IVX YANG SAYA KENAL & "KAMPUS TEBET"

IVAN Haris Prikurnia termasuk salah satu target narasumber saya untuk menyelesaikan tugas akhir di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 1996. Namun, rencana wawancara batal lantaran batasan tahun bahan penelitian diundurkan hingga dekade akhir 1980-an, bukan 1990-an.

Padahal, saya hendak melengkapi data situasi pers dekade 1990-an. Terutama seputar pemberedelan tiga media cetak nasional, yakni majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik oleh Orde Baru. Satu di antara babakan penting bagi penelitian saya yang mengambil tema "Kebijakan Pers di Masa Orde Baru".

Meski demikian, saya dapat merampungkan penelitian dan sidang sarjana pada pertengahan 1996. Saya lulus.

Selanjutnya, saya baru bertemu dengan sosok Ivan Haris Prikurnia --yang kemudian saya sapa dengan panggilan akrab bang Ivan. Itu di awal 1997.

Awalnya, saya mengontak salah satu eks wartawan Tempo, Achijar Abbas Ibrahim --kemudian lebih akrab saya sapa dengan panggilan om Abbas. Ternyata, om Abbas menginformasikan adanya kelas reportase dan penulisan yang sedang bergulir di PT X-T alias Eks Tempo, rumah kantor di bilangan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan.

Lebih tepatnya, sejumlah eks wartawan Tempo tersebut menggembleng para calon reporter dan penulis untuk bersama menggarap Media Indonesia Minggu atau format majalah dari koran milik Surya Paloh. Kemudian saya mengetahui mereka mendidik sekitar 100 orang --meski sebagian mundur-- dalam rentang beberapa tahun di masa itu atau pasca-pemberedelan 21 Juni 1994.

Boleh dibilang, tulisan ini sekaligus menguak awal karier profesional saya di dunia jurnalistik. Ya, bang Ivan memang sangat mewarnai pengalaman jurnalistik saya, mulai dari koran Media Indonesia section Minggu, dwi mingguan Forum Keadilan, hingga portal berita online Liputan6.com. Dialah guru pertama sekaligus teman diskusi yang bernas dengan gaya tersendiri dan sesekali diselingi humor, paling tidak dalam rentang 1997-2006.   

Para Penggawa "Kampus Tebet"

Kala itu di awal 1997, penggawa paling disegani di X-T adalah Bambang Harymurti alias BHM dan Ivan Haris Prikurnia alias IVX. Selain BHM dan IVX, ada sekitar 20 eks wartawan Tempo yang setia mengawal "Kampus Tebet".

Sebut saja pakde Budiman S. Hartoyo, mas Sri Malela Mahargasarie, om Abbas, mas Candra Negara, mas Widjajanto, mbak Dyah, kang Priatna, kang Mulyawan, kang Ian Akmar, dan kang Demi yang menggawangi sekretariat redaksi.

Termasuk banyak nama lainnya seperti mas Bambu atau Bambang Bujono dan kang Banu atau Moebanoe Moera, terutama kang Maman Gantra dan mbak Leila S. Chudori yang sering mampir ke Tebet meski sudah bekerja di media lainnya. Mereka semua tetap mewarnai "Kampus Tebet".

Bukan hanya di Media Indonesia Minggu, eks wartawan Tempo juga menyebar di beberapa media massa nasional. Seperti majalah Matra, majalah Forum Keadilan, majalah D&R, majalah Gamma, majalah Ummat, hingga tabloid Kontan. Selain tentunya majalah Gatra yang turut menaungi sejumlah wartawan eks Tempo.

"Kami memang pada akhirnya menyebar ke kapal lain, perahu atau sekoci penyelamat," tutur bang Ivan menganalogikan situasi pasca-pemberedelan Tempo, sembari memegang kemudi Jimny yang saya tumpangi.

Saya pun hanya bergumam mengiyakan karena paling tidak saya sebelumnya telah membaca sebuah buku terbitan eks Tempo. Buku yang berisikan sikap perlawanan mereka terhadap pemberedelan pada Juni 1994 hingga perjuangan melalui jalur peradilan.

Jurnalisme Investigasi?

Adapun ketika pertama kali saya mengikuti kelas reportase, ada belasan orang dari beberapa kampus. Sama seperti saya, mereka semua adalah calon reporter untuk Media Indonesia Minggu.

Bukan soal trik jitu menembus narasumber dan kiat wawancara yang membuat saya penasaran, melainkan investigative reporting atau jurnalisme investigasi.

Bukan apa-apa, soalnya sejak menekuni studi sejarah saya kerap mewancarai saksi maupun tokoh sejarah. Termasuk terjun ke lapangan menggali data maupun bahan penelitian yang kemudian berujung pada penulisan sejarah alias historiografi.

Hanya metodologi saja berbeda antara jurnalistik dan penerapan ilmu sejarah. Namun itu cuma masalah penyesuaian bagi saya. Apalagi sejak 1994 saya mulai tertarik dengan dunia pers, sesekali tandem dengan sejumlah teman lama yang lebih dulu terjun ke lapangan, termasuk menyambangi beberapa newsroom media di Jakarta maupun Bandung.

Kembali ke masalah jurnalisme investigasi yang memang bikin penasaran saya. Terlebih yang saya tahu melalui sejumlah literatur, mayoritas edisi majalah Tempo sejak awal berdiri pada 1971 hingga pemberedelan terakhir pada 1994, senantiasa menyajikan laporan utama berupa investigasi.

Nah, itulah yang saya tanyakan langsung kepada bang Ivan saat pertama kali mengikuti kelas reportase.

"Investigative reporting paling sensasional adalah saat dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, mengungkap serangkaian skandal politik di Amerika Serikat (AS) yang populer disebut Watergate. Watergate kemudian memicu pengunduran diri Presiden AS Richard Nixon pada 8 Agustus 1974," beber pria lulusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia tersebut dengan lugas dan mengalir bak Ensikplopedia berjalan.

Usai mendengarkan uraian tersebut, saya berkata dalam hati: "Sekalipun saya lulusan sejarah belum tentu bisa menjelaskan Watergate selugas dan serenyah bang Ivan." 

Keras, Tegas, dan Terkesan Galak

Para penggawa "Kampus Tebet" menggembleng kami dengan keras dan penuh disiplin. Dan, bagi saya yang terbiasa mewawancarai tokoh maupun saksi sejarah, tak masalah dengan tuntutan harus menembus narasumber penting.

Patut disyukuri pula saya senantiasa dapat menembus semua narasumber yang ditugaskan saat itu --seingat saya cuma satu atau dua orang menolak wawancara, itu pun karena adanya jadwal mendadak yang bersangkutan.

Kendati saat itu, saya sempat berpikir berhasil menembus narasumber penting berkat nama besar Media Indonesia Minggu. Apalagi, seluruhnya adalah hasil wawancara langsung maupun via sambungan telepon.

Kalau tak perlu sekali, saya jarang bergerombol untuk mencegat narasumber alias door stop. Door stop hanya untuk informasi awal saja dan saya tetap berupaya untuk wawancara khusus.

Tak mengherankan, bila kemudian hal itu membuat saya tetap percaya diri dan terus mengasah kemampuan. Sekaligus membangun jaringan luas dari berbagai kalangan --yang kemudian memang bermanfaat untuk perjalanan karier saya kemudian di dunia jurnalistik.

Menjadi calon reporter memang tidak mudah. Kami harus menembus narasumber dan mendapatkan informasi dan data sesuai penugasan. Belum lagi laporan peliputan atau hasil wawancara dan penulisannya yang harus sesuai standar Media Indonesia Minggu, lebih tepatnya mengacu kepada Tempo.

Ada salah satu calon reporter yang ketahuan ditraktir makan oleh salah satu ketua umum parpol di kawasan Puncak, Bogor. Sementara, hasil wawancaranya tidak sesuai ekspektasi. Ada pula salah satu calon reporter harus mengembalikan suvernir berupa replika pesawat yang diberikan narasumber usai wawancara.

Kami memang "diharamkan" menerima suatu pemberian termasuk amplop dari narasumber. Itu semua untuk menjaga integritas dan kredibilitas, serta mengambil jarak tegas terkait kepentingan apa pun dari narasumber.

Selain itu, tak boleh ada typo atau salah ketik dan sejumlah kesalahan elementer lainnya pada penulisan hasil peliputan ataupun paket tulisan. Ada beberapa teman yang terkena dampratan bang Ivan terkait hal itu.

"Tulisan salah ketik, kurang huruf, dan tidak sesuai ejaan itu ibarat kita hendak mencicipi suatu makanan yang lezat, tapi ada seekor lalat yang menempel di makanan. Sungguh menjijikkan! Perasaan tersebut sangat mungkin dialami pembaca melihat tulisan kita yang seperti itu. Paham!"

"Kalian harus tahu membedakan 'di' sebagai kata depan dan 'di' sebagai kata kerja dan imbuhan. Anak saya saja Melur yang masih duduk di bangku SD bisa membedakannya. Paham!"

Begitulah kurang lebihnya sekelumit dampratan bang Ivan bila ada calon reporter ataupun penulis yang melakukan kesalahan elementer.

Walau terkesan galak bagi sebagian rekan, saya tak terlalu memusingkannya salah satu gaya bang Ivan tersebut. Toh, prinsip saya bekerjalah dengan baik dan sepenuh hati.

Deadline Bermuara Suasana Egaliter 

Saat bersamaan dengan keasyikan saya di "Kampus Tebet", beberapa lowongan dan tawaran kerja baik di media maupun non-media tak menarik minat saya. Ada sesuatu yang harus dituntaskan terlebih dahulu, yakni belajar dari para penggawa itu, terutama bang Ivan dengan gaya tegasnya. 

Tegas dan sesekali galak justru membuat suasana "Kampus Tebet" lebih hidup. Kerap saya sengaja menginap di kantor Tebet untuk merasakan denyut detik-detik deadline bersama para senior yang menjalani peran sebagai penulis.

Tak lebih baik dari nasib kami para calon reporter, mereka pun kerap mendapat "tekanan" dari para penggawa saat deadline. Dampratan sesekali terdengar dari beberapa ruang kerja para penggawa sebagai editor yang berpacu dengan waktu.

Usai deadline adalah saat yang menyenangkan. Ketegangan pun cair, kami semua lebih santai. Tak ada kesan atasan maupun bawahan lagi, suasana terasa egaliter. Tak jarang saat kami berkumpul bersama diisi dengan bernyanyi dan memainkan gitar.

Pers Tiarap 

Berbagai isu politik, ekonomi, hingga sosial budaya digarap. Mulai dari skandal tambang emas Busang atau skandal Bre-X di Kalimantan Timur, rangkaian penangkapan dan persidangan beberapa aktivis sekaligus petinggi Partai Rakyat Demokratik atau PRD beserta jaringannya, langkah politik Amien Rais, hingga manuver Megawati Soekarnoputri menjelang Pemilu 1997.

Bagi saya, bang Ivan bukan hanya sebagai guru terbaik dalam hal peliputan dan penulisan. Tapi sekaligus oase untuk menjawab segala macam pertanyaan di benak saya seputar pengekangan terhadap pers saat itu oleh Orde Baru.

"Ada pula istilah pers tiarap," ucap bang Ivan. Dengan lancar pula pria berkacamata minus berbingkai bundar dengan badan agak gempal itu menjelaskannya. Sungguh suatu pencerahan.

Ternyata, hanya berselang beberapa bulan tepatnya menjelang Pemilu 1997, saya merasakan bagaimana pers tiarap itu.

Menjelang Hari Pencoblosan 29 Mei 1997, Media Indonesia Minggu terbit bersamaan dengan minggu tenang pemilu. Laporan utama mengambil tema Mega-Bintang dan pemilih pemula dengan kover wajah Megawati Soekarnoputri.

Kabar yang beredar di kalangan wartawan, edisi Media Indonesia Minggu tersebut membuat berang Menteri Penerangan Harmoko, termasuk sebagian besar keluarga Cendana. Sempat timbul kekhawatiran terjadi lagi pemberedelan.

Tak terjadi pemberedelan, hanya saja beberapa edisi kemudian tidak lagi bernuansa politik. Keadaan seperti itu bisa disebut "lagi tiarap".

Kendati mendapat tekanan dari penguasa, para penggawa dan penghuni "Kampus Tebet" tetap solid. Kami tetap semangat bekerja.

Kaus Wartawan Urusan Khusus

Seusai pemilu, Media Indonesia Minggu mengulas seputar reshuffle atau perombakan Kabinet Pembangunan VI --sebelum kabinet terakhir Soeharto. Bang Ivan pun menulis Dombi alias Domba Bisu --tajuk di Media Indonesia Minggu-- kental bernada satir.

Isi Dombi menganalogikan seorang pejabat yang kehilangan kekuasaannya, namun sayang untuk dibuang atau disingkirkan. Ini jelas menyindir halus sosok Harmoko, Menteri Penerangan yang digeser dan diangkat sebagai Menteri Negara untuk Urusan Khusus pada Juni 1997.

Entah ada hubungan atau tidak, tiga bulan kemudian Harmoko "digeser" kembali menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Bahkan, dalam suatu kegiatan di Teater Utan Kayu, sejumlah "civitas Kampus Tebet" menggelar stan penjualan kaus custom. Ada kaus bertuliskan "Bredeline, Cairan Pembersih dan Pemberangus Pers" dan "Wartawan Urusan Khusus". Semua kaus ludes terjual dalam seketika.

Begitulah sekelumit gambaran dinamika "Kampus Tebet". Sejatinya, butuh waktu bagi saya untuk merekatkan kembali penggalan memori atau semacam puzzle yang telah berlalu sekitar 25 tahun dalam rentang 1997-2006. Rentang waktu sebelum bang Ivan lebih menekuni dunia pertelevisian dan dokumenter.

Kabar Duka dan Peristirahatan Terakhir

Namun, kabar duka yang datang melalui aplikasi perbincangan singkat WhatsApp/WA dari sejumlah alumnus "Kampus Tebet" dan grup WA termasuk beberapa unggahan di media sosial, membangkitkan kenangan tersebut.

Bang Ivan alias IVX mengembuskan napas terakhir pada Rabu, 2 Maret 2022, pukul 10.40 WIB di RSUD Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ia berpulang ke Rahmatullah dalam usia 58 tahun.

Video pun dibagikan melalui grup WA. Detik-detik jenazah bang Ivan dikebumikan di peristirahatan terakhir, pekuburan Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Di lokasi yang sama, sekitar 16 tahun silam, bang Ivan turut mengantarkan jasad  Achijar Abbas Ibrahim. Salah satu sahabatnya, sesama mantan wartawan Tempo, penggawa "Kampus Tebet", dan juga pendiri Liputan6.com.

Selamat jalan bang Ivan. Alfatihah.

* Salam takzim untuk para penggawa "Kampus Tebet", juga salam untuk para senior dan rekan-rekan yang mengalami dinamika di Media Indonesia Minggu, baik waktu di Tebet maupun di Kedoya, hingga Liputan6.com di Wisma Indovision, Gedung Mitra, dan Sency, Jakarta.

** Kredit Foto: Diambil dari Akun Ivan.Prikurnia di Facebook

*******************

PROFIL
- Lahir di Banjarmasin, 2 April 1963
- Wafat di Jakarta, 2 Maret 2022

Pendidikan
- 1981 Lulus dari SMA 11 (Kini SMA 70) Bulungan, Jakarta Selatan
- Angkatan 1981 di Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia/UI, Jakarta

Karier Jurnalistik
- 1981: Saat SMA Sempat Belajar Penulisan Reportase pada Arswendo Atmowiloto di majalah remaja Hai, Grup Gramedia
- Sejak 1981 atau Semasa Kuliah di Kriminologi UI, Jadi Freelance/Wartawan Lepas yang Menulis dan Memotret untuk koran Kompas, majalah Gadis, majalah Mode, majalah Matra, dan majalah Tempo
- 1989-1994: Bekerja di majalah/mingguan berita Tempo
- 1995-1997: Bersama Sejumlah Wartawan Eks Tempo Mengembangkan koran Media Indonesia section Minggu
- 1997-2000: Redaktur Pelaksana di majalah Forum Keadilan
- 2000-2002: Turut Mendirikan dan Mengembangkan Koran Tempo
- 2022: Magang Jurnalis di koran San Antonio Express­News di Texas, Amerika Serikat
- 2002-2003 Wakil Pemimpin Redaksi II di televisi swasta nasional RCTI
- 2003-2006: Bekerja di televisi swasta nasional SCTV
- 2006-2017: Wakil Pemimpin Redaksi, Menukangi Departemen Current Affairs, News Development di televisi swasta nasional ANTV
- 2012-2016: Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MELEPAS KOLEKSIAN, MELEPAS KENANGAN (BAGIAN 1)