah maupun para penegak hukum di negeri ini.

Ngomong-ngomong soal slogan, Indonesia memang jagonya. Sejak republik ini merdeka, pernyataan maupun imbauan kosong senantiasa membodohi rakyat. Dari Soekarno hingga saat ini, boleh dibilang, penuh slogan pepesan kosong.

Di tahun 1965, Bung Karno punya slogan Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri. Berdikari ini adalah sebuah pidato revolusioner dalam rangka melawan neokolonialisme dan neoimperialisme. Bukannya perekonomian nasional membaik, malah revolusi berdarah yang terjadi. Dan, berujung peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada zaman Soeharto pun sama saja. Terutama saat keadaan ekonomi negara sedang sulit, seperti ketika masa resesi ekonomi dunia pada awal tahun 1980-an. Kala itu, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang meminta pejabat dan pegawai negeri untuk hidup sederhana. Istilah saat itu: kencangkan ikat pinggang.

Era Reformasi tak jauh berbeda, bila tak mau dikatakan lebih parah. Krisis ekonomi yang dimulai sejak pertengahan 1997, ternyata makin parah. Seluruh negeri ini dilanda apa yang dinamakan krisis multidimensional. Perekonomian dan kesejahteraan orang banyak pun tak meningkat. Jutaan penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pengangguran juga mencapai paling tidak 10 juta orang.

Malam ini aku pun tercenung memikirkan itu semua. Lamat-lamat hati kecil menyanyikan sebuah lagu lama dari Iwan Fals: Seorang anak kecil bertubuh dekil. Tertidur berbantal sebelah lengan. Berselimut debu jalanan. Rindang pohon jalan menunggu rela, kawan setia sehabis bekerja. Siang di seberang sebuah Istana. Siang di seberang istana sang raja. Kotak semir mungil dan sama dekil. Benteng rapuh dari lapar memanggil. Gardu dan mata para penjaga. Saksi nyata yang sudah terbiasa. Tamu negara tampak terpesona. Mengelus dada gelengkan kepala. Saksikan perbedaaan yang ada. Sombong melangkah Istana yang megah. Seakan meludah di atas tubuh yang resah. Riuhan jerit di depan hidungmu. Namun yang ku tahu. Tak merasa terganggu.(Celoteh Pendaki Sunyi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)